Makassar, Estetika – Praktik yang dinilai menyimpang dari etika akademik kembali mencuat di lingkungan Universitas Negeri Makassar (UNM).

Salah seorang oknum dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) UNM, diduga mewajibkan mahasiswa membeli buku dalam mata kuliah yang diampunya pada Sabtu, 22 Maret 2025.

Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah tersebut mengatakan bahwa selain diwajibkan membeli buku, mereka juga kerap kali dihubungi secara langsung oleh dosen bersangkutan untuk menyerahkan bukti pembelian.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan untuk tidak membeli buku dapat berdampak negatif terhadap nilai akademik mahasiswa

“Kami merasa tertekan, seolah-olah nilai kami dipertaruhkan hanya karena tidak membeli buku,” keluh salah seorang mahasiswa.

Keresahan Mahasiswa atas Kewajiban Pembelian Buku

Salah seorang mahasiswa PBSI, Diki (nama samaran), menuturkan kekecewaannya. Ia menilai bahwa kewajiban membeli buku bertentangan dengan prinsip pendidikan inklusif, terutama karena mahasiswa sudah membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang seharusnya mencakup akses terhadap bahan ajar.

“Kalau memang buku itu penting dan berkualitas, mahasiswa pasti akan membeli dengan sendirinya, tanpa harus dipaksa atau terus-menerus ditagih,” kata Diki.

Ia bilang kualitas buku tersebut tidak layak.

“Tahun terbitnya bahkan tertulis 2026, padahal sekarang masih 2025. Banyak halaman kosong, font tidak konsisten, dan lebih banyak contoh tanpa pembahasan materi yang relevan,” ungkapnya.

Mahasiswa lainnya juga menyampaikan bahwa buku kedua yang juga diwajibkan justru tidak memuat materi penting yang dibahas dalam perkuliahan.

“Kami diberi tugas berdasarkan materi, tapi saat mencari di buku itu, tidak ada. Akhirnya kami tetap harus cari referensi lain,” jelasnya.

Reporter Estetika telah berupaya untuk mengonfirmasi dosen bersangkutan melalui pesan serta mencoba menemui secara langsung di lingkungan kampus FBS UNM. Namun hingga berita ini diterbitkan, dosen tersebut tidak memberikan tanggapan.

Respons BEM FBS atas Laporan Mahasiswa

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FBS UNM, Ahmad Fadil, mengonfirmasi bahwa pihaknya menerima laporan dari Himpunan Mahasiswa (HIMA) PBSI pada Kamis, 13 Maret 2025.

Setelah melakukan verifikasi, ditemukan bahwa setidaknya tiga kelas yang terdampak, yaitu kelas D, E, dan F angkatan 2023 —kelas yang diampu oleh dosen bersangkutan.

Fadil menyampaikan bahwa tidak ada aturan tertulis yang mewajibkan mahasiswa membeli buku, namun terdapat indikasi bahwa dosen bersangkutan berusaha membentuk persepsi bahwa pembelian buku adalah suatu keharusan.

“Seorang dosen di FBS UNM menciptakan kesan seolah-olah pembelian buku wajib agar mahasiswa tidak kesulitan mengikuti perkuliahan,” jelasnya.

Dari hasil rapat dengar pendapat antara pihak birokrasi jurusan, Perwakilan Himpunan Mahasiswa JBSI, BEM, dan ketua tingkat yang dilakukan pada 24 Maret 2025, Fadil menyimpulkan bahwa sekitar 80 persen mahasiswa menolak untuk membeli buku.

Sekitar 120 mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang diampu oleh dosen tersebut, banyak yang mengaku kesulitan secara finansial untuk membeli buku yang harganya berkisar Rp50.000 hingga Rp60.000 per buku.

“Beberapa mahasiswa benar-benar tidak mampu membeli, apalagi mereka diminta membeli dua buku sekaligus,” tutur Fadil.

Sebagai respons atas situasi tersebut, BEM FBS telah melaporkan kasus ini ke pihak fakultas sejak Minggu, 14 Maret 2025. Namun, hingga sepuluh hari setelah laporan diajukan, belum ada tanggapan resmi dari pihak kampus.

Akibat tidak adanya respons tersebut, BEM FBS akhirnya menggelar aksi protes di depan Gedung Fakultas Bahasa dan Sastra pada Senin, 24 Maret 2025, menuntut kejelasan dan penindakan tegas terhadap praktik pemaksaan pembelian buku oleh dosen.

Lantas, bagaimana tanggapan pihak kampus?

Setelah orasi di depan fakultas, WD III FBS UNM, Syamsu Rijal, menyatakan bahwa sebelum aksi digelar, ia dan pimpinan JBSI telah sepakat menarik seluruh buku yang beredar dan mengembalikan uang hasil penjualan.

“Seperti terkait dengan penjualan buku, tadi sebelum demo di sini, saya bersama dengan pimpinan di JBSI itu sudah berbincang dan alhamdulillah kita sudah mendapatkan solusinya,” katanya.

Syamsu berharap tidak ada lagi penjualan buku langsung oleh dosen, melainkan difasilitasi lewat perpustakaan untuk diakses gratis atau dibeli di tempat resmi.

“Dosen yang memiliki buku nanti akan kita fasilitasi, mungkin akan diperbanyak dan disimpan di perpustakaan, sehingga mahasiswa bisa membaca dengan gratis tentunya,” harapnya.

Sejalan dengan hal itu, Wakil Dekan Bidang Akademik (WD I) FBS UNM, Iskandar, menegaskan bahwa kebijakan penjualan buku oleh dosen kepada mahasiswa tidak diperbolehkan, meskipun dosen tetap diperkenankan merekomendasikan buku sebagai bahan ajar.

Iskandar menyebut bahwa buku yang direkomendasikan sebaiknya disalurkan melalui penerbit atau perpustakaan, bukan dijual langsung oleh dosen kepada mahasiswa.

“Kita sudah surati semua untuk tidak melakukan itu, kita sudah surati koordinatornya,” tuturnya mengenai langkah birokrasi menindaklanjuti dosen bersangkutan.

Menindaklanjuti kasus jual beli yang terjadi, pihak kampus telah mengeluarkan surat edaran sebagai bentuk peringatan kepada seluruh dosen untuk tidak lagi menjual buku kepada mahasiswa.

Reporter: Tim Estetika

Mengenai laporan yang kami susun ini, pihak yang merasa tidak sependapat dengan hasil laporan, silakan mengirimkan hak jawab di surel haloestetika@gmail.com, baik berupa saran, kritik, atau tanggapan ralat hingga tuntutan penurunan laporan.