Kelangkaan minyak goreng menjadi isu trending topik yang sedang dipermasalahkan oleh seluruh masyarakat di Indonesia saat ini. Hal ini menjadi suatu persoalan yang serius karena minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat untuk menunjang tersedianya bahan makanan siap saji di rumah. Persoalan langkanya minyak goreng berawal dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan untuk memberikan subsidi terhadap harga minyak goreng yang diputuskan dengan konsep satu harga. Harga tersebut ditawarkan dengan kisaran Rp14.000 per liternya untuk semua jenis kemasan. Kebijakan tersebut berlaku sejak tanggal 19 Januari 2022 lalu. Hadirnya kebijakan tersebut memberikan senyum manis bagi para ibu-ibu di rumah juga pelaku usaha yang bergerak di bidang kuliner. Artinya, ketersediaan minyak goreng dengan harga yang cukup terjangkau dapat menopang kebutuhan pokok mereka dibidang konsumsi setiap harinya.
Berangkat dari kebijakan itu, masyarakat pun berbondong-bondong ke toko maupun supermarket untuk membeli minyak goreng subsidi, sebagai persiapan untuk menyambut dan menjalani bulan ramadan. Proses awal kebijakan tersebut berlangsung sesuai dengan harapan karena ini termasuk program yang menguntungkan bagi masyarakat, apalagi ketersediaan minyak goreng telah dijamin oleh pemerintah selama enam bulan ke depan. Minyak goreng yang telah disubsidi akan disediakan oleh pemerintah sebanyak 250 juta liter, di tengah persediaan itu pemerintah juga akan terus melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin minimal satu bulan sekali untuk mengawal jalannya kebijakan ini.
Tidak berselang lama dengan jalannya kebijakan ini, problematika pun muncul di tengah masyarakat. Banyaknya masyarakat yang membeli minyak goreng menyebabkan stock yang disediakan di setiap toko maupun supermarket mengalami kehabisan. Hal ini menyebabkan distribusi minyak goreng harus terhambat, akibatnya sampai saat ini minyak goreng sudah mulai langka atau jarang ditemui di toko maupun di swalayan. Ada banyak masyarakat yang kesulitan untuk kembali memperoleh minyak goreng. Bahkan yang terjadi sekarang, minyak goreng hanya bisa diakses lewat beberapa lembaga yang hadir sebagai pahlawan untuk menyediakan stock minyak goreng kepada masyarakat, itupun diturunkan dengan jumlah yang terbatas. Untuk membeli minyak goreng pada lembaga tertentu yang bertindak sebagai penyedia itu memiliki syarat yang cukup ketat, yakni harus menunjukkan KTP. Indikasi tersebut terdeteksi sudah mulai melenceng dari kebijakan pemerintah, kemudian sasaran monitoring juga tidak secara efektif dan masif digencarkan.
Hadirnya kebijakan subsidi minyak goreng ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak goreng yang telah terjadi sejak beberapa bulan terakhir tahun 2021. Di akhir tahun 2021, pemerintah turun tangan dengan mematok kebijakan satu harga untuk minyak goreng, yakni Rp14.000 per liter. Sejalan dengan itu, Kemendag juga menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Penerapan kebijakan DMO dan DPO minyak goreng ini berlaku mulai 27 Januari 2022. Akan tetapi, pada November 2021, harga minyak goreng kemasan bermerek sempat merangkak ke angka Rp24.000 per liter.
Langkanya minyak kelapa menjadi sebuah indikator keresahan konsumen masyarakat Indonesia. Kenaikan harga minyak kelapa baik itu di pasar tradisional maupun pasar modern melonjak tinggi, yang sebelumnya Rp14.000 per liter menjadi Rp24.000. Perbedaan harga minyak kelapa di pasar tradisonal jauh lebih tinggi dibanding pasar modern sehingga produk yang dijual tidak seimbang. Permintaan konsumen yang begitu besar membentuk terjadinya monopoli harga yang diakibatkan dari kelangkaan minyak kelapa yang terjadi di pasar tradisional, beda lagi dengan pasar modern yang lebih memperketat penjualan minyak kelapa agar dapat terbagi di semua masyarakat. Namun hal tersebut hanya berlaku di beberapa swalayan saja.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, terdapat 163 perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara pada 2020. Jumlah ini tersebar di 15 provinsi Indonesia. Persebaran perusahaan kelapa sawit negara terbanyak terdapat di Sumatera Utara. Jumlahnya mencapai 81 unit usaha. Kemudian disusul Riau yang memiliki 20 perusahaan kelapa sawit. Aceh dan Sumatera Selatan masing-masing menyusul sebanyak 11 perusahaan dan 10 perusahaan. Dari sekian banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara kenapa kita masih saja kekurangan pasokan minyak kelapa, apa yang menjadi permasalahan sehingga minyak kelapa ini menjadi langka? Apakah faktor kebocoran dari pabrik minyak goreng atau adanya oknum yang menjualnya ke luar negeri secara ilegal?.
Masalah minyak goreng sampai saat ini belum membaik karena masih banyak masyarakat yang susah mendapatkan minyak goreng, bahkan untuk mendapatkan satu kemasan saja harus antri panjang di toko. Itupun dibatasi setiap satu orang hanya bisa mendapat satu kemasan. Hal ini dapat menyababkan kenaikan pada bidang usaha yang bahan pokoknya minyak dan itu dapat meresahkan masyarakat. Ada apa dengan minyak goreng?.
Polemik tentang minyak goreng sampai saat ini belum juga terselesaikan bahkan nyatanya harga minyak goreng sudah disubsidikan oleh pemerintah tetapi kabar subsidi mengenai minyak goreng hanya membawa polemik bukannya kabar gembira yang menyebabkan kelangkaan di pasaran. Masalah ini juga yang menimbulkan banyak orang yang bertanya-tanya ada apa dengan minyak goreng, sedangkan kita adalah penghasil minyak goreng yang paling besar. Apakah ada penimbungan minyak oleh mafia? Hal ini yang sangat meresahkan masyarakat. Bukannya mendapat minyak goreng murah, malah mendapat harga mahal walaupun banyak stock tetapi akan dipatok dengan harga mahal dan ini terjadi warung-warung, pasar tradisonal hingga ke pasar modern.
Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, mengatakan minyak goreng langka akibat masalah distribusi yang tidak efektif. Bahkan evaluasi dan monitoring yang dilakukan oleh pemerintah itu tidak dijalankan sebagaimana mestinya sehingga persoalan hari ini adalah praduga kongkalikong antara oknum mafia dan para elite bukan tidak mungkin dapat terjadi. Subsidi harga minyak goreng adalah solusi untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, akan tetapi kebijakan itulah yang juga menyulitkan masyarakat mengakses dan memperoleh minyak goreng. Berangkat dari masalah ini, tentu menyebabkan kekhawatiran bagi masyarakat terkait persoalan minyak goreng hari ini.
Sampai saat ini, langkanya minyak goreng masih dirasakan oleh masyarakat, masih banyak yang sulit mendapatkan minyak goreng bahkan belum berjalan normal bahkan ini terjadi di berbagai daerah di indonesia. Di ritel moderen contohnya, rak-rak yang biasanya jadi etelase minyak goreng sekarang terlihat kosong dan bahkan tidak ada, sedangkan informasi terbaru yang telah diperoleh penulis, saat ini harga minyak goreng telah dilepas oleh pemerintah. Ini berarti minyak goreng tidak lagi disubsidi. Informasi harga minyak goreng kemasan terbaru adalah mengikuti harga keekonomian atau mekanisme pasar.
Dari persoalan minyak goreng yang langka, harusnya ada pergerakan atau bentuk unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa. Desain konsolidasi kebijakan dan pucuk permasalahan harusnya dibahas secara masif oleh mahasiswa. Dengan begitu, gerakan mahasiswa akan kembali pada maruahnya. Disinyalir jika ada gerakan mahasiswa yang mendasari persoalan minyak goreng, otomatis akan mendapat respon yang baik oleh masyarakat. Gerakan sosial antara mahasiswa dan masyarakat dapat terjadi dengan baik serta gagasan dan tuntutan rasional yang disuarakan akan menggetarkan para elite yang bermain di belakang layar terkait kasus kelangkaan minyak goreng ini. Namun, pada kenyataannya di tengah persoalan serius tentang minyak goreng, mahasiswa malah redup dan tidak lagi ada suara dari mereka untuk membantu masyarakat angkat bicara tentang kelangkaan minyak goreng ini.
Penulis: A. Muh. Rifky Nugraha, Firmansyah, dan Andika Pratama, Mahasiswa Semester IV Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin
Editor: Aulia Ulva