Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang sarat akan nilai-nilai pendidikan di dalamnya; sebuah tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki latar belakang dan sudut pandang yang berbeda. Dalam bayangan kita, kampus itu merupakan tempat yang terbuai oleh khazanah keilmuan yang barangkali tidak akan kita temui di sudut-sudut tempat lainnya.

Tidak mengherankan jika siapa pun yang sedang berada di masa transisi antara sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, sedikit atau banyaknya dari mereka akan mendambakan sebuah lingkungan yang bisa mendukungnya dalam memperoleh dan mengembangkan keilmuan melalui berbagai macam sudut pandang yang ada.

Bagi mereka yang hendak memasuki dunia kampus dan akan menyematkan nama Mahasiswa Baru (Maba) masih sangat polos ketika hanya berkutat di tujuan ideal mengenai kampus itu sendiri. Mereka akan menjalani kehidupan kampusnya sebagaimana yang mereka dambakan, namun lambat laun, sebagian dari mereka akan menyadari beberapa hal ternyata jauh dari tujuan ideal mereka.

Di tataran kampus, ada sebuah gerbang baru yang semi-wajib dan harus dilalui oleh setiap maba, yakni pembinaan atau pengaderan. Tidak ada yang salah sebelum kita lebih jauh membahas betapa buruknya pola-pola yang diterapkan di dalam proses tersebut. Padahal sejatinya, melalui proses pembinaan itulah yang akan menentukan orientasi maba ke depannya dalam menjalani kehidupannya di dalam hingga keluar menjadi wisudawan dari kampus tersebut. Pembinaan dan pengaderan bukan saja berakhir pada acara formal yang biasanya diselenggarakan dalam waktu sepekan saja, melainkan sepanjang waktu hingga melahirkan kader-kader baru lagi. Artinya, sebelum kita benar-benar purna dari kehidupan kampus, kita setidaknya telah menciptakan generasi berkualitas sebagai pelanjut perjuangan yang mengacu pada tugas dan fungsi mahasiswa itu sendiri.

Ketika kita melihat lebih dalam lagi terhadap kehidupan kampus, barangkali kita akan memaki diri sendiri yang begitu polos melihat kampus secara mentah-mentah saja. Dalam pelaksanaan proses pembinaan dan pengaderan jangka panjang, kita masih mendapati sejumlah mahasiswa yang memiliki mental preman di kampus mana pun itu. Preman di sini bukanlah preman yang kita artikan secara utuh apa adanya, melainkan aksi premanisme yang dilakukan oleh orang-orang yang melabeli diri mereka sendiri sebagai kaum terdidik yang terikat dengan kata “mahasiswa.”

Kita tidak bisa menyangkal, para mahasiswa yang bermental preman ini sebagian besar mengambil peran dalam menanamkan doktrin-doktrin ala militer yang kita kenal dengan istilah senioritas, sebuah garis komando yang pucuknya berada di kaki dan tangan senior untuk maba. Intervensi dan kekerasan akan begitu mudah terjadi ketika yang di bawah tidak mengindahkan perintah dari yang di atas. Seiring berjalannya waktu, hal ini menjadi sebuah fenomena yang begitu lumrah dan mengakar, bahkan menjadi sebuah tradisi yang dilakukan secara turun-temurun kepada maba tiap tahunnya. Dengan itu, menerima dengan ikhlas segala bentuk kekerasan fisik dan verbal menjadi satu-satunya jalan yang harus dilakukan oleh maba yang notabene belum tahu apa-apa dengan dalih agar junior menyegani senior dan tahu batasannya. Dari situ, kita bisa melihat betapa hausnya mahasiswa senior akan kehormatan dan validasi. Alih-alih disegani, yang ada mereka hanya ditakuti, sehingga berpotensi besar hanya akan diolok-olok ketika mereka tidak ada. Konsep segan dan takut adalah dua hal yang sangat berbeda. Kita menyegani seseorang karena ada nilai tawar dalam bentuk positif yang diberikan.

Jika ditinjau dari aturan hukum, tentu saja hal ini telah mencoreng dengan begitu jelas nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Di kehidupan sekarang, pola-pola senioritas dinilai sudah sangat tidak relevan lagi. Manusia yang bertambah cerdas lambat laun menyadari sebuah pola yang sangat tidak mendidik ini. Kita hanya menuntut pola yang baru, yakni duduk santai, meminum kopi, menghisap rokok, berbicara lantang dan berdiskusi terkait keilmuan dan perkembangan isu sosial, barangkali kegiatan tersebut bisa menjadi solusi agar kampus tidak dimiliki oleh segelintir orang yang menganggap diri mereka sebagai si paling senior. Hal ini justru dapat lebih mendisplinkan pola pikir dan logika maba, sehingga tujuan awal dari pembinaan dan pengaderan itu betul-betul dapat menciptakan kader berkualitas, berintelektual, dan diaktualisasikan.

Sebelum mengakhiri opini singkat yang berangkat dari keresahan ini, saya hendak mengutip kalimat yang diujarkan Eun Seom yang diperankan Song Jong Ki dalam serial drama Korea “Arthdal Chronicles.”

”Kami tak tahu apa itu bawahan, karena kami anggap semua setara. Itulah mengapa, aku selalu baik padamu.”

Mari merefleksikan diri dari semua yang telah kita lalui, terkhususnya kita sebagai masyarakat Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) yang selalu berkonsentrasi mengkaji ilmu-ilmu humaniora. Masih adakah riak-riak di jiwamu untuk menumpas segala bentuk dehumanisasi? Jika masih ada, mari merayakan itu.

Penulis: Rananta Radmila Nayaka, pria pengelana yang bekerja untuk rakyat yang kebetulan terdampar di Makassar dalam rangka menuntut ilmu.

*) Tulisan ini adalah tanggung jawab penulis sebagaimana yang tertera. Tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Estetikapers.com.