Mimpi buruk menghampiri hidup Nur Indah Suryaningsih yang sudah susah. Ia makin tertatih menghadapi kenyataan hidup. Suaminya, sang tulang punggung keluarga divonis satu tahun delapan bulan penjara.
Tahun 2016 silam, Indah, seorang kader Keluarga Berencana (KB), harus menerima kenyataan bahwa suaminya menabrak dan harus mendekam di balik jeruji besi.
Upah seorang kader tak cukup untuk menghidupi kedua anaknya, maka perempuan itu harus membanting tulang demi memastikan keluarga kecilnya tidak mati kelaparan.
“Segala macam pekerjaan yang penting halal. Menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) kalau pagi, sore ngojek, terus kebetulan saya memang kader aktif,” ujarnya sembari mengenang masa sulit.
Hebatnya, meski bercerita mengenai kisah yang mengguncang perasaan, tak pernah sedetikpun senyum manis perempuan ini luntur.
Sosok Nur Indah Suryaningsih, pejuang RUU PPRT, kala ditemui di kediamannya, Sabtu (13/5). Foto: Yusyfiyah Adinda Saputri/Estetikapers.
Selain aktif menjadi kader, PRT, dan ojek, Indah juga merupakan seorang aktivis yang tergabung dalam Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP).
Pasca dua tahun menjadi PRT, perempuan asal Masamba tersebut mengubah dirinya menjadi PRT luar biasa yang tidak hanya memikirkan nasibnya, tetapi juga kawan seprofesinya.
Kala itu Indah bertemu dengan Umy Jusmiati Lestari yang memperkenalkannya dengan Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT). Hanya sepekan setelah perkenalan, ia resmi bergabung dengan SPRT yang masih di bawah naungan YPMP.
Indah kemudian berhasil mengumpulkan 40 PRT yang tinggal di sekitar rumahnya dan terhitung sejak 2021, SPRT Makassar berhasil berdiri sendiri dan terus bertahan hingga saat ini.
“Dulunya kami di bawah naungan YPMP. Akhirnya dengan persetujuan dari sejumlah pengurus, kami berdiri sendiri dari 2021. Alhamdulillah kami masih bertahan,” tuturnya.
Berangkat dari sinilah, wanita kelahiran 1980 tersebut turut memperjuangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Sebuah regulasi yang diharapkan bisa memeluk para PRT dari kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja.
Syukurnya, perjuangannya bersama para aktivis lain mulai membuahkan hasil kala diubahnya status RUU PPRT menjadi RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Melalui RUU ini, tak banyak yang mereka minta sebenarnya, hanya hak-hak yang hingga hari ini masih terus terjajah.
“PRT ini butuh perjuangan. Teman-teman sadar bahwasanya kita perlu perlindungan, misalnya masuk kerja kan harus pakai kontak kerja,” tegasnya.
Ada ratusan bahkan ribuan kisah yang pernah Indah dengar mengenai besarnya beban pekerjaan yang harus dilakukan oleh PRT.
Lantaran tak memiliki kontrak kerja dan hanya berlandaskan asas kekeluargaan, PRT tidak bisa menolak permintaan majikan.
Kejadian yang paling banyak didengar oleh ibu dua anak tersebut ialah kesepakatan awal PRT dan majikan hanya mencuci dan menyetrika. Sayangnya, begitu mulai bekerja, mereka juga akan dibebani dengan bersih-bersih rumah.
Tidak hanya itu, ketika majikan harus lembur di kantornya, tak jarang mereka meminta PRT untuk ikut berlembur dengan dalih bantu menjaga rumah dan anak. Urung, PRT tidak mendapatkan gaji tambahan untuk waktu kerja mereka yang dilebihkan.
“Banyak kejadian double job begitu. Kadang sudah diminta jaga anak, ternyata disuruh masak juga. Bahkan ada yang lembur tapi upahnya tidak dikasih,” ujarnya.
Dalam pandangan Indah dan kawan-kawannya, para majikan yang berlaku seperti itu masih berpikir bahwa PRT bukan pekerja atau buruh sehingga bisa diperlakukan seenaknya.
Tak sedikit perjuangan yang telah dilakukan oleh para pejuang PPRT, mereka bahkan kerap mogok makan dan rutin melaksanakan aksi kecil-kecilan di depan kantor DPRD Makassar demi menjumpai para pemangku kepentingan.
“Pernah mogok makan dan setiap pekan kami rutin adakan Hari Rabuan untuk mengetuk hati para dewan di atas,” katanya.
Dalam beberapa kesempatan, Indah dengan senang hati akan meminta tolong kepada orang-orang yang kiranya mempekerjakan orang lain di rumahnya untuk memperlakukan mereka sebagaimana mestinya.
Ketika diundang menjadi pembicara di salah satu acara partai buruh pun, wanita berusia 43 tahun ini tetap menyelipkan pesan pengingat kepada para audiensnya.
Di akhir wawancara, setelah menceritakan berbagai kisah yang membuat kami tertegun, Indah akhirnya membeberkan pesan yang sering disampaikannya.
“Tabe, tolong, kalau ada orang di rumah ta bekerja jangan panggil babu, asisten, pembantu. Itu pekerja. Seperti buruh-buruh yang lain, mereka punya hak dan dipanggil untuk bekerja,” pesannya.
Reporter: Yusyfiyah Adinda Saputri