Semenjak menjadi bagian dari kurikulum pendidikan tinggi pada 1972, kita masih sulit menemukan manfaat Kuliah Kerja Nyata (KKN) secara signifikan. Kehadiran mahasiswa KKN diberbagai daerah kenyataannya belum mampu memecahkan problem di wilayah mereka ditempatkan.

Oleh karena KKN menekankan pada pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan partisipatif dan pembelajaran, maka pelaksanaannya pun harus secara ilmiah, tepat sasaran dan sinergis. KKN yang sejauh ini dilaksanakan Universitas Negeri Makassar (UNM) masih memiliki beberapa kekurangan, baik dari aspek kebijakan hingga pada rangkaian pelaksanaannya.

Penambahan Masa KKN

Tujuan KKN sejatinya adalah membelajarkan mahasiswa dan memberdayakan masyarakat. Hal ini sejalan dengan tiga kepentingan yang ingin diperjuangkan yakni kepentingan mahasiswa, masyarakat dan lembaga (perguruan tinggi dan pemerintah).

Umumnya, KKN senilai 3-6 SKS atau 2-3 bulan masa KKN. Dengan porsi waktu tersebut, mahasiswa KKN dituntut mampu membawa masyarakat pada kondisi yang ‘lebih baik’ dari kondisi sebelumnya.

Penulis pernah menjalani masa KKN di Sulawesi Barat dan menilai masa KKN tiga bulan tidak cukup untuk misi pemberdayaan hingga pemecahan beragam masalah. Apalagi ketika mahasiswa di tempatkan pada wilayah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar) yang tentu tantangannya jauh lebih besar.

Keterbatasan masa KKN membuat mahasiswa terburu-buru menyusun program kerja. Alhasil program kerja disusun sederhana dan cenderung berulang. Kalau bukan sejenis seminar atau menjadi tenaga pengajar dadakan, minimal membuat rambu jalan dan mengecat batas desa.

Porsi waktu tiga bulan tidak sebanding dengan beban pengabdian yang dipikul mahasiswa. Maka diperlukan penambahan masa KKN menjadi enam bulan dengan beban 20 sks. Dengan enam bulan masa KKN, mahasiswa dapat memperoleh pengalaman yang lebih melimpah serta memiliki banyak waktu dalam pengentasan masalah di wilayahnya.

Pentingnya Riset Pra Lapangan

Dalam pelaksanaan KKN dibutuhkan peran kampus lebih jauh. Kampus tidak sebatas mengirim mahasiswa ke tempat asing, lalu menunggu laporan pelaksanaan KKN masuk.

Aktivitas riset sebelum pemberangkatan dimaksudkan agar kampus memahami kondisi, potensi dan masalah wilayah sasaran sehingga tidak asal menentukan daerah sasaran.

Hasil riset oleh kampus menjadi pegangan awal mahasiswa sehingga pelaksanaan KKN lebih efektif dan efisien. Selain itu, hasil riset juga menjadi rujukan utama mahasiswa pada saat penyusunan program kerja.

Pada saat KKN, penulis tidak pernah menemukan hasil riset kampus di semua rangkaian pelaksanaan KKN di UNM. Bisa jadi kita semua merasakan hal serupa. Yang selalu kita dapati hanyalah imbauan membayar UKT sebagai syarat mengikuti KKN.

Tidak adanya aktivitas riset pra KKN menandakan dua hal. Pertama, kampus tidak lagi ilmiah, dan kedua masih lemahnya komitmen perguruan tinggi terhadap penuntasan problematika masyarakat.

Pembekalan Bertahap

Berdasarkan kurikulum UNM, pelaksanaan KKN mencakup tahap persiapan, kuliah pembekalan, observasi, penyusunan dan pelaksanaan program, hingga tahap tindak lanjut.

Di UNM tahap pembekalan dirangkaikan dengan prosesi pelepasan dan digelar hanya dengan satu hari. Pembekalan yang sejujurnya tidak layak disebut sebagai pembekalan. Durasi KKN yang terhitung berbulan-bulan, mana mungkin hanya dibekali dalam satu hari, bahkan hanya dengan hitungan jam.

Pembekalan satu hari sangat berbahaya karena mengamputasi indikator-indikator penting seperti ketersediaan informasi tentang kondisi, potensi dan permasalahan wilayah sasaran. Selama ini, pembekalan yang kita dapati berupa penyajian materi umum oleh Rektor UNM. Inilah seburuk-buruknya pembekalan.

Kampus harus berubah dari pengelolaan birokrasi seperti ini. Terlebih pembekalan tidak sekadar membekali, namun juga diharapkan merubah sikap, mental, pengetahuan, dan keterampilan sesuai kebutuhan mahasiswa selama melaksanakan KKN.

Sebenarnya, tahap pembekalan yang ideal telah dijelaskan pada Buku Panduan Pelaksanaan KKN UNM yang meliputi tahap observasi awal dilapangan oleh DPL, penyajian materi pembekalan, dan penyusunan rancangan program kerja tentatif (sementara).

Namun, UNM hanya melaksanakan poin kedua dan menanggalkan dua poin lainnya. Artinya penyelenggaraan KKN di UNM selama ini tidak tertib sebab pelaksanaannya tidak sesuai Buku Pedoman.

DPL adalah Seorang Pakar

Dalam pelaksanaan KKN, mahasiswa didampingi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Selain mengadakan observasi pendahuluan ke lokasi sasaran, DPL juga bertugas melaksanakan bimbingan secara aktif dan turut memantau keberadaan mahasiswanya.

Di UNM, DPL hanya hadir pada saat penerimaan dan pelepasan mahasiswa. Setelah itu, DPL memilih menghilang. Kurang bertanggung jawabnya DPL membuat mahasiswa harus bekerja lebih keras dan mandiri.

Ketidakseriusan kampus dalam mengawasi kinerja DPL menjadi penyebab utama banyak DPL yang mangkir. Tugas DPL sebagai pembimbing, pengarah, pengawas, penghubung, serta sebagai tauladan, hanya dongeng belaka. Penulis menyebutnya sebagai ‘penyakit akademik’. Tidak hanya lalai, DPL-DPL UNM nampaknya tidak berkompeten dalam mengawal aktivitas pengabdian.

Sebagai jalan keluar, DPL dapat digantikan oleh seorang pakar. Pakar yang dimaksud tentu punya kemampuan bermasyarakat yang baik pula.

Kehadiran pakar nampaknya akan jauh lebih baik, sebab memiliki kualifikasi keilmuan pada bidang tertentu. Mahasiswa KKN membutuhkan DPL dengan kualifikasi kapakaran dan komunikasi sosial yang memadai, bukan DPL Petualangan.

KKN Berkelanjutan

Agar KKN tidak sekadar ‘menggugurkan kewajiban’ maka dibutuhkan desain berkesinambungan. Penerapan KKN yang Berkelanjutan dapat menjadi solusi. KKN Berkelanjutan memandang setiap tahap KKN sebagai upaya ‘penuntasan’ problem, bukan seremonial apalagi sebagai media politik praktis.

KKN berkelanjutan mencakup dua hal pokok yakni evaluasi dan tindak lanjut. Pada tahap evaluasi, mahasiswa KKN tidak hanya melaporkan aktivitasnya selama pengabdian, namun juga mampu menguraikan potensi dan masalah apa saja yang perlu ditindaklanjuti.

Bagi daerah yang masih membutuhkan partisipasi mahasiswa, maka pihak kampus dapat mengirim kembali mahasiswa yang berbeda. Merekalah yang melanjutkan kinerja yang telah dibangun sebelumnya. Pola ini terus bersinambungan hingga problem di wilayah tersebut betul-betul tuntas, bukan diklaim tuntas.

Guna memastikan KKN Berkelanjutan terlaksana dengan maksimal, perlu dilakukan monitoring dengan membentuk ‘kader KKN’ di wilayah sasaran pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Merekalah yang akan menjalankan program kerja pasca penarikan mahasiswa.

Dengan mereformasi kebijakan KKN UNM, kita berharap aktivitas KKN dapat memberikan manfaat lebih kepada masyarakat dan almamater. Sudah saatnya mereformasi KKN UNM dengan memenuhi dua prinsip utama dalam pelaksanaannya yakni KKN yang berkesinambungan dan partisipatif.

Tahun ini sebanyak 2 ribu lebih mahasiswa UNM disebar ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, semoga pengabdiannya bernilai ibadah dan berkesan.

Selamat Ber-KKN Besti.

Penulis: Akbar, Mahasiswa FIS-H UNM.