Maraknya aksi teror akhir-akhir ini menjadi perbincangan banyak kalangan. Apalagi dua kasus terakhir dilakukan oleh perempuan. Mengapa mereka ada dalam lingkar radikalisme? Apakah ini satu lagi tanda bahwa perempuan tidak lagi terjaga dalam dominasi patriarki? Bagaimana dengan kesan lembut, ramah, dan penyayang bagi mereka? Mengapa mereka bisa bertindak seekstrem itu? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Teringat ungkapan salah satu kawan dalam perbincangan tempo hari “Bagaimana mungkin, perempuan yang dahulunya takut meledakkan balon, tiba-tiba tampil meledakkan bom”, “jika laki-laki bom bunuh diri, karena kuat ia ingin bertemu dengan para bidadari cantik. Lantas perempuan mau ikutan, ngapain?”
Kita awali sedikit pengantar mengapa perempuan dan laki-laki bisa diperlakukan berbeda di tengah masyarakat. Dalam buku pembagian kerja secara seksual oleh Arief Budiman, kita bisa berpijak dari teori Nature.
Anggapan teori ini bahwa perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki bersifat kodrati. Anatomi biologis antara laki-laki dan perempuan yang berbeda menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini. Laki-laki memilki peran utama di dalam masyarakat karena dianggap lebih kuat, lebih rasional, lebih potensial, dan lebih produktif.
Organ reproduksi yang dimiliki oleh perempuan dinilai membatasi ruang gerak perempuan seperti, hamil, melahirkan, dan menyusui. Perbedaan ini menimbulkan pemisahan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki peran di sektor publik dan perempuan mengambil peran di sektor domestik.
Dikutip dari Tsania, bahwa para pemikir kaliber seperti Plato mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki-laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya.
Meski sifat-sifat gender (jenis kelamin sosial) demikian dalam pandangan sebagian pemikir bisa dipertukarkan, namun nilai dan budaya yang berkembang di sekitaran kita kelihatannya masih memelihara kestabilan atau status quo dari gender ini.
Mungkinkah gerakan radikalisme oleh perempuan sebagai respon terhadap rezim gender, atau justru korban dari rezim gender?
Pada umumnya, sejarah gerakan sosial adalah respon terhadap situasi yang tidak menguntungkan. Gerakan sosial atau social movment oleh Smelser diartikan sebagai tindakan kolektif untuk mengubah norma dan nilai. Blumer menimpali bahwa gerakan sosial merupakan bagian dari upaya untuk membangun tatanan kehidupan yang baru.
Menurut Martono, Gerakan Sosial dapat dipicu dari adanya ketidakpuasan, ketidakmampuan penyesuaian diri, dan oleh adanya intervensi politik. Mereka yang puas terhadap keadaan sosial, mampu melakukan penyesuaian diri dan memiliki kekuatan politik, dipercaya tendensinya melakukan gerakan sosial sangat minim. Sebaliknya, jika tidak memiliki semua poin di atas, atau salah satunya kemungkinan besarnya seseorang akan tampil sebagai pelaku gerakan sosial.
Mari coba kita sentil sedikit persoalan gerakan sosial, gender, dan radikalisme ini dengan kacamata tokoh-tokoh sosiologi.
Pertama, kita bisa meminjam analisis dari Weber tentang otoritas karisma. Dengan asumsi teori ini, perempuan yang terjun dalam gerakan radikal dapat dipengaruhi oleh otoritas karisma seorang suami yang cukup besar dalam sistem patriarki. Selain itu otoritas guru/ustaz yang cukup besar dalam lembaga agama. Dorongan atau perintah seseorang yang berkarisma akan sangat berbeda dengan dorongan seseorang yang tidak memiliki karisma.
Kedua, jika kita meminjam analisis Durkheim tentang bunuh diri, maka kita akan menemukan seseorang yang melakukan bunuh diri disebabkan oleh faktor luar, salah satunya kuatnya integrasi (doktrin) dalam agama. Selanjutnya orang bunuh diri juga dapat disebabkan oleh faktor emosional, dapat dipahami bahwa perempuan-perempuan di era milenial ini tidak sedikit memiliki beban ganda. Jika kondisi perempuan demikian, memungkinkan mereka untuk lebih cepat stres dan melakukan bunuh diri. Dari pandangan ini, orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme yang disertai bunuh diri bukanlah kemauan tunggal dari pelakunya, melainkan adanya pengaruh dari luar.
Ketiga, jika kita meminjam analisis dari Peter L Berger tentang konstruktivisme, maka gerakan radikalisme dapat muncul karena proses internalisasi nila-nilai yang menyimpang. Besarnya arus informasi dari media turut mempengaruhi proses konstruksi sosial. Seseorang yang tanpa dibekali literasi yang baik akan memunculkan proses konstruksi sosial yang menyimpang. Menurut Berger, perkembangan individu/masyarakat ada dalam proses eksternalisasi-objektivikasi-internalisasi yang berjalan terus menerus seperti siklus. Ketika indivudu membuka diri bergaul di lingkungan luar (eksternalisasi) dan menilai baik buruknya kondisi tersebut (objektivikasi), maka inidividu akan mengambil nilai-nilai yang dianggap baik (Internalisasi). Jika proses objektivikasi bermasalah, maka proses internalisasi tentu juga akan bermasalah. Jika kondisi objektivikasi individu melihat bunuh diri atas nama agama sebagai sesuatu yang baik, maka bunuh diri terlihat sebagai sesuatu yang tidak menyimpang. Di era ini, tidak ada lagi monopoli informasi dari laki-laki (tidak ada lagi alasan mengatakan laki-laki lebih rasional), karena media sosial sudah menjadi milik umum. Alhasil, radikalisme potensial dilakukan oleh laki-laki dan perempuan melalui perpanjangan tangan informasi dari media sosial.
Keempat, jika kita meminjam analisis dari Karl Marx tentang pertentangan kelas, maka gerakan radikalisme merupakan gerakan yang muncul atas respon ketertindasan, marginalisasi, atau perlakuan yang tidak adil. Gerakan ini berupaya membongkar dan menghancurkan rezim penindas yang selalu menjaga dominasinya. Dengan ini, keberadaan struktur dipandang sebagai penyebab dari segala kekacauan, karena di dalam struktur selalu ada kelas yang bertentangan. Dari kasus radikalisme dapat dipandang sebagai respon ketertindasan seseorang dari kelas sosial yang dirugikan. Dalam sistem patriarki, perempuan adalah kelas yang multi tertindas. Pertama, perempuan tertindas dalam sistem patriarki. Kedua, jika perempuannya juga sebagai orang yang miskin, maka tertindas pula dalam sistem sosial kapitalisme.
Kelima, jika kita meminjam analisis dari Michael Foucault tentang relasi kuasa, segala yang nampak ini tidak lain dari relasi kekuasaan yang sarat dengan kepentingan. Bisa saja gerakan radikalisme terorisme ini sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu. Tarulah misalkan misi penjualan senjata. Dalam kondisi negara yang terkena teror, maka keamanan negara adalah nomor satu sehingga persenjataan dalam negara tersebut akan diperbaiki. Dari sini, negara yang memproduksi senjata akan mendapatkan keuntungan lewat jual beli senjata. Memang kita sering mendengar kampanye perdamaian dari negara-negara di dunia, namun di sisi lain mereka juga sibuk memproduksi senjata. Bisa saja perempuan dilibatkan dalam aksi teror karena perempuan dikenal lembut, anggun, dan penyanyang sehingga luput terperiksa atau tidak tercurigai sebagai pelaku radikalisme.
Keenam, jika kita meminjam analisis dari George Homans tentang pertukaran sosial, gerakan radikalisme merupakan gerakan yang muncul karena memiliki reward atau hadiah. Dalam teori pertukarannya, perilaku cenderung akan selalu diulangi jika perilaku sosial itu mendapatkan reward atau hadiah. Oleh karenanya, dengan memperhatikan asumsi teori ini maka gerakan terorisme yang dilakuakn secara berulang-ulang, dimungkinan karena pelakunya mendapatkan atau akan mendapatkan reward. Reward nya bisa berupa uang, keselamatan keluarga yang ditinggalkan, pujian dari kelompoknya, dan terlebih reward nya adalah surga. Mengapa perempuan? asumsi saat ini karena perempuan sangat senang dengan hadiah.
Barangkali kita harus pahami, dalam kondisi seperti ini tidak ada penyebab tunggal. Namun, ada penyebab dominan. Perlu mendeteksi sebagai upaya memproteksi lalu bisa sedikut menyusun proyeksi.
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis sebagaimana tertera. Tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Estetikapers.com
Arisnawawi, Pegiat Literasi Edi. Corner