Makassar, Estetika – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon mengalami pembekuan lembaga usai menerbitkan majalah yang berjudul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan”, Kamis (17/3).

Pembekuan tersebut tertera dalam Surat Keputusan (SK) Rektor dengan nomor 95 tahun 2022 yang menyatakan bahwa LPM Lintas IAIN Ambon dibekukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan karena sudah tidak sejalan dengan visi kampus.

Kronologi Tindak Kekerasan dan Pembekuan Terhadap LPM Lintas

Kejadian ini bermula pada Senin (14/3), LPM Lintas IAIN Ambon menerbitkan majalah edisi kedua yang bertajuk “IAIN Ambon Rawan Pelecehan”. Majalah tersebut membongkar 32 kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon dari tahun 2015 sampai tahun 2022. Terduga pelaku sebanyak 14 orang, di antaranya delapan dosen, tiga pegawai, dua mahasiswa, dan satu alumnus. Jumlah korban kekerasan seksual mencapai 32 orang yang terdiri dari 25 perempuan dan tujuh laki-laki. Majalah kemudian didistribusikan dengan massif hingga luar kampus.

Keesokan harinya, Selasa (15/3), Ketua Jurusan (Kajur) Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Yusup Laisouw, datang ke sekretariat LPM lintas di gedung kembar lantai dua. Kedatangan Kajur bertujuan untuk melakukan klarifikasi pernyataannya yang dimuat dalam salah satu berita yang berjudul “Tutup Kasus Itu …” Dalam berita disebutkan bahwa Kajur meminta Mirna (bukan nama sebenarnya) untuk menghapus serta tidak menyebar obrolan bernada mesum yang dikirim oleh pelaku pelecehan seksual berinisial IL.

BACA JUGA: NODA DOSEN DI CINCIN MAHASISWA

Kajur beranggapan bahwa pernyataan tersebut tidak sesuai fakta. Ia juga mempermasalahkan perihal wajahnya yang dimuat dalam majalah dan mengatakan bahwa konten tersebut telah melanggar kode etik.

Tak sampai di situ, Kajur mendesak pihak dari LPM Lintas, yaitu Pebrianto dan Nurdin untuk mendatangkan penanggung jawab majalah dan mengancam akan membawa keluarganya untuk mendatangi sekretariat jika ia tidak dapat menemui mereka. Namun, pada saat itu Pemimpin Redaksi (Pemred) LPM Lintas, Yolanda Agne, tidak berada di sekretariat.

“Kebetulan hari itu saya tidak berada di sekretariat, yang ada di sekretariat itu sekretaris umum kami, dengan layouter majalah,” ujarnya.

Tidak berhasil menemui penanggung jawab majalah, Kajur akhirnya meninggalkan sekretariat. Lima menit kemudian, datang empat pria tak dikenal yang mengaku sebagai keluarga dari Kajur. Keempat pria ini menuduh LPM Lintas telah menerbitkan berita bohong yang tidak sesuai fakta.

“Semua yang ada dalam majalah itu bohong,” kata salah satu pria tak dikenal.

Mereka mengambil majalah dan membuka salah satu artikel “Tutup kasus itu … ” Setelah itu, seorang pria yang memakai kaus merah maroon langsung membanting majalah ke lantai. Sontak saja salah satu pengurus LPM Lintas menegur pria tersebut.

“Itu artinya tidak menghargai katong punya karya,” ucap sekretaris LPM Lintas.

Lelaki tersebut membalas teguran itu dengan mengaitkan nama baik keluarganya.

“Ini bukan tidak menghargai, tetapi ini menyangkut nama baik keluarga,” ucapnya.

Setelah berucap demikian, pria itu berdiri dan melayangkan pukulan ke dada Nurdin, serta menendang salah satu pengurus LPM Lintas, yakni Pebrianto dengan alasan telah merekam kejadian intimidasi yang terjadi di sekretariat saat itu.

Tidak hanya memukul dan menendang, mereka juga melakukan kerusakan pada sekretariat dengan memukul kaca jendela sehingga serpihannya berserakan. Seolah belum merasa puas, mereka berusaha untuk melakukan intimidasi kembali dengan memaksa masuk untuk memukul dua pengurus LPM Lintas tersebut. Untungnya datang beberapa anggota Lintas lainnya untuk melerai.

Sehari setelah kejadian pemukulan, LPM Lintas bertemu dengan pihak lembaga dalam rapat institut. Rapat ini menghadirkan beberapa petinggi kampus, seperti Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Ketua Senat Institut, pegawai, dosen, serta humas kampus.

Rapat yang dipimpin oleh Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan (AUAK), Jamaludin Bugis ini berisi agenda pembuktikan kasus kekerasan seksual yang dimuat dalam majalah LPM Lintas.

Dalam rapat tersebut, Kepala Biro AUAK meminta Pemred LPM Lintas, Yolanda Agne untuk memperlihatkan bukti beserta nama penyintas dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di IAIN Ambon. Namun hal tersebut tidak diindahkan oleh Yolanda dengan alasan menjaga keamanan penyintas dan menjalankan kode etik jurnalistik pasal 5: tidak membocorkan identitas korban kejahatan asusila.

“Di tengah rapat mereka menuntut meminta data korban. Kami menolak memberikan data korban sesuai kode etik jurnalistik,” ungkap Yolanda.

Yolanda justru menyarankan agar pihak kampus segera mengimplementasikan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan ahli. Alih-alih menerima saran, Kepala Biro AUAK malah menolak dan mengancam akan membredel LPM Lintas saat rektor datang dengan alasan tidak dapat menyampaikan bukti beserta data penyintas dan pelaku.

“Lintas akan dibubarkan setelah rektor datang,” tegas pemimpin rapat.

Seolah tidak kehabisan tenaga untuk mendesak pihak LPM Lintas agar memberikan data penyintas dan pelaku kekerasan seksual, Kepala Satuan Pengamanan, Abdullah Marasabessy, mengunjungi sekretariat LPM Lintas untuk segera meninggalkan ruangan dan mengeluarkan barang-barang yang berada di dalam sekretariat.

“Kita diperintah oleh Kabiro supaya rekan-rekan segera tinggalkan ruangan ini, tutup pintu dan keluarkan barang-barang,” ujarnya saat mengunjungi sekretariat LPM Lintas.

Mendengar hal itu, Mantan Direktur Utama LPM Lintas, Yustri Samallo, menanyakan perihal surat penyetopan aktivitas LPM Lintas, namun Abdullah sendiri mengaku tidak mengantongi surat tersebut.

Beberapa jam setelah penyampaian untuk mengosongkan sekretariat, Pegawai Rektorat, Yusman Rumadan, datang ke sekretariat LPM Lintas dengan mengantongi Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 95 tahun 2022 tentang pembredalan LPM Lintas.

“Kami meminta surat, siangnya mereka datang kembali membawa SK pembredelan. Mulai Kamis kemarin kami dibredel oleh kampus IAIN Ambon” jelas Yolanda.

Lebih lanjut, Yolanda mengatakan saat ini anggota LPM Lintas tidak dapat melaksanakan kerja-kerja jurnalistik mereka di kampus.

“Untuk sementara kerja-kerja jurnalistik kami tidak bisa di sekitar kampus karena sudah pasti kami ditolak jika melakukan wawancara. Jadi sementara kami bekerja di luar kampus dulu,” katanya saat diwawancara via WhatsApp.

Kampus Alergi Terhadap Kritikan Mahasiswa?

Saat melakukan diskusi terbuka yang menghadirkan beberapa awak LPM Lintas IAIN Ambon, Reporter LPM Estetika mendapatkan keterangan bahwa salah satu pengurus LPM Lintas diberikan ancaman pribadi dari dosen mengenai pengurusan tugas akhir yang akan dipersulit. Yolanda menuturkan bahwa ancaman tersebut dilontarkan langsung oleh dosen sekaligus pembimbing mahasiswa yang bersangkutan di tengah rapat institut pada Rabu (16/3) lalu.

Sebenarnya, intimidasi dan pemberedelan bukanlah hal baru bagi pegiat jurnalistik seperti pers mahasiswa. Berdasarkan catatan Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), dalam kurun waktu 2014 hingga 2015 sudah tercatat tujuh kasus pembredelan yang sering dialami awak Persma di Indonesia. Bentuk pembredelan yang didapati adalah intimidasi, diskriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi dan pemutaran film, pembredelan majalah, serta pembekuan lembaga pers mahasiswa.

Dilansir dari theconversation.com, pers mahasiswa belum memiliki payung hukum yang jelas. Jika dilihat dari kacamata hukum, pers mahasiswa memang tidak termasuk dalam kategori perusahaan pers berbadan hukum seperti yang tertuang dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999. Meskipun demikian, Muadz selaku Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Makassar beranggapan bahwa Undang-Undang tersebut memiliki keterkaitan dengan pers mahasiswa mengingat tugasnya sebagai media aspirasi dengan menerapkan ketentuan jurnalistik yang benar, seperti bekerja secara independen dan bebas menuliskan apa pun sesuai kaidah jurnalistik.

Pers mahasiswa sudah seharusnya terlepas dari pengaruh dan intervensi pihak kampus. Meskipun pers mahasiswa merupakan organisasi yang berada di dalam kampus, namun pihak kampus tidak dapat mencampuri praktik jurnalistik yang dilakukan. Pihak kampus juga tidak dapat mengatur, menekan, apalagi membredel kebebasan berpendapat pers mahasiswa. Pada kenyataannya, kebebasan pers mahasiswa seringkali digerogoti oleh oknum-oknum yang yang berkuasa.

Kejadian pembredelan ini lagi-lagi menunjukkan bahwa ketika tulisan yang mengarah kepada persoalan yang dirasa merugikan, maka ada saja kritikan yang muncul dari birokrasi kampus. Hal ini seolah menegaskan kedudukan pers mahasiswa yang dituntut untuk menjadi humas kampus yang hanya berfokus pada skenario pencitraan bagi pihak yang berkepentingan. Padahal mereka yang bergerak sebagai pegiat jurnalistik adalah orang-orang paling tahu kondisi dan seluk beluk kampusnya. Oleh karena itu, sebagai pers mahasiswa sudah sewajibnya menginformasikan demi kebaikan kampus itu sendiri.

Tindak Lanjut PPMI Nasional

Praktik pembungkaman terhadap LPM Lintas IAIN Ambon menuai banyak tanggapan dari khalayak umum. Yolanda mengungkapkan bahwa terdapat kubu pro dan kubu kontra mengenai hal ini.

“Presentasi menolak (pembredelan) sebanyak 40%, sedangkan presentasi mendukung sebanyak 60%. Mereka yang mendukung pun tidak semuanya berani untuk melantangkan suara karena merasa takut,” katanya.

Di sisi lain, praktik pembungkaman terhadap LPM Lintas IAIN Ambon ini tidak luput dari perhatian Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional. Dilansir dari website resmi PPMI, pihaknya mengecam pelaku pemukulan dua awak dan pembekuan yang menimpa LPM Lintas oleh Rektorat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.

Atas peristiwa yang dialami oleh LPM Lintas Ambon, PPMI Nasional turut menyatakan sikap:

  1. Mendesak pihak rektorat untuk mencabut Keputusan Rektor IAIN Ambon dengan nomor 92 Tahun 2022 tentang pembekuan Lembaga Pers (LPM) Lintas.
  2. Mengacu pada kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers melalui peraturan Dewan pers nomor: 6/ peraturan-DP/V/2008 tentang pengesahan surat keputusan dewan pers nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang kode etik jurnalistik sebagai peraturan dewan pers, maka sikap yang diambil oleh LPM Lintas sebagai pemantau kekuasaan, dalam hal ini kampus, sudah sewajarnya dilakukan.
  3. Pers mahasiswa, sesuai nama dan idealismenya adalah lembaga yang difungsikan untuk menekan alat kekuasaan agar menjalankan tugas dan fungsinya yang ideal, di dalam kasus ini, LPM tidak bisa dipahami hanya sebagai lembaga yang menjalankan fungsi publisitas saja tapi memang menjadi satu lembaga yang mesti menjunjung tinggi idealisme. Berita seburuk apapun tentang kampus, jika itu fakta dan menjadi hak publik untuk tahu, sudah semestinya menjadi tugas LPM untuk mempublikasikan fakta-fakta tersebut.
  4. Jika terdapat pihak yang keberatan dengan isi pemberitaan, harusnya pihak tersebut menempuh mekanisme hak jawab, bukan asal main sikat dan pembekuan. LPM Lintas pun wajib melayani hak jawab tersebut.
  5. Kalau ternyata LPM Lintas dinilai melanggar kode etik sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan IAIN Ambon seharusnya melakukan pendampingan dan pembinaan terhadap LPM Lintas alias tidak langsung dibetulkan begitu saja. Selain tidak menyelesaikan masalah sikap itu justru menghentikan kreativitas dan pengembangan awak LPM Lintas.
  6. Meminta rektorat IAIN Ambon untuk menghormati dan menjamin kebebasan pers dan kebebasan akademik.
  7. Meminta pihak kampus untuk menindak menindaklanjuti kasus pemukulan dua awak LPM Lintas.
  8. Mendesak pihak rektorat untuk menindaklanjuti temuan fakta pemerintah tentang kekerasan dan pelecehan kekerasan seksual yang terjadi di IAIN Ambon. Hal ini harus dilakukan karena 2019 lalu telah terbit surat keputusan direktorat jenderal pendidikan Islam (Dirjen Pendis) kementerian agama nomor 5494 tahun 2019 tentang pedoman pencegahan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTIK). Selain itu, kementerian pendidikan dan kebudayaan riset dan teknologi Kemendikbud ristek pada tahun 2021 juga telah menerbitkan Permendikbud ristek tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
  9. Meminta civitas akademika IAIN Ambon untuk tidak mendiskriminasi seluruh awak LPM Lintas khususnya para punggawa majalah ini.

Pers mahasiswa sudah seharusnya berlaku independen dan terbebas dari belenggu cengkraman kekuasaan yang berasal dari birokrasi. Atas dasar pencemaran nama baik kampus yang dijadikan dalih oleh birokrasi kampus IAIN Ambon untuk membekukan LPM Lintas, LPM Estetika FBS UNM mengecam tindakan yang terjadi pada LPM Lintas IAIN AMBON.

Reporter: Tim Estetika
Mengenai laporan yang kami susun ini, pihak yang merasa tidak sependapat dengan hasil laporan ini, silakan mengirimkam hak jawab di surel kami
redaksi@estetikaper.com, baik berupa saran, kritik, atau tanggapan ralat hingga tuntutan penurunan laporan.