Makassar, Estetika – Implementasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 tahun 2021 di Universitas Negeri Makassar (UNM) tak kunjung mendapat angin segar.

Padahal, penerapan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tersebut sangat krusial, utamanya dalam pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari Buletin Estetika Vol. 1 Edisi Oktober 2022, calon panitia seleksi Satgas PPKS UNM telah terbentuk. Hal ini tertera dalam Pengumuman Nomor: 0541/J4/KP.04.00/2022 tentang Hasil Pelatihan dan Seleksi Calon Anggota Panitia Seleksi Satuan Tugas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi Periode Mei.

Terdapat sepuluh orang yang tercatat sebagai calon panitia seleksi, termasuk di antaranya Wakil Rektor Bidang Akademik (WR I), Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan (WR II), Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan (WR III) dan salah seorang mahasiswa dari Fakultas Psikologi (FPsi).

Calon panitia seleksi tersebut diumumkan pada Rabu, (15/6) lalu yang artinya telah terhitung enam bulan sejak terbentuknya.

Menilik Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 pasal 25 ayat 1 tentang tata cara pembentukan dan rekrutmen keanggotaan, calon pantia seleksi harus melakukan uji publik untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari seluruh civitas academica. Namun, hingga saat ini kabar pelaksanaan uji publik tersebut tak kunjung terdengar.

Untuk memperoleh keterangan lebih lanjut, Reporter Estetika mendatangi WR III pada Rabu, (7/12) lalu.

Ketika ditanyai perihal kejelasan uji publik calon panitia seleksi Satgas PPKS, WR III, Muhammad Idhkan, mengaku tidak tahu menahu.

Ia juga mengatakan tidak pernah berinteraksi dengan Satgas PPKS meskipun merupakan salah satu anggota calon panitia seleksi.

“Sepertinya sudah dilakukan (pembentukan satgas), sehingga terbentuklah PPKS. Saya sendiri tidak pernah memiliki interaksi dengan PPKS, yang paling tahu sebenarnya WR I, karena beliau adalah ketua, saya hanya anggota,” katanya.

Calon panitia seleksi sangat berperan dalam pembentukan Satgas PPKS. Namun, apa jadinya jika calon panitia seleksi belum melaksanakan uji publik sementara ada kemungkinan bahwa satgas PPKS telah terbentuk?

Tak mendapat informasi yang jelas dari WR III, Reporter Estetika akhirnya memutuskan untuk menghubungi WR II yang juga termasuk calon panitia seleksi Satgas PPKS. Ketika ditanyai, WR II malah mengarahkan kami untuk menghubungi WR I.

Kami beberapa kali menghubungi WR I untuk mendapatkan keterangan perihal uji publik calon panitia seleksi satgas PPKS namun tak kunjung direspons. Informasi terakhir yang didapatkan dari stafnya, WR I tengah melaksanakan ibadah umroh dan belum diketahui kepastian kapan akan pulang.

Tidak adanya titik terang dari birokrasi membuat Reporter Estetika berinsiatif untuk menghubungi mahasiswa FPsi, Nur Alwiah selaku salah satu calon panitia seleksi.

Nur Alwiah mengaku telah menjadi salah satu anggota satgas setelah sebelumnya lulus menjadi calon panitia seleksi.

“Saya salah satu anggota satgas,” katanya.

Namun ketika ditanyai apakah calon panitia seleksi Satgas PPKS telah melakukan uji publik atau belum, ia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Reporter Estetika hingga berita ini diterbitkan.

Bagaimana UNM Tanpa Satgas PPKS?

Ketidakjelasan Satgas PPKS membuat keseriusan kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual patut dipertanyakan. Sebab, peran Satgas PPKS sangatlah dibutuhkan.

Baru-baru ini kasus kekerasan seksual kembali menimpa salah seorang mahasiswa UNM yang diungkap di akun @mekdiunm pada Jumat, (2/12) lalu. Xya (nama yang @mekdiunm samarkan) mengalami kekerasan seksual pada 17 November lalu.

Tidak hanya Xya, sebelumnya kasus kekerasan seksual juga menimpa Nura (nama samaran), Risa (nama samaran) dan Yama (nama samaran) yang diungkap oleh LPM Estetika pada 5 September 2021 lalu.

BACA JUGA: Kronologi Pelecehan Seksual, UNM Butuh SOP?

Selain itu, pelecehan seksual juga pernah menimpa mahasiswa dari luar Sulawesi Selatan (Sulsel) yang mengikuti Program Pertukaran Pelajar di UNM pada 9 Desember 2021 lalu.

BACA JUGA: Di Balik Pelecehan Seksual di UNM, Fasilitas Mahasiswa PMM Inbound dinilai Tak Layak Pakai

Terulangnya kembali kasus kekerasan seksual kian menambah daftar catatan panjang. Hal tersebut menandakan fungsi dan peran Satgas PPKS sangat dibutuhkan. Sebab, Satgas PPKS memiliki tupoksi untuk menangani kasus kekerasan seksual dan juga melakukan pendampingan yang menyeluruh terhadap korban.

Survei yang dilakukan oleh LPM Estetika pada 10 September hingga 18 September 2021 lalu ditemukan 61,7% atau 87 responden memilih kampus tidak aman, 22% atau 31 responden memilih kampus cukup aman, 15,6% atau 22 responden memilih kampus sangat tidak aman, dan 0,7% atau 1 responden memilih kampus aman untuk mengatasi pelecehan seksual.

Survei tersebut menandakan bahwa tahun lalu kepercayaan mahasiswa terhadap penanganan kasus kekerasan seksual tergolong rendah. Mestinya, tahun ini pihak universitas meningkatkan kepercayaan mahasiswa terhadap penanganan kekerasan seksual dengan terbentuknya Satgas PPKS yang lebih terarah, sebab telah diatur dalam Permendikbud Nomor 30 tahun 2021.

Lantas, bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual tanpa satgas PPKS?

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan (WD III) Fakultas Bahasa dan Sastra, Azis, menuturkan bahwa jika ada laporan kasus kekerasan seksual akan ditindaklanjuti oleh Komisi Disiplin (Komdis).

“Jika ada yang melapor, akan saya hubungi Ketua Program Studi (Kaprodi) dan Ketua Jurusan (Kajur) yang bersangkutan, lalu ke Komdis dan kita akan proses,” tuturnya.

Penanganan kasus kekerasan seksual hingga saat ini masih diserahkan ke Komdis karena penerapan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 masih saja abu-abu.

Menanggapi hal tersebut, WD III melemparkan tanggung jawab penerapan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 ke pihak universitas.

Ia mengaku hingga saat ini tak kunjung ada petunjuk teknis maupun rapat yang membahas hal tersebut.

“Bertanya ke universitas karena universitas yang punya kewenangan. Sejauh ini, belum diberikan petunjuk teknisnya. Saya juga belum pernah dipanggil rapat untuk membahas soal itu,” tuturnya.

Bersinggungan dengan kasus Xya yang terjadi di luar kampus, Reporter Estetika mencari tahu prosedur penanganan kasus kekerasan seksual apabila terjadi di luar lingkup kampus.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari salah seorang Satgas PPKS Universitas Indonesia (UI), Rini Asriani, menerangkan bahwa Satgas PPKS tetap bertanggung jawab untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual meski hal itu terjadi di luar kampus.

“Ketika ada laporan dari mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, dan warga kampus yang mengalami, meskipun kejadian di luar kampus, tetap menjadi ruang lingkup kerja satgas,” terangnya.

Berkaca dari jawaban Rini, fungsi Satgas PPKS sangat dibutuhkan, terutama untuk mengawal kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa penyintas namun terjadi di luar lingkungan kampus.

Hingga saat ini, Tim Estetika belum mendapatkan kejelasan perihal uji publik calon panitia seleksi yang harusnya dilakukan oleh pihak universitas. Bahkan setelah enam bulan berlalu, angin segar terbentuknya satgas PPKS tak kunjung datang. Penerapan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 di Kampus Orange nyatanya masih berwajah abu-abu.

Jadi, apakah UNM betul-betul serius menangani kasus kekerasan seksual?

Reporter: Tim Estetika