Makassar, Estetika – Aliansi Perempuan Indonesia (API) menyelenggarakan konferensi pers bertema “Perkosaan Mei 98 Bukan Rumor” secara daring melalui Zoom, Sabtu (14/6/2025).
Konferensi yang menghadirkan narasumber dari berbagai organisasi—Diyah Wara Restiyati (Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia), Nur Suci Amalia (Perempuan Mahardhika), Sari Wijaya (Perwakilan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)), Tuba Falopi (Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia), dan Siti Ummul Khoir (Koalisi Perempuan Indonesia), serta dimoderatori oleh Salsabila (Konde.co).
Kegiatan ini digelar sebagai respons atas pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, pada sebuah talkshow yang menyebut pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 hanyalah “rumor” dan mempertanyakan bukti sejarah tersebut.
Menanggapi pernyataan tersebut, Tuba Falopi dari Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM Indonesia), menilai bahwa hal itu merupakan bentuk pengingkaran atas pengalaman perempuan sekaligus mencerminkan abainya negara dalam menangani dan memulihkan korban pelanggaran HAM berat.
Dia menekankan bahwa kekerasan seksual pada 1998 bukan sekadar catatan sejarah, melainkan tonggak kejahatan seksual besar yang dampaknya masih dirasakan hingga hari ini.
“Kekerasan seksual pada 1998 bukan sekadar catatan sejarah, melainkan tonggak kejahatan seksual besar yang dampaknya masih dirasakan hingga kini,” katanya.
Tuba juga merujuk pada buku The Curtain Opens: Revealing 1965 dan 1998 Sexual Violence in Indonesia karya Bursabandi dan Saskia Wieringa, yang menyebutkan bahwa negara gagal melindungi warganya, bahkan terdapat indikasi kuat bahwa aparat membiarkan atau menutup mata terhadap pemerkosaan massal tersebut.
“Ini bukan peristiwa acak atau spontan, melainkan bagian dari pola kekerasan terhadap perempuan yang telah berlangsung sejak 1965. Tubuh perempuan dijadikan medan politik untuk mengukuhkan kekuasaan,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Siti Ummul Khoir, menuturkan bahwa pernyataan Fadli Zon bukan sekadar kekeliruan naratif, melainkan bentuk pengingkaran atas sejarah penderitaan perempuan.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa membiarkan pernyataan menyesatkan tanpa kritik, sama halnya dengan membiarkan sejarah berulang.
“Penulisan ulang sejarah bukan tindakan netralisasi, melainkan upaya menciptakan versi kebenaran yang menguntungkan penguasa,” katanya.
Sementara itu, perwakilan dari YAPPIKA dan FPPI, Sari Wijaya, menilai bahwa penghapusan fakta pemerkosaan dalam Tragedi Mei 1998 merupakan tindakan yang sangat berbahaya.
Sari juga mengingatkan bahwa laporan resmi seperti Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas Perempuan telah mencatat kekerasan seksual tersebut sejak era Presiden B. J. Habibie.
“Kalau peristiwa pemerkosaan disebut rumor, negara justru seharusnya hadir untuk membuktikan dan menyelesaikan, bukan menyangkal,” sebutnya.
Dia menambahkan bahwa sikap negara yang abai sebagai bentuk ketidakadilan baru yang menghambat proses hukum dan rekonsiliasi sejarah.
“Pernyataan itu justru seperti mengabaikan tentang pentingnya mengungkapkan ketidakadilan peristiwa di masa lalu dan itu bertentangan dengan prinsip sejarah,” tambahnya.
Dalam konferensi ini, API turut menyampaikan tiga tuntutan utama: menolak segala bentuk penulisan ulang sejarah yang menyamarkan kekerasan seksual dalam Reformasi 1998, mendesak Menteri Kebudayaan Fadli Zon mencabut pernyataannya, serta menuntut Presiden Prabowo bertindak untuk menyelesaikan kasus ini, memulihkan luka sejarah, dan merehabilitasi korban.
Reporter: Rizqa Febrialbar & Vanie Wirasti