Peringatan! Tulisan di bawah ini mengandung konten eksplisit. Kronologi kekerasaan seksual pada pemberitaan ini sudah mendapatkan persetujuan dari pihak korban untuk dimuat.

Makassar, Estetika“Kalau speak up sama senior lain pasti dianggap ‘murah’ ka, karena pernah ma dikasih begitu (dilecehkan). Takutka dianggap seperti itu. Tapi toh selama ini, adami beberapa bulan tidak bisa ka tahan. Dia (pelaku) juga kulihat tidak ada sekali rasa bersalahnya sama saya,” ungkap Nura (bukan nama sebenarnya) terbata-bata kepada Tim Estetika. Kepalanya tertunduk, badannya bergetar, tangisnya pun pecah kala mengingat kembali apa yang terjadi padanya setahun yang lalu.

Nura adalah salah seorang mahasiswi tingkat tiga Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM). Pribadinya yang ceria tak lagi terlihat saat menceritakan kejadian demi kejadian pelecehan seksual yang dialaminya di salah satu sekretariat Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), tepatnya di belakang gedung DG FBS UNM.

Kala itu, Rabu, 16 September 2020, Nura bersama kawan lembaga kemahasiswaannya baru saja selesai melakukan kegiatan yang berakhir tengah malam. Waktu menunjukkan sekitar pukul 23.00 Wita, Nura bersama lima orang lainnya, termasuk pelaku memutuskan untuk bermalam di sekretariat HMPS tersebut. Bagi Nura dan mahasiswa yang aktif berkegiatan di Lembaga Kemahasiswaan (LK) lainnya, bermalam di sekretariat setelah kegiatan yang selesai hampir tengah malam adalah hal yang wajar dan sering dilakukan.

Saat semua orang terlelap, Nura merasa ada seseorang yang berbaring di sampingnya. Saat memastikan siapa orang tersebut, Nura kembali mencoba terlelap karena orang tersebut adalah Yoyo (nama yang kami samarkan), salah seorang senior yang ia kenal dan ia rasa dapat dipercaya. Namun, kepercayaan Nura sepertinya seketika harus terpatahkan, menjelang tidurnya, Nura merasakan bahwa Yoyo selalu menyentuh tangannya. Nura menghempaskan tangan Yoyo beberapa kali dan masih mencoba berpikiran positif.

Alih-alih menyadari kesalahannya, Yoyo malah mendekat dan berbisik ke Nura “mau ka cium ko”. Tak berselang beberapa detik, Yoyo langsung menindih badan Nura dan mulai menciumnya. Nura yang tersadar sontak mengulum bibirnya ke dalam agar Yoyo tidak dapat mencium bibirnya. Nura mencoba mendorong Yoyo, namun sayangnya tenaga Nura yang tak seberapa membuat usahanya sia-sia. Yoyo kembali mencium bibir Nura dan memberitahunya untuk tidak menutup mulutnya. Menghadapi situasi seperti itu, Nura yang ketakutan dan syok hanya bisa menangis, badannya terasa kaku dan tak berdaya.

Mau ka teriak, tapi mengerti ko orang tidur kaget, saking kagetnya nda kutau mi teriak dan takut. Terus sebelum ku kembali tidur, ke WC ka. Setelah ke WC, dia tanya ka ‘keluar pasti air mani-mu toh,’ kubilang ih kaya apa ka saja. Itu nah sakit sekali hati ku saat itu, pokoknya marah sekali dan menangis ka saat itu,” ungkap Nura dengan sorot mata yang seketika terlihat tajam menuju arah yang tak tentu, mukanya merah, suaranya bergetar menahan amarah yang menguasai dirinya saat itu.

Untuk memastikan kondisi mental yang dialami korban, kami mewawancarai Dosen Psikologi UNM, Novi Yanti Pratiwi. Ia membenarkan adanya respon freezing yang dialami korban saat dilecehkan.

“Betul kondisi tersebut bisa terjadi saat menghadapi situasi bahaya/stress/trauma Individu memiliki respon fight (melawan), flight (menghindar), atau freeze (membeku), jadi memang benar ketika berada pada situasi terancam seperti pelecehan ada beberapa yang menampilkan respon freeze,” terangnya.

Saat Tim Estetika menanyakan apakah ia pernah mencoba mencari keadilan atas kejadian pelecehan yang menimpanya tersebut, Nura justru tertunduk dan tangisnya pecah. Di dalam lubuk hatinya, Nura kesal dan marah melihat Yoyo yang merupakan seorang pelaku pelecehan masih berseliweran tanpa rasa bersalah, sedangkan Nura sendiri setahun ini masih sering merasa sesak dan menahan amarah dalam hatinya setiap mengingat kejadian tersebut.

Tidak kutahan, kemarin kubilang tidak usah kasih tau orang deh, tidak usah melapor ke senior-senior lain. Kasihan ka juga lihat i kalau diapa-apai. Di sisi lain, kalau speak up sama senior lain pasti dianggap ‘murah’ ka, karena pernah ma dikasih begitu (dilecehkan). Tapi toh selama ini, adami beberapa bulan tidak bisa ka tahan. Dia (pelaku) juga kulihat tidak ada sekali rasa bersalahnya sama saya,” tuturnya.

Nura adalah salah seorang dari banyaknya penyintas pelecehan seksual di lingkungan FBS UNM. Kampus yang mulanya dianggap sebagai tempat yang aman justru tak luput jadi tempat terjadinya pelecehan seksual.

Hingga saat ini pun, kasus pelecehan seksual sendiri nyatanya menjadi “rahasia umum yang –sengaja– dilupakan” oleh sebagian besar pihak di dalamnya. Tidak banyak penyintas yang berani melapor karena stigma buruk terhadap penyintas pelecehan masih sangat kuat, belum lagi jika hal ini dilakukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan lebih.

Pelecehan Seksual Marak Terjadi di FBS, Norma Kesusilaan Memudar?

Menanggapi desas-desus pelecehan seksual yang ada dan dorongan beberapa penyintas yang ingin buka suara, Tim Estetika pun mengadakan survei mengenai “Pelecehan dan Kekerasan Seksual di kampus FBS UNM”. Survei ini ditujukan kepada seluruh civitas akademik FBS UNM, baik mahasiswa, pegawai, maupun dosen yang pernah mengalami atau melihat tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh civitas akademik FBS di kampus atau luar kampus maupun pihak luar yang melakukan aksinya di kampus FBS.

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar kuisioner online mulai 18 April 2021 dan berakhir pada 14 Juni 2021 ini diisi oleh 38 responden dengan keseluruhan identitas responden merupakan mahasiswa FBS UNM. Hasil survei ini menunjukkan 89,5% responden mengaku pernah melihat pelecehan seksual di kampus, sedangkan sisanya 10,5% mengaku tidak pernah melihat hal tersebut. Selain itu, sebanyak 7,8% responden mengaku memiliki teman terdekatnya mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di kampus FBS UNM, sedangkan penyintas kekerasan dan pelecehan seksual di kampus FBS UNM mengisi langsung survei ini sebanyak 92,2%.

Terhitung dari 38 kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang berhasil Tim Estetika himpun, sebanyak 24 kasus terjadi di dalam kampus FBS UNM dengan 3 kasus terjadi di lingkungan kampus tidak terincikan, 4 kasus terjadi di sekretariat LK, dan 2 kasus terjadi di ruang dosen. Sebanyak 5 kasus terjadi di luar kampus yakni di tempat KKN dan rumah kos dan 3 kasus tidak merincikan tempat kejadian. Sebanyak 4 kasus terjadi dalam lingkup kegiatan akademik dan 7 kasus terjadi di luar lingkup akademik (non akademik), sisanya tidak jelas.

Mengenai pelaku pelecehan dan kekerasan, sebanyak 4 kasus dilakukan oleh oknum dosen, sebanyak 31 kasus dilakukan oleh mahasiswa, dan sebanyak 3 kasus tidak merincikan pelaku. Mengenai jenis pelecehan yang dialami, sebanyak 26 kasus merupakan kasus menyentuh fisik tanpa izin, 15 kasus cat calling, dan 14 kasus jokes sexist. Beberapa responden mengisikan pernah mengalami lebih dari satu kasus tertera.

Menilik data hasil survei yang Tim Estetika berhasil himpun tersebut, kasus Nura adalah satu dari sekian kasus yang tak pernah terungkap ke publik sehingga para pelaku pelecehan dan kekerasan seksual tersebut masih berpotensi melancarkan aksinya.

Salah satunya pun menimpa Risa (bukan nama sebenarnya), mahasiswi yang berpakaian tertutup ini pun tak membuatnya aman dari kasus pelecehan seksual. Saat itu, Risa bersama kawan perempuannya sedang menunggu kelas dimulai, keadaan masih cukup sepi karena mahasiswa lainnya belum berdatangan di DH 301. Lalu tiba-tiba Risa didatangi teman kelasnya mencium kepala Risa.

“Saya adalah mahasiswi yang selalu menggunakan pakaian tertutup, jikalau saja ada yang ingin berkomentar bahwa saya membuka aurat hingga memancing pelaku, sama sekali tidak benar. Saya langsung menamparnya dengan totebag saya,” ungkapnya. Semenjak kejadian itu, korban memilih untuk menjauh dari pelaku.

Tidak Hanya Mahasiswa, Oknum Dosen Juga Terlibat

Kasus lain Tim Estetika temui yang tak kalah mencengangkan justru dilakukan oleh oknum dosen. Kasus ini dilaporkan oleh mahasiswi bimbingannya yang kerap kali melakukan aksinya saat menjalani konsultasi tatap muka. Dosen bernama BAGAS (bukan nama sebenarnya), ini sering meminta mahasiswi untuk duduk di sebelahnya jika ingin membahas mengenai skripsi, kemudian ia meletakkan tangannya di paha mahasiswa.

Salah satu penyintasnya, Yama (bukan nama sebenarnya), menceritakan secara gamblang kronologi kejadian pada tahun 2020 tersebut. Ia menemui BAGAS secara personal di Kampus Pascasarjana UNM pada 28 Januari 2020 untuk meminta tanda tangan persetujuan judul proposal.

“Awalnya semua berjalan sewajarnya. Hingga tiba di mana beliau bicara sambil meletakkan tangannya di paha (dekat lutut) saya. Di situ awalnya saya cuek ya, menganggap perlakuan beliau refleks karena menganggap saya seperti anaknya sendiri. Namun saya merasa aneh saat bertemu beliau untuk kedua kalinya,” jelasnya.

Menurut pengakuan Yama, skripsinya telah selesai pada Agustus 2020, namun ia menunggu BAGAS untuk menanggapi draf hasil penelitiannya tersebut melalui konsultasi online karena pada saat itu, pandemi Covid-19 telah menimpa Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Permintaan tersebut tidak diindahkan, sehingga Yama pun kembali menemui pelaku sekitar November hingga Desember 2020 karena BAGAS menginginkan konsultasi secara tatap muka mengenai draf hasil penelitian Yama.

Sesampainya di ruangan, di sana terdapat BAGAS dan anak laki-lakinya. Pada saat itu, anak BAGAS tidak melihat aksi ayahnya, karena membelakangi penyintas dan pelaku, di sisi lain ia sibuk dengan komputernya. BAGAS kembali memegang paha Yama, bukan di sekitar lutut lagi, melainkan sudah sampai di sekitar selangkangan.

“Saya menaruh kedua tangan saya di atas paha saya dan sebisa mungkin melindungi bagian selangkangan saya dengan duduk posisi paha rapat kiri kanan. Syukurnya beliau tidak menyentuh paha saya begitu lama, karena ada mahasiswa S2 yang datang untuk konsultasi, laki-laki. Beliau menyentuh paha saya sambil berbicara sekitar 5 menit,” ungkapnya.

Usai mendapatkan persetujuan seminar skripsi, Yama pulang dan menghubungi dua teman sekelasnya. Ia menceritakan perlakuan cabul oknum dosen yang telah memiliki cucu tersebut. Hasil perbincangannya menunjukkan bahwa BAGAS tidak melakukan pelecehan seksual terhadap satu orang saja, melainkan sudah banyak memakan penyintas dan tidak terjadi dalam sekali, melainkan lebih dari sekali.

Temanku tadi bilang ‘Astaga Yama, ku kira saya ji dikasih begitu makanya diam ka, kupendam, nda speak up’. Sejak itu, kami saling bertukar informasi dan berusaha mencari bukti-bukti dari anak bimbingan beliau. Kami juga berusaha mengingatkan junior kami untuk selalu berhati-hati, karena ternyata semua teman angkatan saya yang menjadi anak bimbingannya sudah dilecehkan,” tuturnya.

Yama sempat menyampaikan hal ini kepada keluarganya, namun kesepakatan dengan keluarga memutuskan untuk tidak melaporkan BAGAS karena takut proses pengurusan wisudanya tidak berjalan lancar. Namun, Yama memutuskan untuk berani bersuara mengenai kasus ini dengan harapan pelaku dapat ditindaklanjuti agar tidak ada lagi korban ke depannya.

Hal serupa diungkapkan oleh dua penyintas lainnya, Faza dan Lula (bukan nama sebenarnya), yang juga mahasiswa bimbingan BAGAS.

“Saya mengira bahwa ke depannya, beliau tidak mengulanginya, namun di semester berikutnya, beliau mengulangi perbuatannya. Tahun 2020 sebelum KKN, beliau terus mengulangi hal seperti itu. Jika bersama orang lain, beliau tidak melakukan hal tersebut. Namun, jika sedang sendirian, beliau melakukan aksi cabulnya,” ungkap Faza.

Di samping itu, Lula mengira bahwa BAGAS melakukan hal tersebut karena refleks, namun ternyata ia mengalami pelecahan selama tiga kali proses konsultasi.

Ada biasa kursi depan mejanya, disuruh angkat ke sampingnya. Terus disuruhma duduk dekatnya. Ada kebiasaannya nda kusuka karena setiap bicara i selalu itu tangannya hinggap di pahaku,” kesalnya.

Kasus-kasus tersebut merupakan segelintir dari banyaknya kasus yang terjadi di lingkungan kampus FBS UNM. Meskipun saat kami hubungi, penyintas mengaku takut untuk membicarakan kasus-kasus yang menimpanya, 4 penyintas lainnya justru sempat melaporkan kejadian yang menimpanya tersebut ke HMPS selaku himpunan yang terdekat dengan mahasiswa.

Salah satu penyintas juga mengungkapkan bahwa tidak akan mengambil jalur damai, dan meminta agar pelaku diberi sanksi.

“Kalau damai mungkin tidak efektif. Tidak ada yang menjamin pelaku akan begitu lagi. Kalau saya diberikan saja sanksi dalam bentuk apa gitu supaya nda adami korban selanjutnya. Misal beliau sudah tidak dikasih jadi lagi dosen PA/dosen pembimbing,” ungkapnya.

Penyintas lainnya juga meminta agar pelaku dapat menyampaikan permohonan maafnya hanya lewat media dengan beberapa pertimbangan.

“Kalau saya sih, suruh saja pelaku minta maaf lewat media, masalahnya tidak pernah kutanya keluargaku persoalan ini,” jelasnya.

Penyintas kekerasan juga mengaku tidak ingin menyelesaikan masalah dengan cara mediasi.

“Tidak, kalo mereka paham prosedur seharusnya tau kalo tidak ada penyintas yang mau ketemu sama pelakunya,” tegasnya.

Tangani Kasus Pelecehan Seksual: UNM Butuh SOP?

Maraknya kejadian kekerasan dan pelecehan seksual di kampus disebabkan karena kurangnya ruang aman yang diciptakan untuk penyintas bersuara. Sering kali penyintas kebingungan untuk melapor kejadian karena tidak ada petunjuk, pedoman, dan arahan yang dipegang dalam menangani kasus tersebut, salah satunya tidak adanya SOP yang sah dan jelas dari kampus, sehingga kasus ini tidak terungkap di permukaan, padahal tidak terungkap bukan berarti tidak ada. Kampus sebagai ruang belajar mahasiswa yang seharusnya diciptakan dengan aman dan nyaman, tidak boleh menunggu kasus ini terjadi baru ingin bergerak, layaknya menunggu bola saja.

Sejalan dengan itu, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dalam siaran YouTube Kemendikbud RI pada Senin (8/3) lalu menginginkan pihak sekolah dan perguruan tinggi membentuk satuan kerja pencegahan kekerasan seksual. Perkembangan terakhir diwarta dari Tempo.co Kemendikbud akan menerbitkan peraturan menteri mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

“Draf Permendikbud ini sudah kami coba harmonisasi, dan sebentar lagi diundangkan,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Paristiyanti Nurwardani dalam acara Sosialisasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Jumat, 27 Agustus 2021.

Dengan adanya imbauan tersebut, ditambah lagi dengan maraknya kasus yang telah terjadi di berbagai universitas, salah satunya insiden “Pemerkosaan Agni”, dapat dibaca di laman https://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/, di UGM pada akhir tahun 2018 lalu, seyogianya mendorong kampus-kampus untuk perihatin dan introspeksi diri agar lebih melek terhadap masalah ini yang mungkin terjadi di sekitarnya. Belajar dari dosen hukum UI yang dengan tegas merilis buku saku pedoman penangan pelecehan kampus.

Sayangnya, tidak semua kampus berinisiatif melakukan itu, salah satunya UNM. Kami menelusuri jejak digital melalui google untuk mencari SOP yang mungkin terbit di lamannya, namun hasilnya nihil. Tidak seperti UI, melalui lamannya, sci.ui.ac.id, kita akan dengan mudah mengunduh buku panduan tersebut. Hal ini mensinyalir bahwa UNM belum memiliki SOP yang sah.

Padahal, kasus pelecehan dan kekerasan seksual di FBS UNM sendiri sudah menjadi hal serius yang perlu mendapat perhatian lebih dari para petinggi civitas akademik, baik dari pihak LK maupun dari pihak birokrasi.

Tim Estetika pun mencoba menghubungi pihak birokrasi untuk menanggapi kasus-kasus pelecehan yang terjadi di FBS UNM. Pada 16 Juni 2021, kami menghubungi Dekan FBS UNM, Prof. Syukur Saud, dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan (WR III), Prof. Sukardi Weda.

Saat diminta keterangan, baik WR III maupun Dekan FBS UNM rupanya tidak tahu-menahu mengenai isu-isu yang pernah terjadi. Masih minimnya laporan mengenai kasus kekerasan seksual di kampus memperlihatkan bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon), di mana kasus yang terlihat di permukaan tidak menjamin jumlah kasus yang sebenarnya, karena dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan atau teradvokasi kepada pihak kampus.

Ketika kami mewawancarai Dekan FBS UNM, Syukur Saud, mengenai prosedur penanganan pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di kampus, ia hanya mengarahkan untuk ke Komisi Disiplin (Komdis) fakultas. Saat kami menanyakan mengenai SOP, ia juga mengarahkan untuk bertanya di kantor Phinisi.

“Prosedurnya itu dilaporkan di Komisi Disiplin Fakultas dan SOP kekerasan seksual bisa tanya di Phinisi,” terangnya.

Tim Estetika pun mencoba untuk menghubungi pihak Komdis FBS, namun hingga tulisan ini diterbitkan, Komdis FBS tidak dapat dihubungi dengan alasan kesibukan. Kami kembali menghubungi WR III pada Jumat, 3 September 2021 untuk menanyakan ketersediaan SOP, ia memperjelas bahwa UNM memang belum memiliki SOP.

“Terkait dengan tindakan asusila diatur pada pasal 24 dan 28 dalam Peraturan Kemahasiswaan. Untuk SOP Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual, saya kira perlu untuk dibuat,” ungkapnya menandakan bahwa UNM tidak memiliki SOP.

Di sisi lain, Ketua Umum Maperwa, Muhammad Fardiansyah Irwan, mengaku sudah berkali-kali mendengar isu pelecehan tersebut, tapi ia tidak tahu secara jelas kronologi kejadian. Mahasiswa yang akrab disapa Fardi ini pernah mengadvokasi dengan melakukan tindakan persuasif ke pelaku untuk diselesaikan secara baik-baik.

“Kalau jelas skenarionya, intinya kedapatanki ini pelaku, ya jelas harus ambil langkah yang tegas, misal sanksi sosial di fakultas. Kalau kemarin itu diselesaikan secara baik-baik ya, tapi saya tidak tahu persis kejadiannya,” ungkapnya.

“Jika terbukti bersalah, pertama bisa jalur kelembagaan, kita rapat terbuka dengan para petinggi FBS dan diskusi. Pilihan kedua, langsung saja eksekusi sama orang-orang yang ada di kampus melalui konsultasi dengan senior juga,” lanjutnya.

Di samping itu, Presiden BEM FBS, Amastasha, menyadari bahwa LK kurang memperhatikan isu pelecehan seksual yang terjadi di kampus.

“Kemarin teman-teman belum bergerak dan langsungmi ada kejadian yang menyentuh fisik. Itu kesalahannya teman-teman di pengurus LK, tidak serius untuk mengadvokasi ini masalah. kalaupun korban menuntut, kami siap kawal,” jujurnya.

Masalah pelecehan seksual juga kerap kali ditutup-tutupi dengan dalih menjaga nama baik kampus. Masalah ini dianggap tabu dan sensitif untuk dibahas, padahal penting untuk menjaga hak sesama. Jika kita menilik kasus yang terang-terangan terungkap di UGM dan UI, apakah berpengaruh besar terhadap akreditasi dan citra mereka? Tentu tidak, dengan adanya sanksi dan tindakan tegas yang diberikan ke pelaku menandakan bahwa kampus dapat mempertanggungjawabkan semua masalah civitas akademiknya.

Penyelesaian yang masih menggunakan metode lama, yaitu dengan jalan kekeluargaan menunjukkan bahwa kasus ini masih awam di berbagai kalangan.

Jadi, apakah UNM membutuhkan SOP?

Reporter: Tim Estetika FBS UNM

Mengenai laporan yang kami susun ini, pihak yang merasa tidak sependapat dengan hasil laporan ini, silakan mengirimkan hak jawab di kontak kami LPM Estetika FBS UNM (+62 895-0203-1021), baik berupa saran, kritik, atau tanggapan ralat hingga tuntutan penurunan laporan.