MENYULAM SEPI

Aku mendidihkan tradisi dan budaya di atas api namamu yang perkasa
Yang tak takut dengan deru cinta dan benci
Namamu bergelora pada ayat-ayat lontara’ yang mereka gaungkan,
Namamu, seakan sebuah mantra, yang menyihir jiwa mereka yang tak mengerti
Aku juga tak mengerti, seperti apa dirimu, kadang kau teguh seperti bambu yang mengenang daunnya
Kadang kau seperti badai yang menerjang buta seisi bola mata We Tanriabeng

“Pergilah menerawang tirai bambu, barangkali kau menemukan mata keduaku!”
Lagongkona membudakkan lautan dan pesisir, menemukan rahim bambumu
Menemukan yang kedua darinya, kau hanya ingin pelayaran ini tidak merasa sepi
Meramu seribu armada tak jua kau goyahkan pandanganmu

Biarkan kau berdiam ketika menatap We Cudai menelan perahumu
Ternyata, samudera tidak ada apa-apanya bagimu
Di pagi itu, kamu seperti tak hendak berhenti menangis
Di selah pegunungan itu, kamu seolah We Tenriabeng yang teguh menyulam sepi sepanjang hari.
Di terik itu, aku seolah petualang yang kehilangan masa depan dan masa lalu

Wahai La mampu ara Elo, berlabuhlah pada mereka yang kau cintai
Laut adat yang mengalir dalam mulutmu, tenggelamkan mereka yang kau benci
Wahai Ale Luwu, selamatkanlah rohku dari menyinggahi Ale Maje
Semayamkanlah sukmaku dalam genggamanmu.

Nur Indahsari Radin atau akrab disapa Indahsari asal Bumi Massenrenpulu. Mahasiswa semester enam Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Makassar yang menggemari bacaan-bacaan sastra serius dan waktu luang yang diisi dengan berkesenian.