Kata songkabala sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Makassar. Masyarakat Makassar memahami bahwa songkabala itu berarti tolak bala atau dapat juga diartikan bentuk permintaan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi ini hadir dari aktivitas masyarakat terjadi pada beberapa abad lalu yang telah mewarnai kebudayaan masyarakat Makassar.
Songkabala secara harfiah berarti penolakan bencana adalah tradisi yang berakar pada pusat sosial suku Makassar. Tradisi ini telah diwariskan dari generasi ke generasi dan masih berlangsung sampai sekarang. Tradisi songkabala berisi informasi seperti semangat, moralitas, pengetahuan dan ritual. Dari perspektif spiritual, songkabala mengandung pesan, yaitu hampir semua bencana alam termasuk bencana sosial dalam hal ini adalah ketika hukum keseimbangan universal terganggu dan terkena dampak.
Keadaan sosial dan budaya kita sehari-hari, dari pola tingkah laku yang terhadap masyarakat dan lingkungan tempat yang melangsungkan kehidupan. Songkabala sebagai tradisi yang mencerminkan serentetan proses hidup dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh budaya yang menunjukkan budaya yang mampu menjadi pemersatu bagi masyarakat di suatu daerah tertentu. Tradisi songkabala masih bertahan sampai sekarang sesuai dengan keyakinan terciptanya kerukunan sikap gotong royong antar masyarakat.
Tradisi ini diyakini dan dilestarikan sampai sekarang oleh masyarakat dan dipercayai sebagai penolak bala bencana ataupun malapetaka yang akan menimpa seseorang. Songkabala tidak dilakukan semaunya saja, tetapi dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan biasanya dilaksanakan oleh masyarakat pada saat akan datangnya sebuah bencana seperti banjir, gempa bumi, gerhana bulan, atau wabah penyakit. Songkabala tidak dilakukan hanya saat terjadi bencana tetapi juga pada bulan tersebut. Songkabala dilakukan pada bulan Islam yang sudah disepakati bersama seperti bulan Muharram, bulan Sya’ban, dan bulan Rajab, kata seorang tokoh agama H. Abd. Latif Daeng Gassing.
Songkabala yang dibawakan oleh masyarakat pada bulan Muharram disebut bubur jepe syura atau Syura, kemudian khitanannya disimpan dalam wadah yang disebut kappara. Di dalam kappara berisi bubur, telur gulung, gula merah, satu atau dua lilin dalam mangkuk, korek api, uang untuk diberikan tupanrita, dan daun pinang dibentuk menyerupai wadah. Usai menunaikan salat Magrib, langsung mengaji dan kemudian makan bersama. Tujuan jepe syura untuk menghilangkan kejahatan Islam di Muharram.
Di tahun baru, upacara penyambutan harus dilakukan untuk mengucapkan doa selamat menolak bencana. Pada bulan Syaban dilakukan ritual yang disebut Mata Syaban yang dilakukan dalam suatu ritual atau cara tertentu yang berbeda dengan songkabala yang biasa dilakukan masyarakat. Upacara tersebut biasanya berupa sesaji atau makanan, seperti kakdo massingkulu, lappa-lappa, dan lain sebagainya. Namun tidak jauh berbeda dengan makanan yang disiapkan untuk di bulan Muharram, selama bulan Syaban hanya diolah bubur, telur dadar dan pisang, seperti pisang raja saja. Siapkan dalam wadah atau tempat bernama kappara atau wadah besi bulat besar, kemudian tutup wadah tersebut dengan pattongko kaddo atau wadah tertutup bundar. Bubur, telur dadar, dan pisang ditempatkan di wadah dan kemudian dibawa ke masjid sebelum salat Magrib, dan setiap komunitas yang mempercayainya melakukan hal yang sama.
Tradisi ini eksis sebagai kepercayaan dan telah dilestarikan oleh masyarakat hingga saat ini dan dianggap sebagai penolakan terhadap segala persoalan. Dilihat dari sisi praktik ritual adat, hal ini berdampak cukup besar terhadap kebiasaan dan pola perilaku masyarakat Makassar, seperti memperkuat ukhuwa. Hal ini dilandasi oleh nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi songkabala yang perlu diungkapkan.
Tetapi sebagian warga masyarakat Makassar sudah tidak menjalankan tradisi ini bahkan menganggap bahwa songkabala bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ada beberapa tanggapan mengenai tradisi songkabala ini, yaitu membuat makanan atau sesajen merupakan suatu tindakan yang melanggar atau menyimpang dari ajaran Islam karena hal tersebut diharuskan ada sebagai syarat dan Islam tidak pernah menganjurkan hal tersebut, yang dianjurkan hanyalah mengirim doa kepada Allah SWT agar bala bencana yang akan menimpa masyarakat dijauhkan. Sebenarnya penyediaan makanan bukanlah sebuah keharusan dalam melakukan tradisi songkabala, tetapi karena orang dahulu masih minim penggunaan bahasa sehingga ia membahasakan siapkan makanan untuk dibaca, padahal dilingkungan masyarakat itu sendiri selalu menyediakan makanan apabila sedang ada tamu seperti anrong guru atau pammaca.
Islam selalu mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya begitu pula dengan masyarakat yang tetap melestarikan tradisi dengan maksud menghargai tradisi nenek moyang dan menjaga kebiasaan lama bukan berarti mengganti dengan kebudayaan baru. Nilai menjadi faktor mengapa kebudayaan itu dilestarikan dan dikembangkan dalam masyarakat sebab inilah yang dihargai menjadi sebuah kebenaran dan dibutuhkan tubuh menjadi sebuah tradisi dalam kebudayaan.
Hingga saat ini sebagian masyarakat Makassar masih melaksanakan dan melestarikan tradisi ini karena menganggap hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam sebab hanyalah doa yang mereka panjatkan kepada sang pencipta untuk dikabulkan, mengenai makanan yang dihidangkan massingkulu, lappa-lappa, dan lain sebagainya ini merupakan unsur tradisi dari nenek moyang yang memiliki fungsi dan maksud agar semua bala bencana yang akan terjadi terlihat seperti nama kedua makanan tersebut.
(Nurfatimah Az-Zahra, Nur Alfiana, Illang. Mahasiswa kelas B Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah angkatan 2019. Fakultas Bahasa dan Sastra. Universitas Negeri Makassar).
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis sebagaimana tertera. Tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Estetikapers.com