Budaya adalah kebiasaan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Siri’ dalam pengertian masyarakat suku Bugis adalah menyangkut sesuatu yang paling peka dalam diri mereka pribadi. Siri’ bukan hanya sekadar rasa malu sebagaimana halnya yang berada pada masyarakat suku lain. Bagi masyarakat suku Bugis, Siri’ sama derajatnya dengan martabat, nama baik, harga diri, reputasi, dan kehormatan diri maupun keluarga yang semuanya itu harus dijaga dan dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Oleh karena itu, siri’ diperkenalkan secara turun temurun oleh anggota masyarakat suku Bugis dan mengetahui arti hidup dan apa arti harga diri bagi manusia.

Budaya siri’ merupakan tuntutan budaya terhadap setiap individu dalam masyarakat Sulawesi Selatan untuk mempertahankan kesucian mereka sehingga keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan tetap terjamin. Dengan demikian, siri’ pada diri manusia Bugis dapat muncul dari berbagai realitas sosial dan kehidupan sehari-hari. Jika seseorang telah dibuat tersinggung oleh kata-kata atau tindakan orang lain yang dianggap tidak sopan, maka seluruh anggota keluarganya akan ikut merasa tersinggung dan melakukan pembalasan terhadap orang itu demi menegakkan harga diri, terutama harga diri keluarga. Salah satu realitas sosial yang paling banyak berhubungan dalam masalah siri’ adalah perkawinan. Jika seseorang telah dibuat malu, misalnya anak gadisnya telah dibawa lari (silariang) oleh seorang pemuda, maka seluruh pihak keluarga laki-laki dan gadis itu merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku demi menegakkan siri’ yang merupakan budaya Bugis Makassar.

Contoh lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali, entah ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibayar dengan darah, utang nyawa harus dibayar dengan utang nyawa.

Dalam keyakinan Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan siri’ matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai mate risantangngi atau mate rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula.

Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali siparampe maliu sipakainge dan “pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu dan kalau seseorang cenderung terjerumus kedalam hal-hal negatif karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk memperingati dan meluruskannya.

Jadi, seorang pemimpin yang memiliki budaya siri’ dalam dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan membawa bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu mendengarkan apresiasi-apresiasi orang-orang yang mereka pimpin.

Penulis : Gusnawati, Rara Assahrah, dan Abdul Rahman (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Universitas Negeri Makassar)