Makassar, Estetika – Himpunan Mahasiswa Program Studi (Himaprodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Dewan Mahasiswa (Dema) Jurusan Bahasa Indonesia (JBSI) Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) melaksanakan Diskusi Linguistik (Diksi) Daring via Zoom, Minggu (28/6).
Kegiatan yang mengangkat materi “Rimba Linguistik yang Belum Terjamah” ini menghadirkan Dosen Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau, Afdhal Kusumanegara, sebagai pemantik.
Pemantik Diksi Daring, Afdhal Kusumanegara, menjelaskan linguistik musik merupakan kajian linguistik yang mengkaji tentang hubungan bahasa dengan musik.
“Ini berasumsi bahwa bermain musik atau menciptakan lagu pasti menggunakan bahasa. Lirik lagu sendiri memiliki diksi. Di Indonesia ada Slank, Dewa, dan lainnya, itukan diksi lagunya rata-rata bukan kata umum. Jadi, lagunya diperkirakan akan bertahan lama karena sesuai dengan perkembangan kondisi psikologis, sosial, dan pilihan katanya yang tepat,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa di Indonesia, penelitian dalam kajian linguistik masih kurang sebab kurikulum tidak mendukung.
“Kita bisa lihat betapa luasnya kajian linguistik itu dan lebih luasnya yang bisa kita masuki untuk pelajari dan teliti. Jadi tidak terjebak hanya dalam wacana atau prakmatik. Hanya saja yang menjadi catatan di sini adalah khususnya pndidikan bahasa, kurikulum kita belum memasukkan konten linguistik ini. Artinya konsep yang masih diasumsi hanya diarahkan pada pengajaran saja. Padahal kalau kita perluas kajian linguistik ini sebenarnya mendukung studi kita,” ungkapnya.
Dalam pembahasannya, ia juga menekankan bahwa pendidikan tidak terbatas hanya pada pengajaran, namun bisa juga berkembang dalam mempelajari linguistik.
“Kajian linguistik ini masih sangat seksi untuk diteliti. Mungkin karena beranggapam apa bedanya prodi pendidikan bahasa dengan prodi linguistik misalnya. Pendidikan itu bukan hanya memanusiakan manusia saja. Tapi bisa dikembangkan seperti kontribusi. Sedangkan prodi linguistik murni bisa lebih perdalam lagi penelitian atau kajian. Jangan membatasi pendidikan itu sendiri,” terangnya.
Reporter: A. Padauleng