Kebutuhan akan pendidikan merupakan suatu hal yang mutlak bagi kehidupan semua manusia, dimulai dari lahir sampai meninggal dunia. Tujuan pendidikan sendiri ialah membentuk anggota masyarakat agar menjadi orang yang berperikemanusiaan maupun menjadi anggota masyarakat yang dapat mendidik dirinya sendiri sesuai dengan watak masyarakat itu sendiri.

Anak merupakan seorang individu yang belum dewasa dan masih harus dididik oleh orang dewasa. Sehingga peran orang tua dalam mendidik anak sangat diperlukan. Baik buruknya anak sangat berkaitan erat dengan pembinaan orang tua. Munculnya tanggapan bahwa orang tua perlu menyekolahkan anak dengan jaminan akan mendapatkan pekerjaan yang layak membuat beberapa orang tua berlomba-lomba dalam pendidikan anaknya, bahkan akan rela menjual sawah, mencari pinjaman demi menyekolahkan anaknya sampai sarjana.

Namun, haruskah oang tua memaksa diri untuk menjual sawah ataupun menggadaikan rumah untuk menyekolahkan anak agar jadi sarjana? Begitu mutlakkah titel sarjana untuk dapat mengubah hidup?

Dilansir dari laman Detiknews.com Menteri Pendidikan Nadiem Makarim pernah mengatakan bahwa “Kita memasuki era ketika gelar bukan lagi jaminan kompetensi”. Kalimat itu mengandung satu kebenaran, dan satu kesalahan. Kebenarannya adalah gelar sarjana memang tak menjamin kompetensi. Kesalahannya itu merupakan fakta yang sudah lama dan bukanlah suatu hal yang baru. Kalau Nadiem mengatakan “Kita memasuki era”, seolah itu baru terjadi sekarang, dan itu salah.

Secara substansial kenyataan bahwa gelar tidak menjamin kompetensi itu bisa bermakna banyak, khususnya bila kita berbicara mengenai pendidikan di Indonesia. Ada hal besar yang harus digeser oleh kementerian pendidikan dan siapa saja yang peduli pada soal pendidikan, yaitu orientasi pendidikan dari gelar ke kompetensi.

Dilihat dari akupintar.com lowongan pekerjaan yang ada di berbagai media, biasanya standar pendidikan D3 atau S1 dicantumkan ke dalam kriteria pelamar yang bisa mendaftar. Meskipun setiap lulusan D3 atau S1 yang melamar belum tentu diterima, adanya kriteria tersebut menunjukkan bahwa kesempatan seleksi kerja lebih besar bagi lulusan dengan gelar sarjana dibandingkan yang belum memiliki gelar.

Peluang sarjana diterima, juga lebih besar apabila linier dengan jenis pekerjaannya. Misalnya, pekerjaan sebagai akuntan terbuka bagi sarjana lulusan jurusan akuntansi. Maka tak heran jika ada orang tua yang rela menjual sawah, kebun, dan sebagainya agar anaknya bisa menjadi seorang sarjana. Tak lain dan tak bukan tujuan utamanya adalah demi melanjutkan hidup di era gempuran globalisasi zaman sekarang yang semakin hari semakin berkembang.

Kemudian muncul pandangan apakah harus sarjana agar hidup dapat lebih baik? dilansir dari hipwee.com terdapat perkataan bahwa sarjana bukanlah hal yang harus ditempuh guna memiliki masa depan yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan banyaknya para lulusan sarjana yang menganggur (jobless). Mereka berpikir bahwa dengan menjadi seorang sarjana maka mereka bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Padahal mungkin mereka tidak tahu apa makna dan esensi dengan menjadi seorang sarjana. Harusnya mereka bertanya sebelum melangkah ke dunia pendidikan yang lebih tinggi. Namun, jika berbicara mengenai gelar sarjana pasti terlintas dalam pikiran kita, hal itu akan membuat orang tua kita bahagia. Orang tua siapa sih yag tidak senang dengan anaknya yang bisa jadi sarjana? Tapi tidak sedikit juga orang tua yang memilih jurusan untuk anaknya, karena orang tua yang menginginkan, bukan karena kemauan sang anak.

Bahkan mereka rela menjual sawah dan segala aset yang dimilikinya untuk membuat anaknya menjadi sarjana, karena keinginan besar mereka untuk melihat anaknya lulus sebagai sarjana seperti yang mereka inginkan. Hingga akhirnya sang anak hanya sekadar lulus dari jurusan tersebut tanpa memiliki soft skill yang didapatkan selama perkuliahan.

Jadi apa sebenarnya arti sebuah sarjana? Menurut Steve Jobs dan Bill Gates (2012: 5) kalau ilmu bisa kita dapatkan tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. Hal tersebut memungkinkan bahwa bisa jadi kita hanya perlu membaca buku referensi jika tujuannya hanya untuk mendapatkan ilmu. Walaupun pada hakikatnya pasti terdapat perbedaan antara lulusan sarjana, lulusan diploma, dan lulusan SMA.

Salah satu fakta di mana orang tua rela menjual sawah beserta rumahnya demi sang anak agar dapat melanjutkan pendidikannya. Dikutip dari Tribunnews.com seorang ibu (sebut saja Ina) rela menjual sawah dan rumahnya sebagai bentuk dukungan kepada anaknya agar bisa melanjutkan kuliah dan sukses di kemudian hari. Sang ibu mengaku hanya ingin memberikan ilmu kepada anaknya sehingga tak mempedulikan biaya yang harus dikeluarkan.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pak Asep, ia rela menjual sawah, berdasarkan pengakuannya kepada Effendi (orang yang membeli pepaya pak Asep) ia dulu mempunyai sawah bahkan pelihara itik juga. Namun, demi anak, semua asetnya ia jual untuk menyekolahkan anaknya agar jadi sarjana. Dengan harapan bisa membantu membiayai sekolah dua orang adiknya.

Tetapi nyatanya, anak yang sudah sarjana 3 tahun itu, hanya bisa bekerja di hotel dan membersihkan kamar. Boro-boro membantu membiayai sekolah untuk adiknya, untuk biaya biaya dirinya sendiri tidak sangup. Bahkan karena telah menjual sawah dan sebagainya adik-adikya hanya sampai SMA, karena tidak ada lagi yang bisa dijual.

Dari fakta di atas dapat dikatakan bahwa sarjana bukanlah segalanya. Pak Asep hanya salah satu contoh dari puluhan atau mungkin ratusan Asep lainnya di seluruh tanah air, yang menjual sawah dan harta bendanya, demi mengejar prestige agar anak dapat menjadi seorang sarjana, tanpa memikirka bahwa anak-anaknya yang lain, juga berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama.

Tapi tentunya setiap orang tua berhak untuk berbuat yang menurutnya terbaik untuk anak-anaknya. Walaupun sesungguhnya, titel sarjana bukanlah merupakan hal utama dari sebuah kesuksesan hidup. Melainkan semata, merupakan salah satu jalan hidup. Ada seribu jalan untuk meraih keberhasilan dalam hidup tanpa harus terpancang dan memaksakan diri menjadi sarjana.

Hidup adalah sebuah pilihan. Setiap orang berhak memilih jalan hidupnya dan tak seorangpun berhak untuk mengintervensinya. Karena pada akhirnya semua kembali lagi kepada diri kita masing-masing. Jika kita sudah mantap dalam menentukan tujuan, jalankan, dan jika orang tua sudah bersungguh-sungguh dalam menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Kita sebagai anak seharusnya menjalankan kehidupan kuliah itu dengan sebaik-baiknya agar tujuan-tujuan bisa tercapai.

Terakhir penutup dari Mahatma Gandhi yang mengatakan Live as if you were to die tomorrow. Learn as if were to live forever yang artinya jalani hidup dengan semangat, kerja keras dan kerja cerdas, seolah-olah waktu kita hanya tersisa besok saja. Jadi selama ada kesempatan untuk menjadi seorang sarjana maka, bersyukurlah karena tidak semua orang bisa berada pada posisi yang seperti itu. Sesungguhnya setiap orang memiliki garis tangan yang berbeda.

Penulis: Mildawati, Mahasiswa Sastra Indonesia