Sebagai salah satu mahasiswa di Universitas Negeri Makassar (UNM), isu pelecehan seksual adalah kasus yang sedang marak-maraknya diperbincangkan. Walaupun bukan hanya di ruang lingkup kampus kami, belakangan ini isu pelecehan seksual marak diperbincangkan di lingkup masyarakat, banyaknya peristiwa/ kasus/ kejadian/ fenomena yang terjadi di masyarakat ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual perlu ditindaklanjuti secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Keseriusan tersebut nampak adanya dari PERMENDIKBUDRISTEK No.30 Tahun 2021 yang dikeluarkan pada September lalu, untuk mencegah atau menangani kekerasan seksual di ruang lingkup Perguraan Tinggi. Melalui tulisan ini, penulis ingin menjabarkan hubungan antara self control dan peleceahan seksual. Sebab, seperti yang maraknya diketahui bahwasanya pelaku melakukan pelecehan seksual karena pelaku merasa mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban, maka dari itu melalui tulisan ini penulis ingin mengedukasi mengenai pentingnya self control.
Namun, sebelum menelaah lebih lanjut seberapa urgentnya topik kekerasan seksual belakangan ini. Pertama, kita harus tau terlebih dahulu âapa sih itu pelecehan seksual?â.
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah setiap perilaku yang dilakukan secara sepihak dan memiliki implikasi seksual yang tidak diinginkan oleh korban. Bentuk dari pelecehan seksual itu sendiri dapat berupa verbal, simbol, isyarat, tulisan dan bahkan tindakan yang mengandung makna pelecehan seksual. Perbuatan yang berimplikasi seksual memiliki faktor-faktor sebagai berikut, yaitu adanya paksaan sepihak oleh pelaku, kejadian yang ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian yang tidak diinginkan oleh korban dan penderitaan yang berakibat pada korban.
Secara umum, ada 5 jenis pelecehan seksual, yaitu:
a. Pelecehan fisik, yaitu: berupa kontak fisik yang tidak dikehendaki yang mana condong terhadap aktivitas seksual seperti membelai, mencium, mencubit, mengelus, memeluk atau kontak fisik lainnya.
b. Pelecehan verbal, yaitu: berupa ucapan/komentar verbal yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi seseorang, bagian tubuh/ penampilan seseorang, termasuk lelucon dan komentar kasar yang mengandung unsur seksual.
c. Pelecehan non verbal/ isyarat, yaitu: berupa bahasa tubuh atau gerakan tubuh yang condong ke arah seksual, ekspresi wajah yang dilakukan berulang-ulang, memperhatikan objek tubuh seseorang dengan pandangan penuh nafsu, isyarat dengan menggunakan jari tangan, menjilat bibir, dll.
d. Pelecehan visual, yaitu: berupa penampilan materi pornografi dalam bentuk gambar, poster, kartun, screensaver atau lainnya, atau dapat juga berupa pelecehan seksual melalui SMS, email, dan sosial media lainnya.
e. Pelecehan psikologis/emosional, yaitu: berupa permintaan serta ajakan yang tidak diminta dan terus-meneurus, permintaan kencan yang enggan diharapkan, dan bahkan berupa celaan atau penghinaan yang condong kearah seksual.
Santrock (2007) dalam bukunya, pelecehan seksual dengan berbagai bentuknya yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, mulai dari komentar yang bermakna seksual serta berkontak fisik secara diam-diam (menyentuh bagian tubuh tertentu) hingga berupa ajakan yang dilakukan dengan cara terang-terangan dan hingga serangan seksual.
Banyaknya dampak yang ditimbulkan dari para korban kejahatan seksual. Pertama, dapat berdampak terhadap psikologis seperti stres terhadap korban dapat mengganggu fungsi serta perkembangan otaknya, korban pelecehan seksual pasti akan mengalami trauma secara mendalam. Kedua, dampak fisik, pelecehan bahkan kekerasan seksual pada anak pada anak ialah salah satu faktor utama dari adanya penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Pada sebuah kasus yang terbilang parah, kerusakan atau pendarahan pada organ internal juga dapat terjadi yang mana dalam hal tersebut dapat mengakibtakan kematian. Ketiga, dampak sosial, yang mana seorang korban dari pelecehan bahkan hingga kekerasan seksual akan dikucilkan dalam lingkup kehidupan sosialnya, yang mana seharusnya yang korban butuhkan yaitu dukungan moral dan motivasi untuk kembali bangkit menjalani kehidupan sehari-harinya. Salah satu penyebab utama kenapa kasus kekerasan seksual semakin tinggi ialah mudahnya orang-orang untuk mengakses pornografi di dunia maya.
Hasil penelitian, kasus kekerasan seksual yang terjadi dilingkup masyarakat tercatat cukup tinggi, dengan persentase kekerasan seksual paling besar terjadi di rumah yaitu 37%. Dengan itu disimpulkan, bahwasanya perbuatan kekerasan kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Sedangkan, kekerasan seksual yang terjadi di sekolah dengan presentase 11% dan di hotel dengan presentase 11%. Dari hasil penelitian, kasus kekerasan paling banyak memakan korban wanita dengan nilai presentasi yakni 87%, sedangkan korban pria sekitar 13%. Masyarakat Pamantau Peradilan Indonesia atau dengan singkatan MaPPI dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyebutkan, 73% kasus kekerasan seksual dengan kasus seksual tertinggi terjadi di Pulau Jawa, Papua 5%, Bali NTT NTB 4 %, Sumatera 13%, Kalimantan 2% dan Sulawesi 3%. Dari sederet kasus menunjukkan bahwa dalam angka kekerasan seksual Indonesia masuk ke dalam golongan yang cukup tinggi.
Pada tanggal 10 Desember 2021, seorang wanita dari peserta kampus merdeka direkam secara diam-diama saat ia berada di dalam kamar mandi UNM Makassar. Beberapa mahasiswi dari berbagai universitas dari berbagai kota atau wilayah yang mengikuti program pemerintah yaitu Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PPM) yang diprogramkan oleh Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) disangka mengalami pelecehan seksual. Dari hasil pembicaraan dengan korban yang bersangkutan, korban tersebut yang merupakan mahasiswi direkam dengan cara diam-diam saat sedang di dalam kamar mandi. Salah satu seorang mahasiswi dari UNTIRTA dengan inisial RN menerangkan bahwa dirinya melihat kamera saat sedang berada di kamar mandi. Oknum dibalik pelecehan seksual tersebut merupakan petugas keamanan dari Universitas Negeri Makassar (UNM). Birokrat kampus UNM pun mengkui dan akan menghentikan pelaku pelecehan seksual tersebut dari jabatannya yang merupakan petugas keamanan, dan kasus tersebut sedang diselidiki oleh pihak yang berwajib.
Kasus lainnya, salah satu korban dari pelecehan seksual lainnya dialami oleh mahasiswi kampus kita yaitu UNM. Korban tersebut dengan insial M merupakan seorang mahasiswi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis dengan jenjang studi tingkat akhir. M dilecehkan oleh dosen pembimbing, sebut saja D (inisial) yang merupakan pelaku dalam kasus tersebut. Dalam kasusnya, M mengatakan sudah beberapa kali diajak bertemu oleh D di ruang kerjanya dengan modus konsultasi skripsi. Dalam modus tersebutlah D melakukan pelecehan dengan cara tiba-tiba mendekati M dan merangkulnya serta memegang paha M. âKadang juga pelaku tersebut meihat ke bagian dada saya. Jadi kadangkala saya menepisnya dengan cara akting seolah-olah mengambil barang.â Ucap M saat sedang dilakukan wawancara bersama SuaraSulsel.id. Nyatanya, setelah di periksa lebih dalam, banyak mahasiswi yang telah menjadi korban dari pelecehan seksual di lingkup kampus, namun hal tersebut tidak dilengkapi dengan bukti, sehingga pihak birokrat kampus tidak bisa dengan mudah menjatuhkan sanksi terhadap pelaku dari pelecehan seksual tersebut.
Menurut Chaplin (1997) bahwa self control atau pengendalian diri merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku sendiri, kemampuan untuk menahan dan mencegah impuls atau perilaku impulsif. Thompson mendefinisikan pengendalian diri sebagai kepercayaan bahwa seseorang mampu mencapai hasil yang diinginkan melalui tindakannya sendiri. Oleh karena itu, menurutnya emosi dan kontrol dapat dipengaruhi karena keadaan situasi, tetapi persepsi kontrol diri ada pada orang tersebut, bukan pada situasinya.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa self control merupakan bagian yang penting dari masa remaja. Dengan adanya self control dapat berguna sebagai pengontrol dorongan-dorongan atau hasrat keinginan yang berasal dari dalam diri remaja. Remaja dengan self control yang kurang akan condong berperilaku hingga bertindak negatif, sebagai contohnya yaitu dapat menjadi pelaku pelecehan seksual sebab tidak mampu mengontrol perilaku-perilaku negatif.
Telah banyak penelitian menjelaskan bahwasanya pelecehan seksual sangatlah berdampak buruk bahkan negatif terhadap korban yang mengalaminya. Kurangnya self control terhadap pelaku membuat pelaku merasa mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Banyaknya kasus-kasus yang terjadi, seperti kasus yang disajikan datanya diatas yaitu kasus yang terjadi di ruang lingkup kampus kita, Universitas Negeri Makassar. Dari data pertama, yaitu kasus seorang satpam kampus UNM yang merekam diam-diam mahasiswi pendang di kamar mandi. Kemudian pada kasus kedua yaitu pelecehan yang terjadi di lingkup kampus FEB UNM yang mana seorang dosen pembimbing yang melakukan pelecehan seksual dengan mahasiswi tingkat akhir dengan modus konsultasi. Marak-maraknya kasus pelecehan seksual yang mana perlunya edukasi lebih mengenai self control, edukasi tersebut tidak hanya ditujukan untuk mahasiswa saja sebab dalam kasusnya pelaku dari pelecehan seksual tidak memandang umur, dari anak-anak hingga dewasa bahkan lansia pun bisa menjadi pelaku dari pelecehan seksual itu sendiri. Dengan adanya self control pada diri seorang juga dapat mengarahkan, mengendalikan, mengatur, dan mengubah perilaku seseorang ke arah yang lebih positif.
Penulis: Firyal Dinar Alysia, Mahasiswa Psikologi, Fakultas Psikologi UNM.