Sistem proporsional tertutup lebih menjamin penguatan organisasi partai politik. Pelaksanaan kampanye dilakukan oleh partai bukan lagi perorangan, tetapi oleh Partai Politik (Parpol). Partai politik akan lebih mengetahui kader-kader terbaik mereka untuk menduduki kursi legislatif dan bisa mendorong kadernya yang akan mewakili masyarakat di kursi legislatif. Sistem ini dinilai sebagai keuntungan dari sistem proporsional tertutup.

Namun demikian, kelemahan di dalam sistem proporsional tertutup akan lebih memperkuat kekuatan oligarki di partai dan akan mempersulit orang-orang yang tidak memiliki uang banyak untuk mencalonkan sebagai anggota legislatif. Keunggulan yang dimiliki sistem proporsional tertutup akan mengurangi dana pemilu.

Tetapi, dalam logika konfrontasi mendatangkan antitesa pada tesa yang dianggap cacat bukan perlakuan yang adil dalam pentas politik. Sistem proporsional terbuka memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh calon legislatif walaupun berbeda nomor urut dan kemampuan finansial untuk berhak menduduki parlemen.

Berbeda dengan sistem proposional tertutup, ia akan lebih mengutamakan kader-kader terbaik partai yang dipilih langsung oleh partai politik. Terlebih, formulasi perhitungan yang jelas dan kepastian akan keterpilihan didasarkan suara terbanyak mendekati atmosfer demokratis. Pada saat yang sama, di dalam suasana yang demokratis ini, calon anggota legislatif yang tidak memiliki modal besar, bisa berkreasi dan berinovasi untuk membangun popularitas dan keterpilihan dirinya pada rakyat.

Sementara itu, sistem proporsional tertutup bukanlah sistem yang paling bagus digunakan untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang hebat. Melainkan melalui sistem ini pula praktik-praktik money politik dilanggengkan. Setiap pencabutan nomor urut calon legislatif telah menjadi ajang praktik money politik di internal partai. Ditambah lagi, munculnya beberapa calon yang sering disebut petahana akan mudah mendapatkan nomor urut satu yang direpresentasikan oleh pemimpin-pemimpin partai politik.

Sebagai pihak teratas dalam ranah partai politik, para elite ini sangat berkuasa memegang peranan yang dominan, terlebih dalam menentukan calon-calon legislatif yang harus diusung oleh rakyat. Kekuasaan oligarki semakin mengakar di dalam tubuh partai politik dan cita-cita demokratis pun memudar. Dengan begitu, sistem proporsional baik yang bersifat tertutup maupun terbuka, sama-sama mengundang seluruh elemen yang terlibat dalam politik untuk bermain uang di dalam Parpol.

Dalam partai politik, kader-kader dari level elite sampai grass root terdorong untuk memanfaatkan sistem yang dibuat negara sebagai ladang memanen uang. Karena itu pertanyaannya, manakah sistem terbaik? Guna meminimalisir praktik politik berbiaya tinggi, yang mencederai cita-cita demokrasi dan memandulkan kritisisme rakyat adalah pertanyaan yang sangat tidak relevan. Sebab, kader-kader elite partai politik maupun rakyat biasa masih memilih kehendak diri yang selalu bertujuan dan berubah sesuai perubahan interaksi mereka.

Sistem proporsional tertutup ataupun terbuka yang dibuat berdasar hukum, bagaimanapun juga adalah objek yang statis. Masyarakat dan seluruh fenomena sosial bersifat dinamis dan terus berubah. Menyandarkan sesuatu yang statis pada sandaran yang dinamis merupakan logika yang rumit dipahami.

Namun, dalam sistem proposional tertutup itu lebih memberikan peluang kepada kader-kader terbaik Parpol yang memang layak untuk menduduki kursi parlemen, tetapi tidak dapat dipungkiri akan terjadinya kekuatan oligarki. Berbeda halnya dengan sistem proporsional terbuka, calon-calon anggota legislatifnya dipilih langsung oleh masyarakat, namun memiliki kekurangan, yaitu calonnya bukan diambil dari kader-kader terbaik partai politik melainkan dilihat dari seberapa tinggi elektabilitas dan popularitas mereka.

Penulis: Andika Pratama, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar