Makassar, Estetika – Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) memberikan tanggapan terkait advokasi kasus kekerasan seksual di lingkungan FBS, Sabtu (16/11) lalu.
Sebelumnya, pada Sabtu, 12 November 2024, Reporter Estetika sempat mewawancarai Presiden BEM periode 2024-2025 mengenai hal yang ingin diprioritaskan selama masa kepemimpinannya.
Salah satu yang menjadi fokus utamanya adalah pengawalan dan advokasi kasus kekerasan seksual di FBS.
Namun, dalam rapat kerja Jumat, 25 Oktober 2024 lalu, tidak ada satu pun Program Kerja (Proker) BEM yang secara spesifik mengacu pada advokasi pengawalan kasus kekerasan seksual.
Menanggapi hal tersebut, Presiden BEM FBS UNM, Fadil, menyatakan bahwa advokasi kasus kekerasan seksual merupakan tanggung jawab utama yang harus dijalankan oleh BEM, sehingga tidak perlu dituangkan secara rinci dalam Proker Kementerian Sosial dan Politik (Mensospol).
“Advokasi kasus kekerasan seksual sudah menjadi tanggung jawab mutlak kami, Mensospol adalah pihak yang secara khusus menangani hal tersebut, sehingga BEM dapat berperan sebagai perantara untuk melaporkan dan mengawal kasus ke Satgas PPKS,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa BEM akan mendirikan Rumah Aman sebagai bagian dari kolaborasi dengan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), yang memiliki otoritas penuh dalam menangani kasus kekerasan seksual.
“Kami tidak memiliki landasan hukum yang kuat untuk menyelesaikan kasus hingga tuntas, jadi nantinya Rumah Aman pada periode ini akan bekerja sama dengan Satgas PPKS,” tambahnya.
Lebih lanjut, Fadil menjelaskan bahwa BEM tidak hanya berperan dalam pelaporan kasus, tetapi juga aktif dalam mengumpulkan bukti awal guna mempercepat proses penanganan oleh Satgas PPKS.
“BEM akan membantu mencari bukti-bukti awal sebelum kasus dilaporkan, sehingga ketika bukti sudah siap, Satgas PPKS dapat langsung menindaklanjuti,” jelasnya.
Selain advokasi, Fadil, menyebut bahwa BEM FBS UNM juga memprioritaskan pemulihan mental korban melalui kerja sama dengan Mahasiswa Psikologi.
“Kami akan bekerja sama dengan teman-teman Psikologi untuk mendiskusikan mekanisme pendampingan yang tepat bagi korban,” ujarnya.
Pendampingan terhadap korban merupakan tanggung jawab penting Lembaga Kemahasiswaan (LK) dalam melindungi korban kekerasan seksual (KS).
Namun, advokasi tidak cukup hanya mengacu pada prosedur Satgas atau Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2021, yang telah digantikan oleh Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 setelah tiga tahun.
LK perlu memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang khusus dan terarah untuk memastikan proses pendampingan dan advokasi berjalan secara efektif, konsisten, serta terkoordinasi dengan baik, tanpa hanya mengandalkan prosedur formal.
Saat ditanyai mengenai hal tersebut, Fadil, mengaku bahwa BEM FBS belum memiliki SOP terkait pengawalan dan advokasi kasus KS. Namun, ia menegaskan jikalau anggota LK diduga terlibat dalam kasus KS keanggotaannya akan dibekukan selama proses penyelidikan berlangsung.
“Terkait SOP, hal ini akan dibahas dalam rapat BEM dan Maperwa, tetapi saya belum bisa memastikan kapan pembahasannya selesai, sanksi sementara kepada terduga pelaku memang penting untuk memberikan rasa aman kepada korban,” katanya.
Sementara itu, pernyataan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi yang dikutip dari Magdalene.id dalam liputan “Pentingnya Organisasi Miliki SOP untuk Tangani Kekerasan Seksual,” menekankan agar setiap organisasi memiliki SOP khusus terkait kekerasan seksual.
Aminah menyoroti bahwa tidak semua bentuk kekerasan seksual tercakup dalam hukum pidana, sehingga organisasi perlu berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
Selain itu, mengingat pola kekerasan seksual yang beragam, SOP tersebut harus dirancang dengan mempertimbangkan situasi dan karakteristik spesifik di masing-masing lingkungan.
Aktivis gender, Chika Noya, juga menegaskan bahwa SOP khusus untuk menangani kekerasan seksual merupakan elemen krusial yang harus mencakup seluruh aspek penanganan.
Pentingnya keberadaan SOP ini didukung oleh data konkret, seperti temuan LPM Estetika pada 2021, yang mencatat 38 kasus pelecehan seksual di lingkungan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar (FBS UNM). Data ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih menjadi masalah serius, bahkan dalam lingkup satu fakultas saja, sehingga SOP menjadi langkah mendesak.
BACA JUGA: KRONOLOGI PELECEHAN SEKSUAL, UNM BUTUH SOP?
DARURAT SOP PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL, PENYINTAS BELUM AMAN
KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI UNM, KEJELASAN TINDAK LANJUT DIPERTANYAKAN
NESTAPA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL UNM
Sementara itu, hasil survei LPM Estetika yang berjudul “Survei Tanggapan Pembaca: 86,5% Responden Menilai Sanksi Kekerasan Seksual di UNM Tidak Tepat” semakin memperkuat urgensi tersebut.
Dari 141 responden, sebanyak 120 orang menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual di kampus belum ditangani dengan baik.
Salah satu penyebabnya ialah ketiadaan SOP yang jelas dalam penanganan kasus yang berimbas pada kurangnya kepercayaan terhadap mekanisme yang ada.
Lebih lanjut, Nisrina Nadhifah, dalam laporan Project Multatuli berjudul “Mendobrak Sirkel Sendiri: Saat Penyintas Melaporkan Kekerasan Seksual di NGO“, mengungkap bahwa organisasi yang memiliki SOP terbukti lebih efektif dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Sebaliknya, organisasi yang tidak memiliki SOP cenderung gagal memenuhi kebutuhan penyintas, sehingga penanganan kasus menjadi tidak maksimal.
Hal ini menegaskan bahwa SOP bukan hanya pelengkap administratif, tetapi landasan esensial bagi organisasi dalam menangani isu kekerasan seksual.
Di sisi lain, Chika juga menekankan bahwa SOP bukan hanya panduan teknis, tetapi alat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas. Namun, ia menegaskan bahwa keberadaan SOP saja tidak cukup.
Organisasi yang serius dalam menangani isu ini perlu melengkapi SOP dengan program pencegahan yang bersifat proaktif, seperti pelatihan penguatan kapasitas untuk anggota dan pengurus.
Chika menyebut bahwa pelatihan bertujuan agar semua pihak memahami isu gender dan kekerasan seksual dengan baik, sehingga dapat menjalankan SOP secara efektif.
Sebagai tambahan, Chika menegaskan pentingnya pelatihan ini dengan mengatakan, “Pelatihan gender dan isu kekerasan seksual sangat penting. Kalau hanya ada SOP tanpa program pelatihan terkait, itu sama saja bohong,” ujarnya dalam kutipannya di Magdalene.id.
Hal ini menyoroti bahwa tindakan organisasi harus menyeluruh, mencakup panduan, edukasi, dan upaya pencegahan.
Dalam kasus seperti KS, SOP bukan sekadar panduan teknis, tetapi juga alat untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas. Jika BEM serius dengan komitmennya, SOP khusus dan pelatihan gender dan isu kekerasan seksual menjadi kebutuhan mendesak yang tidak boleh diabaikan.
Reporter: Mutiara