“Ijasah adalah tanda anda pernah ke sekolah bukan tanda anda pernah berpikir” -Rocky Gerung.

Sebuah quote bijak dari orang yang tak saya kagumi sekalipun, entah mengapa sependapat dengan statement barusan. Secara filosofi pendidikan dilahirkan untuk memanusiakan manusia, walaupun dalam praktiknya masih ada saja hal yang menyimpang secara terus-menerus diperbaharui.

Terobosan-terobosan nakal tak jarang lahir dari kalangan intelektual yang saat ini sedang duduk manis disinggasana kekuasaannya dan tumbuh serta berkembang pada era sekarang yang parahnya lagi diaminkan oleh generasi penerus. Hal yang ditakutkan dari pengaminan tersebut ialah para generasi penerus yang akan tumbuh dan berkembang dengan pola pikir yang sama pada masa mendatang padahal mereka akan menjadi tonggak dari berkembangnya peradaban dunia. Oleh sebab itu, generasi penerus diupayakan dapat menjadi sosok pemuda yang memiliki jiwa pembaharu (agent of change) yang mampu keluar dari comfort zone yang selama ini mendarah daging di negeri ini.

Infografik: Satya/Estetikapers.

Salah satu comfort zone yang mengakar dalam kehidupan pada abad ini ialah sebuah kecanduan yang menjadi penghalang akan pergerakan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Kebanyakan, generasi penerus cenderung candu pada hal hal yang berbau kesenangan semata sehingga melupakan kondisi dan keadaan orang-orang sekitar.

Tak luput dari pendidikan, nyatanya generasi penerus pun juga candu dalam mengabaikannya. Generasi penerus lebih prefer kongko kongko di tempat asing ketimbang duduk berdiskusi di ruang ilmiah atau sebuah sekret kampus. Kebanyakan juga lebih memilih menghabiskan uang jajan bulanan di tempat asing ketimbang menyisihkan sedikit untuk buku buku yang menunggu dibaca dan dieksekusi.

Disadari atau tidak itulah candu yang selama ini mengelilingi kita, termasuk dalam hal mengaminkan apapun yang petinggi negara sabdakan tanpa bergerak untuk mengkajinya terlebih dahulu. Bungkamnya kita selama ini merupakan tanda matinya kebebasan berpendapat yang lahir dari diri kita sendiri.

Kita tidak mungkin akan terus berada dalam tekanan, seperti ayam petelur yang taunya hanya makan dan bertelur. Siklus hidup kita tak mungkin hanya berada dalam lingkaran setan seperti itu. Kita butuh hidup dan kebebasan agar menjadi lebih baik. Janganlah bungkam dan terus bersifat acuh tak acuh.

Hidup yang lebih baik dan bermakna didasari dan dilandasi dengan pendidikan yang cukup. Namun, jangan berpandangan bahwa pendidikan hanya berdasar pada apa yang terjadi ditingkatan formal. Tidak! Jangan persempit wawasan tentang hal tersebut.

Pendidikan dilahirkan untuk semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, tua – muda, maupun si miskin dan si kaya. Hanya saja yang membedakan kalangan tersebut ialah perihal praktiknya di lapangan dan cara merekalah tatkala mengemas yang seharusnya tak ada pada perbedaan yang mencolok. Hal itu terjadi karena kurangnya pengawalan yang kita lakukan.

Dalam pengawalan dibutuhkan idealisme yang kuat. Kita tidak melulu harus bungkam dan diam atas segala pergejolakan yang terjadi. Karena sesungguhnya “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”, -Tan Malaka.

______________________________________________

Penulis: Muhammad Adnan Alfaridzi pemuda kelahiran Majene, 10 Desember 1998 silam, yang akrab disapa Adnan. Salah satu muaranya ialah Universitas Negeri Makassar yang fokus pada disiplin ilmu Pendidikan Bahasa Inggris.

*) Tulisan ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi estetikapers.com.