Di abad dewasa ini, semakin banyak istilah-istilah asing yang hadir dan hidup di lingkungan masyarakat, misalnya childfree atau childless, yaitu sebuah istilah yang menunjukkan kondisi di mana seseorang atau pasangan memutuskan untuk hidup tanpa anak, atau tidak memiliki anak, baik anak kandung maupun anak angkat. Istilah ini sangat familiar dengan agenda-agenda feminisme. Berbagai agenda yang dilakukan para feminis salah satunya adalah gerakan childfree, yaitu para perempuan diberikan kebebasan memilih untuk tidak memiliki anak, tidak menjadi ibu, dan tidak mengalami proses kehamilan dan melahirkan, karena sejatinya tubuh perempuan adalah miliknya sendiri, dan yang memiliki kuasa atas tubuh perempuan adalah dirinya sendiri. Keputusan childfree adalah keputusan yang sangat personal.

Keputusan untuk mengagendakan dan melakukan gerakan childfree ini banyak ditemui terjadi pada pasangan menikah yang masih muda atau milenial yang memiliki pemikiran lebih modern dan terbuka. Keputusan yang diambil oleh pasangan tersebut dilatarbelakangi berbagai masalah yang berbeda dan kompleks.

Pakar Psikologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, mengemukakan beberapa alasan dibalik keputusan dari agenda childfree tiap pasangan, diantaranya adalah:

  1. Trauma masa kecil
    Tiap-tiap manusia lahir dari latar belakang keluarga yang berbeda, tiap pasangan tentu memiliki masa lalu yang berbeda terkait pola asuh orang tuanya, apa yang dilihat dari keluarga bisa tertanam sangat lama dan mengikuti tumbuh kembang personal hinggal dewasa. Apabila seseorang memiliki trauma masa lalu atau inner child yang terluka, agenda childfree kemungkinan besar akan dilakukan guna menghindarkan individu-individu lain dari trauma yang sama terkait pola asuh orang tua. Tentu tidak semua personal yang pernah memiliki trauma masa lalu akan mengagendakan hal ini bersama pasangannya, seseorang yang sudah merasa sembuh dari traumanya tentu tidak akan memiliki ketakutan seperti itu, namun bagi personal yang belum keluar dari trauma tersebut, kemungkinan ini tidak akan pernah tertutup malah akan terbuka sangat lebar.
  2. Isu lingkungan
    Hadirnya narasi overpopulasi di dunia. Populasi manusia yang semakin banyak berjalan lurus dengan kerusakan alam yang semakin parah. Personal dan pasangan yang memiliki kesadaran tinggi akan isu-isu terkait lingkungan tentu akan mempertimbangkan untuk melahirkan individu baru yang memiliki potensi merusak dan memperparah kerusakan bumi. Maka keputusan childfree akan menjadi opsi bagi pasangan dan personal-personal tersebut.
  3. Kondisi finansial
    Selain kesiapan mental, kesiapan finansial perlu diperhitungkan apabila akan membesarkan anak, bertambahnya satu individu yang perlu dibiayayi dalam keluarga tentu memerlukan biaya yang besar. Pasangan dan personal yang sudah memperhitungkan bahwa dirinya tidak akan mampu membiayayi pertumbuhan anak akan memilih gerakan childfree agar finansial mereka dapat dialokasikan untuk kebutuhan mereka yang tidak sedikit.
  4. Tidak memiliki kemampuan dalam mebesarkan anak dan maternal instinct issue
    Maternal instinct issue adalah kondisi emosional seorang wanita yang tidak yakin dapat menjadi ibu yang baik bagi anaknya, tidak yakin dapat menuntun anaknya pada jalan yang dianggap benar, dan ketakutan terhadap masa depan dimana para ibu justru mengambil kontrol penuh atas kehidupan anaknya. Atas dasar hal-hal sehingga timbul keputusan untuk melakukan gerakan childfree guna menghidari kesengsaraan terhadap kehidupan individu yang tidak pernah meminta untuk dilahirkan.

Selain latar belakang di atas, masih banyak alasan-alasan lain yang menjadi dasar dilakukannya gerakan childfree oleh pasangan maupun personal. Lantas, apakah gerakan ini dapat dilakukan di Indonesia? Berbagai opini hadir beriringan dengan hadirnya agenda childfree di Indonesia, hal ini dianggap sebagai hal tabu di negara kita sepanjang yang diketahui bahwa, Indonesia merupakan negara pro-natalis atau pro terhadap kelahiran, dengan berbagai anggapan terkait anak sebagai pelengkap sebuah keluarga. Oleh karena itu keputusan untuk mengagendakan childfree dalam keluarga adalah hal yang sangat kompleks, selain pandangan masyarakat, pandangan keluarga tentu saja ikut andil dalam pengambilan keputusan ini.

Kasus nyata dialami oleh influencer Instagram Gita Savitri dan pasangannya Paul Partohap yang memutuskan untuk melakukan gerakan childfree. Keputusannya ini menuai banyak sindiran netizen yang menganggap Gita Savitri aneh dan menyimpang dari budaya yang berlaku di Indonesia. Gita Savitri menjawab sindiran-sindiran netizen dengan membeberkan beberapa alasannya melakukan gerakan childfree diantaranya adalah karena hal itu adalah pilihan hidupnya.

Childfree tentu memiliki dampak buruk dan baik. Beberapa pakar mengatakan bahwa keputusan childfree memiliki dampak buruk diantaranya adalah, perempuan rentan terkena kanker payudara karena tidak melewati fase hamil dan menyusui yang akan menyebabkan perubahan hormonal yaitu peningkatan progesteron dan penurunan hormon estrogen. Sedangkan dampak terbaiknya dilansir dari ahli psikologi bahwa wanita yang tidak memiliki anak akan memiliki jangka waktu hidup lebih panjang karena menurut penelitian, tanggung jawab membesarkan anak akan sangat besar dan berat serta melelahkan, baik dari segi fisiki maupun pikiran. Sehingga wanita yang memutuskan untuk melakukan gerakan childfree akan terhindar dari tanggungan tersebut dan terhindar pula dari kelelahan karena tanggung jawab membesarkan anak.

Childfree sendiri dianggap sebagai tamparan yang sangat keras bagi dunia parenting karena tiga dari lima kasus pasangan memilih childfree adalah karena trauma masa lalu, pasangan dengan trauma masa lalu terkait orang tua memutuskan untuk tidak memiliki anak karena merasa tidak percaya diri dapat menjadi orang tua yang baik bagi anak mereka, dan rasa tidak percaya dapat memberlakukan parenting berbeda dari yang dilakukan orang tua mereka. Fenomena ini harus menjadi perhatian khusus bagi orang tua yang memiliki anak dan tidak ingin anak mereka kelak memberlakukan gerakan ini, bahwa orang tua harus melakukan parenting yang baik dan tidak memberi tekanan kepada anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang dan mencari jati dirinya.

Selain para feminis, aktivis lingkungan juga banyak yang setuju dengan gerakan ini seiring dengan munculnya narasi overpopulasi. Kerusakan lingkungan yang disebabkan manusia merupakan salah satu isu besar dunia, manusia yang ignorant, manusia yang tidak memikirkan kesehatan bumi, berpontensi lahir dari mana saja, sehingga gerakan childfree ini dianggap salah satu upaya untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan yang lebih parah, dan upaya memperpanjang masa hidup bumi.

Dari beberapa paparan alasan-alasan mengapa childfree dilakukan dan mengapa banyak pasangan khusunya milenial ingin memberlakukan gerakan ini, childfree tidak dapat dilihat dari teropong yang negatif saja, berbagai alasan yang mendasari dianggap sangat kuat dan dianggap meyakinkan. Oleh karena itu akan sangat berguna kegiatan konseling terhadap pasangan menikah yang belum memiliki anak terkait masalah-masalah yang mendasari terjadinya childfree.

Jadi, apakah childfree merupakan gerakan yang egois dan aneh? Tidak ada jawaban konkret dari pertanyaan ini, semua akan dikembalikan kepada keputusan masing-masing pasangan yang akan atau sudah menikah.

Penulis: Niken Salsabila, Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia