Skip to toolbar

REALITAS SOSIAL BENTUKAN MEDIA MASSA: “PEREMPUAN SEBAGAI SASARAN KAPITALIS”

Media massa berperan penting di kehidupan kita. Media massa menjadi jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang terjadi di luar sana. Memberi masyarakat sarana untuk mengambil keputusan dan membentuk opini kolektif yang digunakan untuk bisa lebih memahami diri mereka sendiri. Media massa merupakan sumber untuk mengembangkan nilai-nilai dalam masyarakat. Media massa juga digunakan sebagai forum untuk merepresentasikan sebagai informasi dan ide ide kepada khayalak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik.

Di dalam media massa terkadang terdapat iklan. Iklan adalah senjata paling ampuh untuk mempengaruhi konsumen. Yang sebelumnya tidak tertarik dengan produk, namun karena iklan yang ditayangkan begitu gencarnya sehingga lambat laun tertarik dan mencobanya. Salah satu untuk menstimulasi produksi dan konsumsi secara massif ini diperlukan sarana publikasi yang massif, dalam hal ini iklanlah yang berfungsi mempublikasikannya, tujuan iklan dalam publikasi massif ini adalah untuk konsumen mengkonsumsi barang , baik barang-barang yang sifatnya kebutuhan ataupun sekedar keinginan, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan konsumsi dalam pasar tetap.

Hegemoni budaya kapitalis yang terlahir merupakan cerminan dari realitas kehidupan baru, tumbuh dan berkembang didalam masyarakat dengan tingginya intensitas itu. Iklan telah berkolusi dengan industri media massa serta ideologi yang tertanam, banyak mencerminkan budaya dan paham kapitalisme dan konsumerisme pada setiap pesan yang terselip dalam produk pencitraan “gaya hidup” di masyarakat yang cenderung konsumtif. Dampak yang ditimbulkan dari pengaruh iklan yang terselip, merupakan cerminan budaya baru lagi ngetrend hasil lansiran global kapitalisme.

Penyajian iklan yang informatif dan persuasif serta dikemas secara menarik dengan menampilkan gambar dengan sentuhan teknologi, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan teratas, telah mengantarkan keinginan kita untuk memiliki produk yang ditawarkan. berbagai macam produk kebutuhan, mulai dari primer dari kelangsungan hidup sehari-hari sampai dengan kebutuhan mewah demi naiknya status sosial di mata masyarakat, telah membayang-bayangi dan mencuci otak kita, agar kita ikut larut di dalam buaian cerita dan berakhir dengan tindakan untuk membeli produk dari yang setiap detik dan menit itu.

Seperti dikemukakan dalam Konsep Totemisme (Hoed, 1994: 122,128), suatu masyarakat dapat mengindentifikasi diri mereka terhadap benda (totem) dan benda itu akhirnya menjadikan rujukan. Proses identifikasi diri melalui signifikasi, mampu membawa seseorang pada nilai kebendaan tertentu. 

 

Jean Baudrillard pun menyatakan, situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi. Pada kenyataan manusia tidak akan pernah merasa puas atas kebutuhannya. Masyarakat akan membeli simbol-simbol yang melekat pada suatu objek, sehingga produk banyak terkikis nilai guna dan nilai tukarnya. Nilai simbolis kemudian menjadi sebuah komoditas.

Dewasa ini fenomena gaya hidup masyarakat modern dengan keragaman kompleksitas problema yang ada, telah terserap oleh sebagian besar masyarakat, hal ini dapat terjadi tidak lain dan tidak bukan dari pengaruh iklan. Gejala ini dalam perkembangannya, begitu pesat masuk dalam relung relung kehidupan dari semua masyarakat, keberadaannya tumbuh subur dimasyarakat perkotaan bahkan hingga kini telah sampai tingkat pedesaan, menyerang siapa saja yang menjadi targetnya utamanya perempuan yang telah menjadi mangsa dari proses modernisasi.

Disadari atau tidak, media massa yang ada hingga tingkat tertentu berfungsi sebagai agen-agen industri komunikasi tradisional yang mempromosikan nilai-nilai yang melekat dalam industrialisasi yang dianut masyarakat. Iklan dengan gencar menawarkan berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan fisik yang sifatnya sementara semisal alat kecantikan, pakaian dll. Secara tegas iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau imej gaya hidup dan penampilan terutama tentang konsep kecantikan bagi perempuan. 

Makna kecantikan yang hadir hari ini merupakan realitas konstruksi iklan, maka model iklan yang cantik selalu muncul dalam iklan-iklan yang menyasar ke segmen perempuan. Ada beberapa alasan menjadikan perempuan sebagai model iklan, antara lain karena sosok perempuan dibutuhkan untuk memperkuat daya jual dari produk, perempuan dijadikan wahana promosi barang barang produksi dari produsen. Sesungguhnya setiap perempuan terlahir di dunia adalah cantik. Hanya saja konstrukan dari iklan membuat bahwasanya cantik itu ketika memiliki kulit yang putih, wajah yang bersih dan cerah, rambut yang lurus dan body yang langsing, secara tidak sadar iklan ini mendiskriminasi perempuan yang berkulit hitam, wajah yang berjerawat dan kusam, rambut keriting dan body yang gemuk itu jelek atau tidak keren, namun sebenarnya itulah pesan yang tersampaikan kepada penikmat iklannya. Dan tanpa kita sadari alam bawah sadar kita mencerna pesan tersebut, kemudian masuk keotak sehingga membentuk paradigma berpikir masyarakat. Hal ini juga dipertegas dengan iklan dalam produk kapitalis seperti handbody, sampo, wajah dan lain-lainnya. 

Namun, dalam konstruk iklan yang disampaikan justru memunculkan banyak pertanyaan tentang perempuan, Saya menilai bahwa kebanyakan iklan saat ini diskriminatif dan rasis. Begitu dahsyatnya pengaruh iklan terhadap kehidupan sosial, hingga sampai sampai orang mau mengeluarkan segala macam kemampuan, meskipun dalam perjalanannya diwarnai dengan susah payah untuk meraihnya dan terkadang kenyataannya apa yang telah diusahakannya, tidak sebanding dengan apa yang yang mereka dapatkan.

Kehadiran iklan dalam mengkonstruksi identitas postmodern bisa dikatakan cukup berhasil dalam mempengaruhi khalayak. Pendekatan postmodern tidak menganggap identitas sebagai sesuatu yang didapat begitu saja, tetapi sesuatu yang sengaja dibangun dalam narasi, teks, video, pidato dan media lain yang dapat digunakan dalam penyampaiannya. Ideologi periklanan ini sejalan postmodern yang dalam permainnanya bahasanya lebih bersifat ironis, yang dituju budaya postmeodern ini bukan lagi keefektifan pesan; postmodern bukan lagi mencari kedalaman makna komunikasi, tetapi hanya mencari kesenangan “Bermain-main dengan bahasa” serta kenikmatan lainnya.

Perusahaan gencar mempromosikan produk dan jasanya. Banyak perusahaan yang memeasang budget besar untuk memasang iklan mengenai produk dan jasa yang ditawarkan. Sebab itu seharusnya masyarakat dalam hal ini konsumen harus pintar menyikapi tawaran yang mengiur dari iklan iklan tersebut. Karena di Era Postmodern sasaran para kapitalis untuk menarik orang guna membelanjakan uang karena keinginan sudah menjadi kebutuhan. Dengan demikianlah, sasaran iklan adalah membuat seseorang tidak menggunakan pikiran dan hanya menggunakan hati ketika mereka membeli suatu barang kerena sering kali hati dan pikiran tidak berjalan seimbang.


Penulis: Vivi Alfahira, lahir di Ujung Pandang, 7 Desember 1998. Saat ini sedang menempuh pendidikan pada tahun kedua di Jurusan Sosiologi UNM.

Leave a Reply