Makassar, Estetika – “Kami bahkan takut untuk mengingat,” pernyataan itu disampaikan oleh Perwakilan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia Diyah Wara Restiyati dalam konferensi pers daring “Perkosaan Mei 98 Bukan Rumor”, Sabtu (14/6).

Bagi Diyah, pernyataan yang menyangkal kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 bukan sekadar kekeliruan naratif, melainkan bentuk pengabaian yang terus menempatkan perempuan Tionghoa dalam bayang-bayang ketakutan.

“Narasi negara tidak pernah berpihak pada korban. Perempuan Tionghoa hidup dalam ketakutan yang tidak pernah selesai,” ujarnya.

BACA JUGA: ALIANSI PEREMPUAN INDONESIA TEGASKAN PERKOSAAN MEI 98 BUKAN RUMOR, TAPI FAKTA SEJARAH

Dia juga mengkritik sikap negara yang cenderung mengabaikan suara penyintas dan komunitas Tionghoa, meskipun data kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 telah tercatat dalam berbagai laporan resmi, termasuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas Perempuan.

“Satu korban saja seharusnya cukup untuk negara bertindak, tapi ini puluhan, bahkan ratusan, dan masih tetap disangkal,” tegasnya.

Senada dengan itu, Pewakilan Perempuan Mahardhika, Nur Suci Amalia, menyebut bahwa penghapusan sejarah kekerasan seksual merupakan bentuk “kekerasan lanjutan” terhadap korban dan keluarganya.

“Ini bentuk kekerasan tanpa fisik, namun dampaknya mematikan. Hal ini adalah pengkhianatan terhadap para penyintas dan keluarganya,” sebutnya.

Reporter: Husnaeni (Magang)