Ada kebijakan unik di Negara Brazil yang diberlakukan oleh pemerintah setempat dalam pembinaan para tahanan. Untuk mendapat potongan (remisi) masa tahanan, para terpidana diwajibkan untuk membaca buku sekurang-kurangnya 14 buku. Jenis buku apa saja, tetapi yang direkomendasikan adalah novel atau filsafat. Setelah membaca, mereka diminta menulis hasil dari bacaan mereka dalam model serupa esai dengan tata bahasa yang baik dan benar. Tulisan itu kemudian diajukan kepada panel atau kelompok orang yang ditunjuk untuk menentukan dan memilih apakah tulisan para terpidana itu layak mendapatkan remisi atau tidak. Jika dianggap layak, maka terpidana akan mendapat pemotongan masa tahanan empat hari. Dikutip dari harian Kompas, 27 Juni 2012, menurut pemerintah setempat kebijakan itu diterapkan sebagai upaya pembinaan mental para terpidana. Orang-orang bersalah itu kemudian diharapkan memiliki wawasan yang luas dari hasil membaca buku.

Kebijakan itu tentu bukan tanpa sengaja. Buku sastra sebagai sarananya dimaksudkan agar para terpidana memperoleh pelajaran yang berharga tentang kehidupan, paling tidak nilai sosial yang ada dalam buku sehingga dapat bermanfaat dalam praktik hidupnya sehari-hari, kelak ketika bebas. Kita kemudian bertanya-tanya, apa yang mendasari pemerintah Brazil menerapkan kebijakan itu? Hipotesis yang paling memungkinkan meski akan terdengar taksa adalah buku-buku sastra itu penting.

Saya kemudian teringat pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang teman dalam sebuah pendiskusian. Bukan tanpa alasan, sebut saja ia merasa tidak tahu. Pertanyaan itu membuat kami terhenyak sejenak, “menurutmu, seberapa pentingkah sastra untuk kehidupan seseorang?”. Salah seorang teman yang duduk di samping kanan yang tidak ingin dikatakan seorang penyair—meski puisi-puisinya terasa asu menjawab tanpa kendala. “sebagai pembaca tentu ada kondisi di mana kegelisahan hadir bukan hanya melihat fenomena sosial, namun juga di dalam karya sastra. Puisi misalnya, puisi yang baik adalah puisi yang tidak kering gagasan. Seorang penyair menulis puisi bisa disebabkan karena melihat berbagai persoalan, diri atau diluar dirinya”.

Ketika tiba giliran untuk menjawab, saya tidak langsung menjawab. Bekas pimpinan umum salah satu lembaga pers kampus itu kemudian mengulang pertanyaannya.

“di dalam hidupmu mo pale”.

Mari kita mulai dengan analogi sederhana. Seseorang yang sehat takkan pernah menganggap dokter itu penting. Sebaliknya, ketika kita dalam kondisi sakit, seorang dokter itu tiba-tiba menjadi penting dalam hidup kita. Sang penanya mulai kelihatan mual, dahi berkerut sekaligus memperbaiki posisi duduknya.

“Jadi ya secara umum kalau kau bertanya, jawabanku seperti ituji.”

Ada kondisi di mana tubuh membutuhkan, dan ada masa di mana ia tak begitu dibutuhkan. Tetapi pada entitas tertetu, di mana tubuh akan mengalami masa ‘sakit’ yang tidak diketahui namun tetap disadari. Untuk terhindar dari sakit, sadar bahwa setiap manusia punya caranya sendiri; mengikuti dirinya sendiri atau mengikuti manusia yang lain. Frasa ‘sakit’ diartikan bukan sebagai sebab dari lahirnya kebutuhan, sebab ia tak dimaksudkan sebagai hal yang eksplisit. Frasa ‘sakit’ diartikan untuk objektif memandang dan menilai instrumen kebutuhan berjanin kemungkinan di luar dirinya. Konotasinya sebagai pembuka paradigma berpikir. Sastra mesti dijadikan sebagai media utama untuk membuka cakrawala masyarakat yang kadang terkungkung oleh semangat zaman yang tidak disadarinya. Sastra harus menyadarkan masyarakat yang selama ini merasa berada dalam kenyataan yang sesungguhnya, padahal sebetulnya hanya berada pada entitas yang mirip dengan kenyataan. Bisa dibayangkan betapa nasib (adalah kesunyian masing-masing) tidak sepenuhnya benar yang dikatakan Chairil.

Pemahaman tentang sastra sebagai media pemahaman makna kehidupan akan memberikan banyak kebijakan bagi para pembaca. Ia tentu bukanlah jawaban atas persoalan, atau ajaran atas kesesatan terhadap suatu sekte yang mencoba memecah belah Negara ini—namun merupakan cerminan yang merepresentasikan kehidupan yang dapat dibayangkan hingga kehidupan yang tidak bisa dibayangkan.

Mitos Mahasiswa Bahasa dan Sastra di Universitas Negeri Makassar

Jauh sebelum membayangkan gagasan di dalam catatan ini, saya selalu memikirkan esai Saut Situmorang yang berjudul Sastraku Sayang Sastraku Malang—gagasan itu benar-benar mengganggu saya, terlebih karena saya mahasiswa sastra. Esai itu secara gamblang menelanjangi pelaku sastra; akademisi, praktisi, penyair, sarjana hingga penulis yang mayoritas apatis terhadap hal fundamental dalam membicarakan sastra. Terlebih lagi, menjelaskan bagaimana sastra (ilmu sastra) diperlakukan dan diberlakukan dalam dunia akademis dan nonakademis.

Di salah satu bagian, Saut memotret ‘yang bukan “orang sastra” tidak merasa ada yang aneh kalau ikut membicarakan sastra, walau ala pseudo-akademis, alias debat kusir. Pembicaraan dan penafsiran yang terjadi pada umumnya sangat tergantung pada kata hati belaka, karena memang begitulah sastra itu dianggap mereka; sesuatu yang cuma berkaitan dengan ‘hati’, ‘perasaan’, bukan ilmu pengetahuan/sains (ilmu sastra). Ketidaktahuan mereka atas sejarah dan teori sastra secara umum tidak dianggap faktor penting yang harus mereka pertimbangkan dalam membicarakan sastra. (Saut Situmorang 2018 : 29). Namun bagaimana jika ‘orang sastra (mahasiswa sastra)’ yang notabennya jelas menjadi disiplin ilmunya tidak merasa aneh meski atau bahkan jarang membicarakan hal seputar sastra dan ilmu sastra selain di dalam ruang perkuliahan? Terlebih ketika melihat kondisi mahasiswa sastra (Indonesia, Inggris) di Universitas Negeri Makassar (UNM). Kita patut mencontoh apa yang dilakukan oleh para narapidana di Brazil sana.

Lalu, apa yang dimaksudkan ‘mitos’ dalam diri anak sastra? Mari kita sejenak duduk memerhatikan lalu lalang mahasiswa di kampus. Namun sebelum itu, kita terlebih harus berspekulasi atas berbagai asumsi mengenai identitas mahasiswa sastra yang condong kepada hal-hal yang dekat dengan buku; pembaca buku kelas berat, hobi berdiskusi, apresiator ulung, dan mampu mereproduksi apapun menjadi karya sastra. Sekali lagi ini mitos. Mitos dalam perspektif ini merupakan sebuah penyampaian pesan, gagasan atau identitas dari masa lalu ke masa kini, namun untuk menangkap pesan ‘terselubung’ tersebut diperlukan sebuah perspektif untuk menguaknya. (1) mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, (2) hanya ciri tertentu mitos dapat disamakan dengan ciri bahasa, dan (3) ciri-ciri mitos lebih kompleks dan rumit daripada bahasa.

Wacana dan isu mengenai sastra (polemik dalam politik sastra) yang cukup sentral yang jelas menjadi disiplin ilmunya (identitas) tak pernah diperbincangkan sedikitpun, ruang-ruang apresiasi otomatis dipersempit hanya sampai pada matakuliah yang minim teori dan praktik, dan tak ada kurikulum jelas dan mampu dipertanggungjawabkan dalam mendidik mahasiswa yang mengambil disiplin ilmu sastra. Maka berbanggalah kita ‘anak sastra’ ketika sarjana bekerja sebagai pegawai bank. Jauh dari koherensi disiplin ilmu yang didapat selama kuliah.

Fenomena sosial yang ada di Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNM jauh dari kultur intelektual sebagai mahasiswa yang memahami ‘membaca’ bukan hanya sebatas untuk memenuhi tugas analisis novel/prosa atau menulis kreatif atau bahkan menempelkan teks bacaan (copypaste) dalam skripsi. Membaca adalah bentuk yang mendasari kebudayaan intelektual. Maka dengan pongah, kita takkan pernah sadar menganalisis pandangan Levi-Strauss terhadap fenomena sosial-budaya sebagai “kalimat” atau “teks” dimana ada suatu kesatuan yang diberi makna oleh seorang pengarang atau pembicara dan diucapkan oleh kata-kata yang membentuk suatu kalimat.

Merasai Sistem Pengaderan Mahasiswa yang Ambigu

Terkadang kita bertindak sebagai seorang pelukis handal, sangat mampu melukis objek di luar diri dan begitu gagap melukis diri sendiri. Mahasiswa di kampus FBS terlalu banyak seperti pelukis. Ada yang terlihat otonom, namun sebenarnya berdikari. Ada yang terlihat murni karena FBS namun sebenarnya FBS keruh karenanya. Kita terlampau gagal memahami kritik pada batas antara diksi dan aksi. Saya kira karakter-karakter visioner harus mulai ‘berani’ bersuara meski itu baru di dalam pikiran, untuk menerangkan kepada ambiguitas mahasiswa yang akut agar mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya dan mitos yang dibenarkan, dan juga guna memangkas karakter-karakter reaksioner yang terkadang kebablasan menilai keduanya.

Sejauh ini, konsep pengaderan setiap tahun selalu berubah. Disesuaikan dengan kondisi atau relevansi angkatan mahasiswa baru. Pertanyaannya kemudian, apakah dengan berubah-ubahnya sistem pengaderan akan mampu membulatkan atau malah membuyarkan kultur intelektual secara kolektif (bukan angkatan). Dengan minimnya mahasiswa mengemban peran dalam merespon isu-isu luar, dan meretas isu-isu dalam sudah menjadi hal biasa dan tidak begitu dipersoalkan—sebab kesadaran kolektif jauh lebih kuat ketimbang kesadaran personal, hingga kolektifitas itu disadari sebagai miniatur kultur identitas mahasiswa yang sampai pada kesadaran naïf. Pengaderan berbasis literasi telah dilaksanakan beberapa tahun silam. Dengan mematenkan berbagai macam agenda yang berhubungan dengan tema besarnya. Tetapi sekelompok orang dengan rendah hati mempertanyakan sekaligus menginginkan adakah perubahan atau paling tidak efek yang ditimbulkan.

Kelompok yang tinggi hati akan menjawab dengan air yang berusaha menghapus pertanyaan. Hal demikian tidaklah bijak jika diperhadapkan dengan problem merekonsiliasi kultur intelektual. Hal di atas membutuhkan waktu lama, dan perjuangan yang tak sebentar. Pertanyaan ‘adakah perbedaan karena perubahan’ akan bergenealogi seperti bagaimana orang berkulit hitam memandang orang berkulit putih. Pendidikan berbasis literasi begitu ingkar dipahami sebagai bentuk pendidikan mahasiswa yang ideal. Padahal kerja-kerja literasi adalah air yang menghapus tuntutan atau pertanyaan-pertanyaan besar bernada sinisme. Hal itu disebabkan oleh semacam andagium tentang ‘literasi’, ada ruang sempit yang menghamparkan dunia dengan segala kemungkinan-kemungkinannya. Oleh karena itu, kesan ambigu tidak dapat terhindarkan.

Kita kemudian takjub mendengar kebijakan pemerintah Brazil terhadap para narapidana yang notabennya orang yang ‘bersalah’, namun tetap dianggap sebagai bagian dari lapisan masyarakat yang selalu dibutuhkan. Perlakuan itu bisa disebut cukup spesial sebab berupaya kembali mendidik untuk membuka paradigma berpikir, jalan baru yang kemudian secara perlahan meluruskan stigma miring masyarakat terhadap kesalahannya.

Kira-kira apa persamaan antara narapidana di Negara Brazil yang membaca dan menulis untuk mendapatkan remisi masa tahanan, dengan mahasiswa sastra di FBS yang tak merasa aneh ketika tidak membaca dan menulis?

(*)

Sumber Bacaan:

Emzir, Saifur Rohman. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Heddy Shri Ahimsa, Putra. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.

Luxembur, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Sitomorang, saut. 2017. Politik Sastra. Yogyakarta: Jual Buku Sastra

 

 

Wahyu Gandi G, mahasiswa program studi sastra Inggris, menulis puisi, cerpen, dan esai. Bukunya ‘Mendengar Bisu di Langit (2018)’. Bergiat di komunitas Epigram.