Sebaik-baik kampus adalah kampus yang–berakreditasi A–mampu menjadi rumah yang nyaman bagi–seluruh–penghuninya (mahasiswa, dosen, staf, dan makhluk hidup lainnya) dalam menjalani aktivitas keseharian, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang ESTETIK–intElektualitaS, TEnTram, harmonIs, dan Kritis.
Kampus–di fakultas saya pun–tentunya memiliki peran vital dalam mewujudkan ihwal di atas. Dalam proses perkuliahan misalnya, di mana agar mahasiswa dapat berkuliah (belajar) dengan baik, kampus harus menjamin fasilitas yang lengkap dan layak, seperti ruang kelas yang bersih dan tak menyebabkan banjir keringat. Selain itu, kapasitas dosen–di fakultas saya tak usah diragukan–pun harus diperhatikan. Mengikut pelayanan administrasi dan akademik.
Belakangan ini–di kampus saya–marak diadakan perbaikan bahkan penambahan beberapa fasilitas kampus–menambah pengeluaran–yang justru tidak menjurus ke arah penjaminan kenyamanan dalam proses perkuliahan. Seperti papan nama fakultas yang hanya digunakan berfoto-ria oleh beberapa mahasiswa ketika telah melalui tahapan penyelesaian studi. Kenapa tidak dananya dipakai saja untuk perbaikan kelas-kelas–yang pengap itu–atau disumbangkan ke mahasiswa kurang mampu yang lebih membutuhkan (beasiswa)? Atau–lagi–dananya dialokasikan saja untuk penanganan gunung sampah–busuk–yang beberapa bulan terakhir mengalami erupsi yang telah berada di level empat (awas).
Di kampus kalian (pembaca) apakah juga terdapat beberapa pembangunan atau perbaikan fasilitas yang tidak penting-penting amat di masa pemulihan perekonimian negara pasca Covid-19? Atau jangan-jangan kita satu kampus?
Ohiya, di kampus saya baru-baru ini diadakan penerimaan mahasiswa baru (MABA) angkatan 2022 dengan jumlah mahasiswa yang hampir setara atau sedikit lebih banyak dari harga pertalite sekarang. Jumlah mahasiswa terbanyak di rentan waktu setengah dekade terakhir. Atau bahkan–mungkin–sepanjang sejarah berdirinya kampus–saya–tercinta. Beberapa pandangan–para tukang gosip di kampus–mengatakan bahwa mahasiswa baru tahun ini dapat mencapai angka sebesar itu karena–mungkin banyak peminat–program cuci gudang akhir tahun lalu. Jumlah MABA yang membludak ditambah fasilitas kelas yang tidak memadai dan program cuci-cucian yang tidak efisien, perkuliahan MABA pun dilangsungkan melalui media digital–yang telah disiapkan pihak kampus dengan–lebih–matang (aamiin).
Satu lagi. Perihal tata ruang di kampus dalam hal ini pengelolaan lahan parkir–yang buruk–bagi kendaraan mahasiswa, dosen, pun staf kampus. Pernah suatu ketika saya ke kampus dan melihat penampakan parkiran kampus layaknya–bahkan lebih buruk dari–parkiran pasar. Amburadul. Berserakan. Seperti lava hasil letusan gunung–sampah¬ busuk¬–merapi, menyembur, berserakan, dan mengalir di sepanjang sisi gunung membawa ketidakharmonisan jiwa. Untung–?–MABA kuliah online, jadi semburan lava itu tidak sampai berserakan di gunung sebelah.
Melihat kondisi di atas, kampus saya sama sekali tidak menggambarkan lingkungan yang ESTETIK. Kampus saya semakin ke sini, semakin ke sana saja.
Untuk persoalan parkiran, saya punya beberapa solusi untuk kampus–tercinta. Pertama, pengadaan parkiran bawah tanah. Kedua, pengadaan parkiran bersusun layaknya di pusat-pusat perbelanjaan–tapi jangan pakai karcis! Karena semua sudah terbayarkan oleh nominal UKT ya kan? Atau, bagaimana kalau semua aktivitas perkuliahan dialihkan ke media digital saja?
Di hari berikutnya, saya melihat dua tukang parkir baru–berseragam nyaris sama dengan seragam polisi–dilengkapi sempritannya.
Saya menulis ini dalam keadaan mabuk.
Hilang tak sadar-kan diri.
Penulis: Zet En (mahasiswa).
Sedang menempuh Pendidikan di salah satu kampus terbaik se-Nusantara, Fakultas si-paling estetik.