Makassar, Estetika“Bahkan sebelum mulai bermimpi, sudah hilang impiannya“.

Dengan samar-samar, Aika (16) berusaha mengingat kembali pengalaman ketika ia dan keluarganya pertama kali ke Indonesia tahun 2013 melalui perjalanan laut dan ditemukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut.

“Terjebak di laut, ada TNI yang menemukan kami. (Kami) dibawa ke sebuah tempat. Kemudian dari situ, (kami dibawa) ke Bali, ke rumah detensi. Dari Bali, baru ke sini (Makassar),” tuturnya dalam bahasa Indonesia fasih.

Sore itu, Aika menjamu saya dengan sebotol minuman kemasan. Ia baru saja menyelesaikan tugas sekolah yang semakin bertambah sejak ia aktif bersekolah pekan lalu, tepatnya Senin (28/8).

Saya bertemu dengan Aika di sebuah wisma, tempat ia tinggal bersama keluarganya sejak mereka pindah dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Bali ke Makassar tahun 2014 lalu.

Sedari kecil, Aika sudah dapat mengakses pendidikan formal jenjang Sekolah Dasar (SD) sejak dia berpindah ke Makassar. Setelah lulus dari bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Aika harus menunggu sekitar empat bulan untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Akhir (SMA), menunggu adanya sekolah negeri yang bisa menerimanya sebagai peserta didik dengan status pengungsi anak luar negeri.

Kondisi yang sama juga turut dirasakan oleh Asad (17) dan Jia (20). Kedua anak berkebangsaan Somalia ini terlambat memasuki SMA karena mencari sekolah negeri yang mau menerima mereka. Mereka baru masuk SMA tahun lalu.

“Di awal kelas 10, agak susah. Di semester satu, saya tidak langsung masuk, jadi ketinggalan (pelajarannya),“ ujar Asad.

Asad dan Jia adalah kakak beradik yang mulai mendapatkan akses pendidikan saat masih di Semarang tahun 2020. Jia menjelaskan ia dan keluarganya beberapa kali pindah tempat tinggal hingga akhirnya tiba di Makassar.

“Awal pertama masuk di Indonesia itu di Medan. Abis itu, pindah lagi ke Jakarta. Dari Jakarta, pindah ke Semarang. Baru sekarang di Makassar,“ kisah Jia siang itu.

Pemenuhan Hak Atas Pendidikan

Dalam upaya mengatasi isu pengungsi di Indonesia, pemerintah mengikuti pedoman yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang Pengelolaan Pengungsi dari Luar Negeri. Perpres ini menetapkan bahwa koordinasi dan tanggung jawab dalam penanganan pengungsi diberikan kepada badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) dan Badan Migrasi Internasional (IOM).

Di samping itu, Indonesia telah mengambil tindakan dengan menandatangani dan meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989, yang biasa disebut UNCRC. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya melaksanakan perlindungan terhadap anak-anak pengungsi dan memiliki kewajiban untuk memastikan pemenuhan hak-hak anak yang diuraikan dalam pasal-pasal UNCRC, di antaranya adalah pemenuhan hak atas pendidikan (BACA JUGA: https://www.brin.go.id/press- release/95481/kewajiban-indonesia-dalam-penanganan-pendidikan-pengungsi-anak- dari-luar-negeri )

Sejak 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mengawasi pemenuhan hak pendidikan anak-anak pengungsi luar negeri. Pemenuhan hak atas pendidikan bagi pengungsi anak juga diatur dalam Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terkait Pendidikan bagi Pengungsi Anak nomor 75253/A.A.4/HK/2019 tentang Pendidikan Anak Pengungsi di Indonesia.

Surat edaran tersebut mengatur beberapa hal. Beberapa di antaranya adalah syarat pengungsi anak dapat mengakses pendidikan formal, yakni memiliki kartu pengungsi yang dikeluarkan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Kedua, mendapatkan surat jaminan dan komitmen dukungan biaya pendidikan dari lembaga yang mensponsori keberadaan pengungsi. Terakhir, memiliki surat rekomendasi dari lembaga yang mensponsori bagi anak pengungsi yang akan bersekolah. (BACA JUGA: https://lpmpdki.kemdikbud.go.id/pendidikan-bagi-anak-pengungsi-di-indonesia/ )

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mulai 2019 hingga 2022 menunjukkan terdapat sembilan provinsi yang menjadi transit sementara bagi para pengungsi luar negeri, salah satunya adalah Makassar.

Untuk mengetahui alur penerimaan pengungsi anak di pendidikan formal, khususnya di Makassar yang menjadi tempat transit bagi pengungsi, saya menyambangi ruangan P. Johartini, Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Kesiswaan salah satu SMA di Makassar yang menerima pengungsi anak luar negeri.

Dengan antusias, guru lulusan magister Matematika Universitas Negeri Makassar (UNM) itu menjelaskan awalnya ada lima pengungsi anak yang bersekolah dan sekarang sisa empat karena satu anak sudah tidak melanjutkan pendidikannya sejak akhir tahun lalu. Pihak sekolah mulai menerima pengungsi anak untuk bersekolah itu sejak tahun ajaran 2018/2019.

“Kami terima sesuai dia (pengungsi anak) dengan aturan yang digariskan dari atas, memang ada rambu-rambunya. Setahu kami, anak pengungsi ini memang tidak masuk dalam daftar Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Kemungkinan mereka mungkin tidak dapat ijazah, tetapi tetap mendapat surat keterangan,” jelas perempuan berdarah Pare-Pare tersebut.

Hal serupa juga didapatkan oleh Rahmatia, Mantan Wakasek Kurikulum salah satu SMP yang menerima pengungsi anak. Dua tahun terakhir, sebelum melepas jabatan selaku Wakasek Kesiswaan, ia sempat mengurusi administrasi penerimaan pengungsi anak.

Selain itu, ia juga menuturkan sempat menerima pelatihan dari IOM yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada anak-anak pengungsi. Hal ini penting karena banyak tantangan, seperti kesulitan dalam komunikasi, bahasa, dan perbedaan budaya yang perlu diatasi.

“Itu ada pelatihanTeaching of Teacher, bagian migrasinya itu (yang) melaksanakan. Alhamdulillah saya ikuti itu, dua tahun. Terakhir saya ikut itu di LPMP, (mereka) dikasih pelatihan, pemahaman bemana (bagaimana) mengajar anak pengungsi. Itu dikhawatirkan jangan sampai ada bullying tentang anak,” tutur guru Bahasa Inggris tersebut.

Merujuk data UNHCR per November 2022, dari total 12,616 jumlah pengungsi dan pencari suaka yang ada di Indonesia, sebanyak 27 persen atau 3,406,32 adalah anak-anak. Sebanyak 818 pengungsi anak diterima di sekolah negeri yang terakreditasi.

Harapan dan Realitas

Siaran Pers Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 25 Oktober 2021 menyebutkan hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa perlunya ada peningkatan dalam pelibatan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai lembaga kepanjangan tangan Kemendikbud Ristek di daerah.

Pada siaran tersebut, BRIN menyebutkan bahwa meskipun sebagian besar anak pengungsi dari luar negeri yang berusia SD dan SMP telah memperoleh hak atas pendidikan dengan mengakses SD negeri maupun swasta, tetapi akses ke jenjang SMA atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih sangat terbatas, bahkan hanya tersedia di sekolah swasta.

Itulah yang turut dialami oleh Aika, Asad, dan Jia saat mereka ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.

Aika bercita-cita ingin menjadi farmakolog. Namun, karena keterbatasan akan statusnya, impian itu terpaksa ia relakan. Katanya, setelah lulus SMP, ia didampingi oleh penanggung jawab dari IOM untuk mendaftarkan diri pada salah satu sekolah kejuruan farmasi yang ada di Makassar. Saat itu, ia mencoba peruntungan diri dengan surat tanda lulus dan daftar nilai sekolah.

Air muka Aika berubah saat saya menanyakan alasan ia tidak melanjutkan keinginannya untuk bersekolah di SMK Farmasi. Ia menuturkan bahwa sekalipun pihak sekolah senang akan nilai dan prestasinya, tapi keterbatasan ekonomi membuat Aika mengubur mimpinya itu.

“Waktu diberikan syarat pendaftaran, penanggung jawab bilang tidak bisa memenuhi karena untuk satu murid pengungsi per tahun itu hanya bisa mengeluarkan Rp1.500.000, tapi sekolahnya minta untuk pendaftarannya saja Rp3.500.000, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP)-nya Rp400.000, per bulan,” ujar Aika.

“Walaupun sekolah suka nilai dan prestasi saya, tapi faktor lainnya keuangan,“ lanjutnya dengan tutur yang pelan.

Aika memahami hal itu. Ia mengatakan bahwa penanggung jawab hanya bisa membantu untuk mendaftar di sekolah. Selebihnya, itu sudah tanggungan ia yang memutuskan untuk bersekolah.

Keterbatasan Aika memenuhi persyaratan tidak lain karena kesulitan ekonomi. Ia berkata bahwa uang yang diberikan oleh IOM tiap anak itu Rp500.000, per bulannya. Itu belum bisa memenuhi kebutuhannya, apalagi kebutuhan sekolahnya.

Hal ini bukan pertama kali ia rasakan. Sejak kelas empat SD, ia sudah harus merogoh kocek sebesar Rp50.000, hingga Rp60.000, untuk biaya transportasi ke pura yang berjarak 16 km dari kediamannya. Alasan ia menempuh jarak itu tiap minggu tidak lain karena tuntutan untuk melengkapi nilai mata pelajaran Agama.

Kalo tidak dapat nilai Agama, saya tidak bisa dapat rapor,” kisahnya.

Ia harus memesan ojek online yang memakan biaya lebih dari seratus ribu rupiah dalam satu hari.

Tak berhenti di situ, Aika kembali mencoba peruntungannya dengan mendaftar di salah satu SMA yang dekat dengan kediamannya. Ia berhasil diterima di sekolah negeri setelah bolak-balik bersama penanggung jawab IOM untuk mengurus serangkaian administratif dengan sekolah bersangkutan, yang awalnya menyatakan tidak ada kuota lagi untuk menerima siswa tambahan.

“Awalnya (SMA) itu tidak mau terima soalnya kuota sudah penuh. (Kami) menunggu untuk mendapatkan surat rekomendasi dari dinas provinsi untuk masuk sekolah negeri. Setelah melihat surat rekomendasi, sekolah pun akhirnya mau menerima,” jelasnya.

Ia menuturkan bahwa, belakangan ini, ia mengetahui bahwa aturan untuk masuk sekolah negeri di mana pengungsi hanya boleh didaftarkan setelah penerimaan peserta didik WNI sudah selesai.

Penuturan Aika mengenai kebijakan ini jelas diatur dalam surat edaran bagi pengungsi anak yang ingin mengakses pendidikan, yaitu satuan pendidikan di daerah wajib mendahulukan anak usia sekolah warga negara lndonesia. Karena itu, ia perlu menanti sekitar empat bulan sebelum diterima oleh sekolah yang dituju.

Asad dan Jia pun turut merasakan hal yang sama. Mereka harus menunggu lebih dari sebulan untuk dapat masuk ke sekolah negeri. Hal ini dikarenakan ia dan adiknya mencari sekolah yang siap menerima dan yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka.

“Awalnya, dikasih pilihan sama IOM. Awalnya, mau SMA, ada beberapa, tapi agak jauh, jadi mereka (IOM) saranin untuk masuk di situ (yang dekat),“ tutur Asad saat ditemui di perpustakaan siang itu.

Terkait dengan sejumlah masalah yang diceritakan para pengungsi, saya mencoba untuk menanyakan keberadaan solusi yang sejauh ini ada. Saya menghubungi pihak IOM selaku penanggung jawab dengan tujuan menanyakan tindak lanjut akan permasalahan yang dihadapi oleh pengungsi anak.

Namun, email yang saya kirim ke surat elektronik (surel) salah satu staf IOM di kantor pusat tak membuahkan hasil hingga liputan ini terbit. Ia hanya meminta saya untuk sabar menunggu balasan karena email sudah ia teruskan ke pihak manajemen.

“Saat ini, sudah dikirimkan pertanyaannya ke pihak terkait, atau pihak manajemen, jadi nanti kita tunggu dalam beberapa hari ini. Saya kurang bisa memastikan beberapa harinya gitu yah,” tutur Josephine Imelda melalui pesan suara Whatsapp pagi itu, Senin (4/9).

Mental Pengungsi Anak

“Orang luar sih berpikir, mereka (pengungsi) dapat rumah gratis, tunjangan gratis. Waktu hari pertama masuk sekolah, teman-teman saya itu bilang enaknya kamu gratis semua, rumah gratis, uang gratis, seragam gratis, dapat masuk sekolah juga gratis. Saat itu, saya merasa malu sebagai pengungsi,“ tutur Aika dengan pelan.

Aika kadang mendapat pertanyaan maupun pernyataan itu dari orang awam. Ia menanggapi dengan itu dengan menjelaskan kondisi mereka yang tidak bisa memperoleh penghasilan dikarenakan pengungsi tidak boleh bekerja di Indonesia.

Hal ini juga dirasakan oleh Jia. Ia berpendapat bahwa urusan kehidupan, kita sesama manusia juga turut berjuang. Ia sebagai pengungsi merasakan tidak mudah dengan waktu bertahun-tahun hidup sebagai pengungsi.

“Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, itu lama. Harus melewati banyak proses yang sangat panjang. Orang-orang pikir kita enak banget gitu, (padahal) harus melewati banyak proses yang menurut saya susah gitu. Apalagi yang masih kecil, apalagi waktu itu, saya masih 11 tahun, belum tau apa-apa di lingkungan yang sangat baru,” jelasnya.

Menurut WHO, pengungsi bisa mengalami berbagai tekanan yang memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan mereka sebelum, selama, dan setelah perjalanan migrasi, serta saat mereka menetap dan berintegrasi. Hal itu pun bisa saja berdampak pada anak-anak.

Ada banyak faktor yang bisa memengaruhi dan berdampak negatif bagi kesehatan mental pengungsi anak, di antaranya adalah kurangnya dukungan sosial dan ekonomi, diskriminasi, rasisme, kerapuhan dalam struktur keluarga, serta seringnya berpindah sekolah. Kemudian anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka yang sedang bermigrasi memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, pikiran untuk bunuh diri, gangguan perilaku, dan masalah dengan penggunaan narkotika.

Upaya dan Harapan

KPAI telah melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pemenuhan hak atas pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri. Berdasarkan pengawasan tersebut, KPAI memiliki sejumlah rekomendasi, salah satu adalah perlunya pemerintah menerbitkan ijazah khusus bagi siswa pengungsi yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu.

Hal tersebut disampaikan oleh Anggota KPAI, Retno Listyanti, dalam Rapat Koordinasi Khusus Tentang Peningkatan Akses Pendidikan, Produktifitas dan Perlindungan Pengungsi dari Luar Negeri pada 1 Juli 2022. Acara tersebut diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI dan IOM UN Migration Indonesia. (BACA JUGA: https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-tingkatkan-pengawasan-pemenuhan-hak-atas-p endidikan-anak-anak-pengungsi-luar-negeri )

Retno menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai hasil pengawasan KPAI terhadap kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pemenuhan hak atas pendidikan bagi pengungsi anak luar negeri. Salah satunya adalah menerbitkan ijazah khusus bagi siswa pengungsi yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu.

Johartini juga mendukung dan mengharapkan pengungsi anak memperoleh kesempatan itu. Ia berharap pengungsi anak diberikan semacam bukti kelulusan, dan bukan hanya sekedar surat keterangan.

“Mudah-mudahan pemerintah, ke depannya, (memberikan akses) supaya anak-anak pengungsi ini bisa dapat ijazah, bukan cuma sekadar surat keterangan,“ harapnya.

*Aika, Asad, dan Jia adalah nama samaran

Penulis: A. Nur Ismi

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.