Terletak di Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan, wisata Londa menjadi salah satu destinasi yang wajib dikunjungi saat berada di Toraja Utara. Hal ini dikarenakan Toraja tercatat dalam daftar sementara warisan budaya dunia oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Toraja dikenal dengan julukan Land of the Heavenly Kings, Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, dan Bumi Lakipadada dengan pegangan hidup yang masih dilestarikan hingga saat ini yaitu “Misa’ Kada Dipotuo, Pantan Kada Dipomate” yang berarti bersatu kata kita hidup, tetapi jika masing-masing berbeda akan mati. Maknanya, masyarakat Toraja yang selalu bersatu, gotong royong, dan saling tolong menolong.

Lokasi objek wisata Londa yang berjarak kurang lebih 7,5 KM dari wisata Kete’ Kesu ini berada di Desa Sandan Uai. Desa tersebut merupakan wisata tempat makam lapisan kelas atas yang
dikuburkan di dalam gua dengan satu rumpun atau kelompok. Ketika sampai di gerbang wisata Londa, kita akan menuruni anak tangga untuk menuju ke makam gua. Sesampainya di depan gua, mata langsung tertuju pada jajaran erong (peti mati) dan tau-tau (patung).

Peti mati yang berada di makam gua Londa ini mengalami perubahan mode. Dari peti mati kuno yang terbuat dari batang pohon tanpa polesan dan ukiran hingga peti mati modern, yaitu peti mati yang telah dipoles, diukir, dan berwarna. Menurut pemandu setempat, semakin tinggi peti mati diletakkan maka semakin tinggi kedudukan orang tersebut semasa hidupnya. Di sekitar peti mati tersebut terdapat benda-benda yang sengaja ditinggalkan seperti uang, rokok, piring, dan lainnya yang merupakan benda kesukaan orang-orang tersebut semasa hidupnya.

Selain itu, tau-tau yang diletakkan di depan gua merupakan patung para jenazah yang dimakamkan di tempat ini. Berdasarkan keterangan pemandu, tidak semua jenazah yang dimakamkan di gua ini dibuatkan tau-tau, melainkan hanya untuk orang-orang penting dan berpengaruh pada masa hidupnya.

Berpindah dari sisi luar gua yang dipenuhi peti mati dan tau-tau, terdapat dua jalan masuk menuju ke dalam gua yang saling terhubung, namun wisatawan harus merayap karena ukurannya yang sempit. Kemudian, sebelum memasuki gua dibutuhkan penerangan yang telah disediakan oleh para pemandu, yaitu lampu obor. Tarif dari lampu obor tersebut senilai Rp50.000 per lampu. Sesaat sebelum memasuki gua, pemandu menyampaikan beberapa hal untuk keselamatan diri, seperti memperhatikan langkah karena medan jalan yang licin dan harus menunduk beberapa kali dikarenakan ukuran yang sempit. Selain itu, pemandu juga memperingatkan untuk tidak menyentuh dan mengambil hal-hal yang berhubungan dengan jenazah.

Setelah di dalam gua, pemandu menjelaskan bahwa semua jenazah yang dimakamkan di gua ini merupakan garis keturunan dari marga Tolengke. Pada saat itu, pemandu menunjukkan jenazah yang baru berusia dua minggu, juga menurut perkiraan pemandu jenazah disini telah ada sejak sebelas abad yang lalu. Selanjutnya, pemandu berbagi salah satu kisah hidup yang menarik dari sepasang kekasih yang dimakamkan di tempat ini. Sepasang kekasih tersebut dijuluki Romeo dan Juliet versi Toraja. Menurut penjelasan pemandu, semasa hidup pasangan kekasih ini tidak mendapatkan restu dari keluarga karena masih memiliki hubungan persaudaraan yang kuat, yaitu saudara se-nenek. Kemudian pemandu juga memperlihatkan spot foto untuk wisatawan saat memasuki gua ini. Beberapa spot foto di antaranya, dinding gua yang berbentuk hati dan susunan
tengkorak kepala.

Penulis: Khusnul Khatima dan Suriatni Irnah Mahnasari (Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar)
Editor: Aulia Ulva