Akan berpulang segala kejayaan menuju keruntuhan.

Pasca kematian mitosentris (segala hal berpusat pada mitos) yang diawali di Yunani sekitar 600 SM, dunia memasuki masa teosentris (segala hal berpusat pada Tuhan), puncaknya di zaman pertengahan. Keruntuhan teosentris mengantarkan dunia dalam babakan sejarah baru, yaitu zaman antroposentris (segala hal berpusat pada manusia) atau lebih dikenal dengan istilah zaman modern. Disinilah kematian Tuhan di proklamirkan.

“Tuhan telah mati, dan kita telah membunuhnya” demikian ungkapan Friedrich Nietszhe di abad 19 lalu. Gejala kematian Tuhan menurutnya dapat dilihat dari pembangkangan oleh manusia yang beramai-ramai meninggalkan dogmatisasi agamawan. Setelah itu, manusia beralih ke penggunaan otoritas akal dengan semangat positivistimenya (rasional, empiris dan ilmiah) sebagai sumber pengatahuan dan kebenaran.

Tuhan yang direpresentasikan oleh alkitab (firman) sangat mempengaruhi kehidupan manusia zaman pertengahan di Eropa. Setiap aktivitas manusia selalu dihubungkan dengan kesesuaian tafsiran alkitab dari otoritas keagamaan. Tafsiran agama menjadi satu-satunya sumber pengatahuan dan kebenaran.

Namun, tafsiran agama kerap kali bergesekan dengan hasil temuan/riset yang bersumber dari akal (manusia). Konsekuensinya, akal harus tunduk dan berada dalam rel tafsiran agama. Memilih berbenturan dengan kemapanan dogma agama, berarti memilih untuk tersiksa.

Salah seorang pemikir yang pernah mencoba menabrak dogma agama adalah Galileo Galilei. Ia mengatakan bahwa matahari sebagai pusat alam semesta dan bumi hanyalah salah satu planet yang mengitari matahari (heliosentris). Karena hasil temuannya berseberangan dengan tafsiran agama, nasib nahas menimpanya. Ia dipersekusi dan dieksekusi.

Kediktatoran agama di Eropa mencolok semenjak adanya pelembagaan dan pemberian otoritas kepada agamawan untuk menafsiran alkitab, terlebih ketika lembaga agama telibat dalam pemerintahan. Atas nama kekuasaan, agama kerap kali dijadikan alat untuk meraih dan merawat kekuasaan (sarat kepentingan).

Karl Marx melihat agama dijadikan legitimasi praktik eksploitasi terhadap umatnya. Ayat-ayat alkitab dijadikan motivasi untuk para pekerja dan kaum miskin untuk selalu bekerja keras walau dengan upah yang tidak setimpal. Sedang elit agama dan pemerintahan hidup bergelimang harta. Ketimpangan sosial selalu dilihat sebagai takdir dari Tuhan yang sifatnya given (pemberian). Mirisnya karena keterpaparan dogma agama, masyarakat tidak menyadarinya. Saat itulah Marx lebih melihat “agama sebagai candu”.

Kemiskinan dan segala kekacauan tidak dilihat dari ulah tangan manusia. Trauma keagamaan ini sangat membekas dalam sejarah kelam dunia Barat sehingga zaman pertengahan (Eropa) mereka dinamai sebagai zaman kegelapan, dimana akal terpenjara dalam kungkungan tafsiran agama. Pada kesimpulannya, tidak ada sumber kebenaran melainkan dari agama.

Sejak saat itu, agama nampak menakutkan di Barat, bahkan secara khusus terlepasnya pengaruh agama ini diberi nama sebagai zaman pencerahan (aufklarung). Karena trauma itu, semangat pencerahan beriorentasi memisahkan pengaruh-pengaruh keagamaan dari pemerintahan (sekulerisme). Para pemikir berupaya menciptakan moralitas baru yang bersumber dari otoritas akal atau nilai-nilai kemanusiaan.

Semenjak otoritas kebenaran dan pengatahuan diambil alih oleh manusia (antroposentrisme), Eropa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Manusia telah independen tanpa adanya intimidasi dari mitos (mitosentris) dan agama (teosentris). Peradaban Barat berpijak pada semangat positivistik yang rasional, empiris, dan ilmiah.  Dengan spirit demikian, banyak melahirkan pemikir dan ilmuan-ilmuan baru. Mereka sangat produktif melakukan riset dan eksperimen. Laboratorium menggantikan rumah ibadah sebagai sumber pengatahuan. Tidak butuh waktu lama, Eropa tampil sebagai pusat peradaban dunia sampai sekarang.

Berkat prestasi dan kreativitas manusia, khusunya penemuan-penemuan dalam di bidang teknologi menjadikan manusia sebagai agen paling sentral dalam perubahan global. Sekarang perkembangan teknologi baru dikenal dengan istilah rekayasa siborg (cyborg). Siborg adalah makhluk dengan tubuh organik yang dipadukan dengan anorganik/biomekatronik. Sederhananya, siborg adalah perkawinan antara manusia dengan mesin.

Menurut Yuval Noah, sebenarnya dalam suatu pengertian, kita semua saat ini adalah siborg. Sebab indra-indra dan fungsi alami kita telah digantikan oleh alat-alat tekhnologi (anorganik), seperti kacamata, alat pacu jantung, komputer, telepon, pengeras suara, dan lainnya.

Namun, terlalu sederhana jika hanya menukil contoh demikian. Jesse Sullivan, seorang teknisi listrik Amerika yang kehilangan lengannya saat kecelakaan 2001, kini ia menggunakan lengan mesin/biomekatronik, persembahan dari Rehabilitation Institute of Chicago. Keistimewaan lengan buatan ini adalah bisa dioperasikan melalui pikiran. Sinyal saraf yang tiba dari otak Jesse diterjemahkan oleh komputer mikro menjadi perintah listrik, dan lengan-lengan mesinnya pun dapat bergerak.

Ilmuan percaya bahwa manusia bisa mempunyai lengan mesin yang bukan hanya mampu bergerak, melainkan juga mampu mengirim sinyal ke otak. Dengan begitu, ilmuan bisa saja membuat makhluk seperti dewa-dewa dalam mitologi Yunani atau Hindu yang memiliki banyak tangan dan kepala. Atau bahkan memadukan manusia dengan sayap, baling-baling, roda, dan sebagainya seperti dalam film imajiner.

Disamping itu, “intuisi manusiawi” yang kita bangga-banggakan ternyata juga dipandang oleh ilmuan hanyalah proses pengenalan pola. Keakuratan pengenalan pola akan sangat dipengaruhi oleh data-data dan pengolahan data (algoritma). Algoritma ini yang melahirnkan Artificial Intellegence (AI) atau pengatahuan buatan.

Salah satu penemuan mutakhir yang akan mengguncang eksistensi manusia adalah Robot Artificial Intellegence (AI). Robot AI merupakan perkawinan antara robot dan Artificial Intellegence. Jika temuan ini dikembangkan secara serampangan, cepat atau lambat niscaya akan mengkebiri umur antroposentrisme.

Hal ini dikarenakan manusia akan bersaing dengan barang ciptaannya sendiri yang sedikit banyak melampauinya, baik dalam segi fisik maupun kognitif. Tanpa pengendalian dari manusia (ilmuan), saya optimis melihat dunia akan memasuki babakan sejarah baru, yakni zaman robosentris (segala hal berpusat pada robot).

Robot-robot AI telah diproduksi dan dikembangkan oleh negara-negara besar dunia. Diantaranya, Amerika, China, Jepang, Korea, dan sederet negara-negara di belahan benua Eropa. Masa depan robot terbilang sangat cerah, mengingat mereka dapat membantu keterbatasan manusia. Robot AI telah beberapa kali digunakan dalam berbagai kesempatan menyambut tamu kehormatan.

Salah satu robot AI yang sering tampil mengisi layar kaca adalah robot AI buatan David Franklin Hanson Jr asal Amerika Serikat. Manusia bajakan ini diberi nama Sophia. Sophia diaktifkan pada 19 April 2015 dan dirancang untuk dapat belajar serta beradaptasi dengan prilaku manusia. Sophia menjadi tamu istimewa sekaligus dipublikasikan pada rapat PBB 2017.

Dengan bermodelkan tubuh perempuan, Sophia sangat mirip dengan manusia. Ia dilengkapi dengan ekspresi estetik dan kemampuan berinteraksi layaknya manusia. Sophia buatan David Hanson ini memiliki kecerdasan buatan berupa pengelolahan data, pengenalan wajah, pengenalan suara, dan mampu meniru gerak tubuh manusia.

Kala Sophia menghadiri kegiatan Future Investment Intiative (FII), ia memberikan presentase dengan menunjukkan kemampuannya menirukan ekspresi manusia dan dilanjutkan dengan proses tanya jawab yang dipandu oleh moderator. Kehadiran Sophia di ruang publik sebagai pengakuan hak atas robot untuk berbicara.

Tidak sampai disitu, Sophia sebagai hasil cipta perusahaan yang berbasis di Hong Kong telah mendapatkan status kewarganegaraan dari Negara Arab Saudi. Pengakuan kewarganegaraan Sophia sempat menjadi berita utama Internasional.

Cepat atau lambat, robot AI yang sudah diciptakan dan yang sedang atau ingin diciptakan akan menggantikan peran dan fungsi manusia secara perlahan. Ekstremnya bisa menggantikan peran dan fungsi manusia secara keseluruhan, atau bahkan bisa menjadi manusia itu sendiri.

Dalam pandangan aliran monistik yang tidak membedakan antara pikiran dan zat. Aliran ini hanya melihat perbedaan ada dalam gejala yang disebabkan proses yang berlainan, namun mempunyai substansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Einstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat. Dalam hal ini, maka proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektronika dari otak.

Jadi yang membedakan manusia dan robot hanya terletak pada komponen dan struktur yang membangunnya, tapi zatnya sama. Kalau komponen dan struktur robot sudah dapat menyamai manusia maka robot bisa jadi melahirkan dan menyusui seperti manusia. Pada akhirnya manusia dan robot akan sulit dibedakan. Puncaknya mereka akan saling mencurigai.

Dalam berbagai hal, Robot AI tidak hanya mengungguli keterampilan manusia dalam hal fisik dan kognitif, ia juga menikmati kemampuan unik non manusia yang tidak bisa dinikmati oleh manusia seperti konektivitas dan pembaruan (updateability). Dari informasi CNBC Indonesia, robot AI potensial menghapus 6,17 juta pekerjaan di sektor keuangan. Belum lagi di sektor politik, keamanan, riset, dan sebagainya. Pastinya miliaran pekerjaan akan terancam diambil alih oleh Robot AI.

Umur zaman antroposentris kelihatannya tidak akan berlangsung lama. Jauh lebih singkat dari masa teosentris yang kurang lebih bertahan 10 abad. Apalagi kalau dibandingkan dengan masa mitosentris yang kurang lebih sudah ada sejak manusia diciptakan.

Apakah betul ini tanda berakhirnya peradaban manusia? Atau ini wajah baru kemanusiaan kita?

Arisnawawi, mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis sebagaimana yang tertera. Tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Estetikapers.com