Globalisasi yang makin berkembang membuat kawula muda sekarang semakin tersorot. Mereka yang seharusnya menjadi penerus tongkat estafet dalam mempertahankan kebudayaan yang ada hanya menjadi sebuah khayalan yang tergambar di ufuk mata. Kenyataannya adalah pada saat ini kebudayaan-kebudayaan yang seharusnya dilestarikan terhenti di generasi sekarang ini. Salah satunya adalah tradisi royong yang ada di masyarakat suku Makassar.

Royong adalah salah satu sastra lisan yang sudah muncul sebelum agama Islam masuk ke Indonesia. Royong ini dipercaya bisa memiliki kekuatan supranatural dengan harapan orang atau hajatan yang di- royong -ngi ini menggapai kehidupan yang lebih baik.
Tidak hanya itu, royong juga dianggap sebagai media komunikasi spritual dengan Yang Maha Kuasa serta komunikasi gaib yang dipercaya bisa menolak bala dan menjauhkan pelakunya dari roh jahat.

Pada umumnya royong ini dilakukan oleh kalangan bangsawan namun karena semakin berkembangnya zaman, royong tak lagi dilakukan oleh kalangan bangsawan saja tetapi juga kepada siapapun yang mempunyai kemampuan finansial, bisa menggelar tradisi royong dalam setiap kegiatan upacara. Atau dengan kata lain, royong sudah bisa dilakukan oleh seluruh kalangan.

Tradisi royong ini dilakukan dalam ritual upacara adat seperti upacara Accera’ Kalompoang ( pencucian benda-benda pusaka kerajaan), perkawinan, sunatan, khitanan, upacara Nipasori Baju Bodo (akil balik dengan memakai baju adat) kepada anak gadis, upacara Aktompolok (kelahiran) dan juga upacara penyembuhan Tukkusiang (penyakit cacar).

Ketika royong dilantunkan, iringan musik seperti ganrang (gendang), puik-puik, anak baccing (dua batang besi), kancing (dua buah piring tembaga), curiga (rantai-rantai), gong dan dengkang dimainkan. Royong ini dinyanyikan oleh perempuan baya.

Royong adat Makassar yang dilantunkan. Foto: google.com/ZulkifliMappasomba/etnis

Salah satu syair royong yang sering dilantunkan adalah “cui la ilau’mene manri’bak sikayu-kayu mene, situntung-tuntungang ri passimbangenna Makka, ri alla’na Arapa, ri butta nisingarriamangaggaang ri sapa, namalo ri Marawa, ada menei makkio’, ala kenna mappasengka, tulusuk mami mantama, attawapa’ri ka’bayya, ha’ji ribaetullaya. Ninio’mi ri sehea, nitayamo ri pakkihia, kurru mae sumanga;nu, anak battu riteknea, kutimbangiko doing, kurappoiko barakka’, napappokoki, pakballe iballe nakkilolonna, ilena gulu’battanna, nasikuntumo numera, teamako ma’je’ne mate-namate’nemo pa’maik”. Artinya: datanglah Cuwi, terbang sendirian, melayang tak hinggap-hinggap, di perbatasan Makka, di antara Arafah di tanah yang diterangi, lalu di Safa, juga di Marwah, mana dia yang memanggil, mana yang menyinggahkan, maka teruslah masuk, bertawaf di Kabbah haji Baitullah. Dipanggillah oleh Syekh, dijemput oleh fakih, bangkitkan sengatmu, anak datang dari bahagia. Kuhadiahi engkau doa, kujanjikan untukmu berkat, yang jadi sumber obat-obat penghias remaja, penawar isi perutnya. Maka semuanya menginginkan tak mau lagi berair mata dan bahagialah.

Namun kini, sayangnya royong.sudah jarang bahkan tidak ada lagi yang memainkannya. Ini diakibatkan oleh budaya asing yang semakin menggerus tatanan nilai budaya dan tradisi lokal serta faktor-faktor internal yang timbul dari dalam masyarakat. Bahkan perlahan, tradisi royong ini tidak lagi dianggap sebagai tradisi yang sakral dan bahkan dimodifikasi mengikuti irama modern oleh seniman.

Bahkan mirisnya, nyanyian yang disenandungkan oleh pakroyong (vokalis royong) hanya berfungsi sebagai warisan kuno yang kehadirannya dianggap hanya memperkaya khazanah budaya.

(Nurul Hikmah Syahrul, Husnul Khatimah Mutawakkal, Ahcmad. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah angkatan 2019. Fakultas Bahasa dan Sastra. Universitas Negeri Makassar).

*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis sebagaimana tertera. Tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Estetikapers.com