Perkuliahan online bukanlah sistem baru dalam dunia pendidikan, melainkan sistem yang telah ada seiring perkembangan dunia teknologi informasi. Dunia boleh saja berbicara bahwa semua kehidupan ini telah diwarnai dan harus beradaptasi dengan teknologi, akan tetapi fakta lapangan berbicara lain. Salah satunya adalah sistem pendidikan yang dianjurkan dengan media digital atau daring masih sangat minim di Indonesia.

Perkuliahan daring tidak hanya soal memvirtualkan bahan pengajaran, tetapi juga soal fasilitas dan penetrasi jaringan internet. Selain itu, kemampuan para dosen dalam memberikan materinya dan daya tangkap mahasiswa lewat perkuliahan daring. Dan yang lebih mirisnya mahasiswa terbebani pembayaran UKT, tetapi fasilitas kampus tidak bisa dipergunakan.

Uang Kuliah Tunggal atau kerap disingkat UKT, menjadi hal prasyarat bagi mahasiswa agar bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Bagi mahasiswa yang memiliki besaran UKT cukup tinggi namun berasal dari keluarga berlatar belakang ekonomi rendah dan tidak mendapatkan beasiswa sama sekali pasti akan terbebani. Terlebih lagi jika UKT yang mereka bayarkan tak sebanding dengan pelayanan yang mereka dapatkan di kampus, terutama dalam situasi Covid-19.

Media bisa menjadi tolok ukur sejauh mana perkuliahan daring dinyatakan masih minim. Selain itu, masih ada kegagapan bagi dosen dan mahasiswa dalam menggunakan aplikasi perkuliahan daring. Bisa saja jaringan dan fasilitas lengkap, tetapi kemampuan dosen dan mahasiswa sangat berpengaruh dalam penerapan sistem daring. Persoalan ini tentu menghadirkan potret ketidakefektifan sistem daring selama Covid-19. Maka muncul pertanyaan, apakah perkuliahan daring di tengah pandemi ini adalah sebuah solusi ataukah pelarian semata?

Belajar dari rumah membuat slogan merdeka belajar semakin kelihatan. Apa maksud merdeka dalam konteks belajar dari rumah? Melalui fenomena dan kesan umum yang terlihat, proses belajar dari rumah justru tidak terkendali. Belajar dari rumah untuk konteks pelajar SD-SMA adalah liburan dalam bentuk lain. Kita tidak bisa menyangkal bahwa efektivitas kegiatan belajar dengan pantauan jarak jauh oleh para pendidik dan bimbingan langsung dari orang tua hanya berlangsung di awal-awal. Berada di rumah selama pandemi diharapkan tetap produkif dalam belajar. Tetapi, fakta lapangan membuktikan para pelajar justru merasa bebas-merdeka untuk belajar.

Hal itu juga tentunya sudah terbukti di lingkungan sekitar. Banyak para siswa dan mahasiswa menerapkan sistem “semau gue” selama pembelajaran daring di era Covid-19. Lantas, bagaimana kondisi regenerasi pendidikan di masa depan?

Dilansir dari jurnal Academia.edu ( dalam Yaumi,2017: 136) memuat bahwa pemaduan penggunaan sumber belajar tradisional offline dan online adalah suatu keputusan demokratis untuk menjembatani derasnya arus penyebaran sumber belajar elektronik. Dalam hal ini pembelajaran daring (e-learning) dan kesulitan melepaskan diri dari pemanfaatan sumber-sumber belajar yang digunakan dalam ruang kelas. Artinya, bagaimanapun canggihnya teknologi pembelajaran daring yang digunakan belum mampu menggantikan pelaksanaan pembelajaran tatap muka, karena metode interaksi tatap muka konvensional masih jauh lebih efektif dibandingkan pembelajaran daring atau e-learning. Selain itu, keterbatasan dalam aksesibilitas Internet, perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), serta pembiayaan sering menjadi hambatan dalam memaksimalkan sumber-sumber belajar online.

John Carroll (dalam Ratna, 2016:43) yang termasyhur dalam bidang pendidikan psikologi dan dalam bukunya yang berjudul “A Model of School Learning”, menyatakan bahwa Instructional Effectiveness tergantung pada lima faktor: 1) Attitude (sikap), 2) Ability to Understand Instruction (kemampuan untuk memahami instruksi), 3) Perseverance (ketekunan), 4) Opportunity (peluang/kemungkinan), 5) Quality of Instruction (kualitas intruksi).

Dengan mengetahui beberapa indikator tersebut menunjukkan bahwa suatu pembelajaran dapat berjalan efektif apabila terdapat sikap dan kemauan dalam diri anak untuk belajar, kesiapan diri anak dan guru dalam kegiatan pembelajaran, serta mutu dari materi yang disampaikan. Apabila kelima indikator tersebut tidak ada, maka kegiatan belajar mengajar anak tidak akan berjalan dengan baik.

Kegiatan pembelajaran yang efektif sangat dibutuhkan untuk membantu mengembangkan daya pikir anak tanpa mengesampingkan tingkat pemahaman anak sesuai dengan usia perkembangannya. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran keberhasilan dari proses interaksi dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dilihat dari aktivitas selama pembelajaran, respon dan penguasaannya dalam konsep.

Pembelajaran daring di Indonesia sesungguhnya keterpaksaan. Pandemi Covid-19 yang menyebar begitu cepat hingga hampir keseluruh negara memaksa pemerintah untuk menutup sekolah dengan segera. Mulai tanggal 16 Maret 2020 Pemerintah meminta semua sekolah untuk ditutup. Meskipun kesiapan untuk belajar daring nyaris belum ada.

Namun, dari kebijakan yang dikeluarkan tentunya tidak dapat memastikan semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya disemua kalangan, khususnya sekolah di pedesaan yang kekurangan fasilitas, berupa teknologi terpadu guna menunjang proses pembelajaran daring. Kurangnya biaya dan fasilitas yang memadai membuat proses pembelajaran daring tidaklah seefektif yang diharapkan.

Hal di atas mampu menjadi penguat bahwa pembelajaran daring baik tingkat SMA maupun perguruan tinggi di masa pandemi Covid-19 bisa digolongkan sebagai sebuah metode yang kurang efektif jika ditinjau dari media pembelajaran dengan berbasis jaringan internet yang kurang mendukung. Ketidakefektifan pembelajaran daring dapat ditinjau dari kurangnya penguasaan terhadap materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa maupun bagi kalangan mahasiswa. Belajar di depan layar meski dengan media google meet atau zoom sekalipun masih saja menjadi sebuah tantangan tercapainya keefektifan pembelajaran daring, hal ini seperti diungkapkan oleh mayoritas siswa ataupun mahasiswa di lingkungan sekitar penulis.

UKT mahal dan ilmu yang didapatkan terhitung minim ditambah fasilitas kampus yang tidak sesuai kian menjadi sederet kegelisahan di tengah situasi yang menyesakkan saat ini. Ungkapan bahwa “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah,” ungkap Ki Hajar Dewantara, salah satu penggerak motivasi pendidikan di situasi Covid-19 ini. Indonesia cerdas dengan adanya generasi terdidik.

Penulis: Ismawati
Editor: Rada Dhe Anggel