Baru-baru ini Universitas Negeri Makassar (UNM) kembali digegerkan dengan kabar adanya kasus kekerasan seksual di kampus, kendati pun kasus ini terjadi tahun 2020 yang lalu. Perilaku biadab ini justru dilakukan oleh orang-orang terdekat lingkungan kita seperti teman seangkatan, senior bahkan dosen yang mestinya menjadi figur tauladan. Hasil pengumpulan data yang diperoleh Tim Estetikapers Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNM pada 18 April-14 Juni 2021 terdapat 38 kasus kekerasan seksual, di mana sebanyak 31 kasus melibatkan mahasiswa, 4 kasus dilakukan oleh oknum dosen dan 3 kasus di antaranya tidak merincikan pelaku. Jenis kekerasan seksual pun beragam, mulai dengan cara menyentuh fisik tanpa izin sebanyak 26 kasus, 15 kasus berupa cat calling (ucapan, siulan, pujian, yang bernuansa seksual), dan 14 kasus jokes sexist (candaan bernuansa seksual).

Bukan tidak mungkin, banyak kasus-kasus lainnya yang belum muncul ke permukaan. Dengan maraknya kasus kekerasan seksual terutama yang menyasar perempuan, sudah seharusnya masalah ini kita soroti bersama. Apa yang menyebabkan kasus kekerasan seksual masih tetap langgeng hingga saat ini? Menurut penulis, ada dua hal pelanggeng kekerasan seksual pada institusi perguruan tinggi sebagai berikut.

Penyelesaian Kasus yang Keliru
Tiap kasus kekerasan seksual, selalu saja menempatkan ‘perempuan’ sebagai sosok yang disalahkan. Sebagian di antara kita lebih memilih membangun stigma yang pro terhadap pelaku dibanding korban dengan anggapan perempuan lah yang menggoda atau memancing suasana, bahkan perempuan disebut ‘menikmati’ pelecehan tersebut. Kondisi ini memaksa korban memilih diam, takut melaporkan karena dihantui stigma-stigma buruk di sekitarnya. Kondisi dilematis yang dialami korban membuatnya bungkam, apalagi melaporkannya ke pihak kepolisian.

Sering kali penyelesaian kasus kekerasan seksual ditangani dengan abal-abal (asal selesai), tidak berimbang dan berujung damai, seperti penyelesaian kasus secara kekeluargaan atau internal kampus yang justru semakin menjauhkan korban dari keadilan. Hal ini disebabkan pelaku kekerasan memiliki otoritas, jabatan, pengaruh dan bentuk sumber kekuatan lainnya yang semakin menekan dan membawa ketakutan bagi korban. Seperti kasus Meliana, seorang mahasiswi STMIK Primakara Bali yang dengan terpaksa menuruti hawa nafsu dosennya karena tidak punya pilihan lain pada saat kejadian. Ketimpangan ‘relasi kuasa’ ini betul-betul memenjarakan korban. Penyelesaian kasus secara kekeluargaan tidak hanya membawa kerugian, tetapi juga akan menambah daftar korban kekerasan seksual berikutnya serta membawa angin segar bagi pelaku. Teramat disayangkan, sebab semuanya dilakukan untuk menyelamatkan nama baik kampus dan demi melindungi citra pelaku yang berasal dari dosen serta oknum mahasiswa. Situasi ini benar-benar menambah ketidakadilan bagi korban.

Mirisnya, saat satu-persatu kasus kekerasan terungkap ke publik, rektorat kampus dan lembaga kemahasiswaan terkesan berlomba menutupinya serapat mungkin. Sementara, di saat yang sama, mereka juga mendukung kampus yang aman dari kekerasan seksual. Padahal, menyembunyikan kasus ini sama halnya memberikan ruang bagi pelaku untuk melanjutkan profesinya sebagai predator seksual, bukan hanya ke korban yang sama, tetapi juga ke korban yang baru. Tentu kenyataan ini jauh dari harapan kita semua, di mana pelaku mestinya diberhentikan dan diadili.

Jikalau pun pada akhirnya kasus kekerasan seksual diselesaikan secara damai (permintaan maaf pelaku), bukan berarti kasus ini seketika dianggap selesai. Bagaimana pun, proses hukum kasus kekerasan seksual tetap harus berjalan sampai korban menemui keadilan. Kasus-kasus kekerasan seksual di mana pun dan siapa pun yang menjadi korbannya, sudah seharusnya menyadarkan kita semua selaku sivitas akademik, agar lebih peduli terhadap korban serta menjadikan kasus-kasus serupa sebagai keresahan bersama serta mulai menyuarakannya.

Ketidakberpihakan Birokrasi Kampus
Sistem perguruan tinggi di Indonesia yang bersifat otonom menyebabkan permasalahan-permasalahan kemahasiswaan diserahkan ke otoritas kampus masing-masing. Berkaca pada besarnya potensi terjadinya kekerasan seksual di UNM, pembuatan peraturan rektor nampaknya sangat dibutuhkan dalam pencegahan, pelayanan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Hal demikian dilakukan sebab beberapa kasus tidak sepenuhnya tuntas atau tidak membawa keadilan bagi korban, seperti kasus malang yang dialami salah satu mahasiswi FBS UNM, di mana oknum dosen hanya disanksi skorsing ‘sementara’ selama satu semester.

Mestinya, UNM belajar dari perguruan tinggi lainnya seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sudah punya mekanisme dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus. Meskipun penerapannya belum begitu maksimal, setidaknya UGM telah menunjukkan ‘keberpihakannya’ terhadap korban dan komitmennya dalam mewujudkan kampus sebagai ‘ruang aman’ dengan mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM. Mekanisme penyelesaian kasusnya pun terbilang sederhana, jika ada laporan, maka tim dari unit layanan akan melakukan pendampingan dan konseling terhadap korban, sementara pelaku akan diberi sanksi dari tim etik, baik di tingkat fakultas maupun universitas.

Keberpihakan institusi pendidikan skala nasional juga telah dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dengan menerbitkan SK Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada 1 Oktober 2019, yang ditujukan kepada para rektor dan ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) melalui Dirjen Pendidikan Islam. Sanksi dalam pedoman tersebut diatur secara berjenjang, di mana kasus akan disidang dalam Dewan Etik kemudian dilaporkan ke Kementerian Agama (Kemenag). Selanjutnya unsur pidana dalam kasus tadi bisa dilaporkan ke ranah hukum. Tidak hanya itu, pihak kampus akan memberikan pelayanan berupa pendampingan terhadap korban sampai mendapati keadilan.

Upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan keterlibatan lembaga-lembaga kemahasiswaan dengan membuka pelayanan pengaduan untuk korban dan berbagai kegiatan sosialisasi ‘Kampus Bebas dari Predator Seksual’. Namun pencegahan dan pelayanan semacam ini cenderung bersifat pasif dan kurang efektif karena hanya berperan ketika ada pelaporan. Misalnya membuka posko pengaduan, upaya ini memang berjalan namun belum banyak mengubah keadaan sebab lembaga hanya menjangkau korban yang melapor saja. Belum lagi, pembicaraan tentang seksualitas masih terbilang tabu untuk diperbincangkan.

Berbeda dengan UNM yang belum memiliki peraturan khusus. Hal ini menjadi catatan buruk bagi citra dan kinerja universitas sehingga kita tidak perlu heran saat terjadi kekerasan seksual, pihak kampus selalu menganggapnya sebagai ‘masalah pribadi’ dan tidak ada hubungannya dengan kampus. Penulis melihat hal ini sebagai petanda ketidakberpihakan kampus terhadap korban yang notabenenya mahasiswanya sendiri. Kampus seakan-akan mencabut hak mahasiswa yang idealnya memperoleh pelayanan dan rasa aman. Toh, mahasiswa tetap menunaikan kewajibannya dengan membayar mahar Uang Kuliah Tunggal (UKT) sesuai yang diinginkan kampus sehingga menjadi wajib bagi pihak rektorat memberikan pelayanan maksimal bagi seluruh mahasiswanya dengan segera mengeluarkan Peraturan Rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di UNM.

Kita semua berharap kampus jangan lagi berlindung dari pernyataan ‘kita akan mengambil pelajaran dari kasus-kasus yang terjadi’ yang justru hanya samakin menambah ketidakpastian penyelesaian masalah, atau jangan-jangan pernyataan tersebut hanya dijadikan alasan untuk menyembunyikan kegagalan birokrasi UNM dalam melindungi mahasiswanya, atau mungkin sebatas mencari cara lain untuk menjaga reputasi kampus? Menarik kita nantikan.

Sudah saatnya UNM berbenah.

Penulis: Akbar, mahasiswa FIS-H Sosiologi angkatan 2017 yang sedang aktif menulis di media mana saja.

*) Tulisan ini adalah tanggungjawab penulis sebagaimana yang tertera. Tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Estetikapers.com