Kabar Kampus

DARURAT SOP PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL, PENYINTAS BELUM AMAN

Makassar, Estetika – Pemberitaan pelecehan seksual yang diterbitkan redaksi LPM Estetika pada 5 September 2021, mengundang atensi berbagai pihak. Tidak sedikit pembaca merasa geram akan apa yang dilakukan pelaku, berbagai sahutan kian menggema meminta untuk menilik kembali kasus pelecehan seksual di kampus hingga tuntas, berharap agar pelaku diberi sanksi yang sepadan.

Oknum dosen dan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) yang melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap mahasiswi menambah catatan panjang dan kelam bagaimana masalah ini bisa terjadi di dunia pendidikan.

“Bukan ji hanya ini kasus di FBS nah, masih banyak kasus lain dan semoga diusut semuanya. Kasus lama bukan berarti hilang begitu saja,” komentar salah satu akun pada postingan Instagram LPM Estetika, memperjelas masih ada kasus lainnya yang belum menemui titik terang.

Pengawalan Kasus Pelecehan Seksual Salah Arah, Berbagai Pihak Sibuk Ingin Temui Penyintas

Kasus ini kian mencuat hingga beredar surat permohonan maaf dari mahasiswa terduga pelaku pelecehan seksual di lini masa media sosial. Tidak hanya sampai disitu, BEM FBS UNM selaku perwakilan suara mahasiswa di kampus ungu pada laman instagramnya, mengeluarkan pernyataan sikap menentang keras pelecehan seksual di kampus, tidak membenarkan bahwa LK FBS UNM berusaha untuk menyembunyikan kasus ini dan berjanji untuk mengawal kasus pelecehan seksual ini hingga tuntas, Rabu (8/9).

Sebelumnya, pada Minggu (5/9) menanggapi adanya kasus pelecehan seksual antar dosen kepada mahasiswi, pihak birokrasi telah mengadakan dialog dengan penentuan beberapa sanksi terkait kasus tersebut. Putusan Pimpinan Jurusan Bahasa Inggris Terhadap Oknum Dosen Terduga Pelaku Pelecehan Seksual.

Di sisi lain, dalam kasus Nura (bukan nama sebenarnya), yang telah kami laporkan beberapa pihak menaruh atensi terhadap kasus tersebut, sayangnya banyak pengawalan yang ditawarkan adalah dengan membuka komunikasi kepada penyintas terlebih dahulu. Berbagai pihak meminta untuk bertemu langsung dengan penyintas melalui kami dengan menawarkan pengawalan terhadap kasus pelecehan seksual yang dialami penyintas, namun demi menjaga hak privasi penyintas, kami memilih untuk tidak melakukan apapun tanpa persetujuan penyintas.

Tim Estetika kembali mendapat laporan dari penyintas pada Kamis (9/9), bahwa ia menerima pesan dari salah satu dewan senior FBS UNM untuk memberikan keterangan yang sejujurnya sebagai bahan pertimbangan susunan narasi pernyataan pribadi yang dibuatnya dan sebagai bahan kajian mendalam untuk membandingkan keterangan terduga pelaku dengan penyintas. Ia juga menambahkan bahwa akan segera merilis pernyataan tepat pukul 12.00 Wita apabila penyintas tidak memberikan tanggapan.

Menanggapi hal tersebut, penyintas merasa kesal dan merasa disalahkan atas speak up yang dilakukannya.

“Bismillah, kalau nda bisa diatasi sama LK FBS ini nah dan saya disalahkan atas speak up ‘ku, ke keluargaku mamika ini kasi tauki pasti nabawa ke jalur hukum itu. Nda peduli disuruhka pindah kuliah atau cuti, nda pedulika,” ungkap salah satu penyintas kepada reporter LPM Estetika.

Ia juga tidak menerima jika pihak-pihak lain menghubunginya untuk meminta keterangan, sebab hal tersebut dapat membuat penyintas merasa tertekan.

“Langsung tidak enak kurasa, kenapa dia tiba-tiba chat begini berasa ditekan. Mulaika berpikir kenapa banyak sekali orang di kampus tidak speak up karena ada saja yang memberi kesempatan untuk orang-orang seperti itu dan setauku sebagian orang bilang kalau itu orang dekat dengan pelaku, jadi tambah takutka kasi keteranganku ke dia,” ungkapnya.

”Merasa tertekan ka, pertama itu kenapa dia bandingkan sama keteranganku dengan pelaku, sudah pasti tidak sama, nangiska nah pas ka na chat begitu, bisa-bisanya ada orang begitu,” lanjutnya.

Kami juga menanyai penyintas alasan mengapa pihak tersebut memiliki kontak untuk mengiriminya pesan.

“Kalau dapat kontaknya, mungkin dari siapa saja yang dapat kontak saya,” terangnya.

Sejalan dengan banyaknya pihak yang mencoba untuk menemui penyintas, Tim Estetika segera menanyai Novi Yanti Pratiwi, M.Psi, Dosen Psikologi UNM, mencari tahu hal apa saja yang perlu dilakukan ketika ingin menemui penyintas.

“Kita perlu memahami dulu kondisi psikologis si penyintas, pertama mereka itu malu, tidak semua orang ingin memberitakan apa yang terjadi dengan dia. Apalagi banyaknya lelucon yang mengatakan ‘ah memang kamu yang menginginkan hal itu’,” jelasnya.

Tim Estetika juga mencoba menghubungi Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Rainy Hutabarat pada Senin (6/9) guna menanyakan beberapa hal yang menyebabkan kasus pelecehan seksual masih sering terjadi di masyarakat setempat, utamanya wilayah kampus. Ia menjabarkan bahwa ada faktor relasi kekuasaan yang menjadi penyebab masalah ini terjadi. Misalnya dosen yang memiliki kuasa lebih terhadap siswanya, senior kepada juniornya, pemimpin kepada bawahannya, dan sebagainya.

Selain itu, kasus ini juga sering kali diredam dan tidak didengar sebab korban pelecehan takut bersuara karena bakal distigma sebagai “perempuan murahan” sesuai dengan yang dialami Nura, membuatnya menahan hal mengerikan yang terjadi kepadanya karena stigma tersebut. Ini akibat adanya rape culture (budaya pemerkosaan) dalam masyarakat. Rape culture memandang perempuan korban sebagai biang penyebab, blaming the victim.

Di sisi lain, fakta bahwa pelecehan seksual terjadi berulang menunjukkan pengabaian atau pembiaran. Setiap pembiaran atau pengabaian membuka peluang terjadinya kekerasan dan pelecehan berbasis gender secara berulang. Pelaku mendapat impunitas dan korban menanggung dampaknya dalam rentang waktu yang panjang, bahkan bisa seumur hidup. Apalagi korban tidak mendapat penanganan pemulihan psikis, fisik atau pemulihan sosial.

“Kasus menimpa Nura (bukan nama sebenarnya) memperlihatkan adanya relasi kekuasaan berlapis antara korban dan pelaku. Pertama, pelaku merasa lebih superior dari korban sehingga mengulangi tindak pelecehan terhadap korban. Pelaku pernah melakukan pelecehan namun ia tidak dihukum. Ia malah melontarkan kata-kata tak pantas yang melukai hati korban. Kedua, pelaku adalah senior dari korban dan posisi ini membuat korban khawatir untuk bersuara,” jelasnya.

Fenomena Gunung Es, Kasus yang Belum Terungkap

Pasca pemberitaan Kronologi Pelecehan Seksual yang terjadi di UNM terbit, menimbulkan beragam respon dan dukungan kuat oleh masyarakat umum terhadap penyintas. Tak sedikit yang berkomentar dan melaporkan beberapa kasus serupa yang terjadi di kampus pada reporter kami, menguak bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi di FBS saja, melainkan juga di fakultas lain sebab tindakan kekerasan dan pelecehan seksual memang bisa terjadi di mana saja, di instansi manapun.

Dari 38 kasus, ada setidaknya tiga kronologi kejadian dengan jumlah penyintas sebanyak lima, dua pelaku merupakan mahasiswa dan satu dosen, yang telah diungkap oleh Tim Estetika hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di kampus orange ini. Minimnya laporan kekerasan dan pelecehan yang masuk menandakan bahwa kurangnya ruang aman di kampus bagi penyintas untuk bersuara.

Dipastikan masih banyak kasus yang belum terungkap, karena hal ini merupakan fenomena gunung es, yang berarti kasus yang muncul di permukaan hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Mengapa bisa demikian?

Salah seorang mahasiswi FBS, Nur, turut berkomentar mengapa penyintas tidak berani melaporkan kasus ini. Menurutnya, selain karena masih kentalnya pewajaran sexist jokes di FBS dan victim blaming kepada penyintas sehingga mereka malu untuk bersuara, juga langkah yang ditempuh dalam menindaklanjuti pelaku dinilai belum tegas dan tidak memiliki alur penanganan yang jelas.

“Bicara ‘ka begini bukan hanya sebatas opini pribadi, tapi sesuai beberapa curhatan atau laporan penyintas yang pernah disampaikan ke saya. Saya kurang tahu pasti bagaimana sebenarnya kerja LK menanganinya. Tapi ini menjadi rahasia umum dan pelaku masih berkeliaran tanpa beban, hal itu yang bikin masyarakat FBS, khususnya para penyintas skeptis akan kerja LK,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa langkah yang diambil oleh LK FBS UNM dengan mengeluarkan surat pernyaataan patut diapresiasi.

“Tapi sekarang LK FBS sudah mengeluarkan pernyataan sikap yang akan menindaklanjuti dan mengusut kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus yang merupakan satu langkah yang bagus dan patut diapresiasi,” ucapnya.

Kondisi psikologis penyintas adalah hal yang sangat perlu diperhatikan dalam kasus ini. Mengingat kekerasan dan pelecehan seksual ini mampu menimbulkan trauma yang mendalam bagi penyintas, sehingga mereka memerlukan waktu merenung untuk mengungkapkan kejadian yang sebenarnya.

Di tengah maraknya pembahasan pelecehan seksual, alih-alih menemui penyintas untuk dimintai keterangan, ada satu yang terlupakan, yaitu penyintas membutuhkan payung hukum untuk merasa aman.

Menanggapi kasus ini, apa yang semestinya UNM lakukan?

UNM Harus Buat SOP Guna Cegah dan Tangani Pelecehan Seksual di Kampus

Komnas Perempuan menilai lembaga pendidikan tinggi seperti UNM tidak boleh mentolerir pelecehan seksual yang terjadi di lingkungannya. Ia mengutarakan dampak pembiaran atau pengabaian terhadap kekerasan dan pelecehan seksual dapat menyebabkan berulangnya kasus-kasus serupa. Perempuan korban menanggung dampak psikis berupa trauma yang berakibat menurunnya semangat belajar, menarik diri dari pergaulan karena merasa diri “tak layak” dan pada akhirnya prestasi akademik merosot. Di sisi lain, pembiaran atau pengabaian berdampak pada nama baik universitas yang bersangkutan.

Pemberitaan pertama Tim Estetika mengenai kasus kekerasan dan pelecehan seksual sendiri telah membahas tentang pentingnya Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) Pencegahan dan Penanganan kasus tersebut. Namun hingga saat ini, UNM belum memberi wacana apalagi menerbitkan SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Pelecehan Seksual di kampus.

Selain arahan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim yang telah berkali-kali menginstruksikan sekolah dan perguruan tinggi untuk memperadakan SOP, Komnas Perempuan pun menyatakan bahwa universitas perlu menyusun mekanisme (SOP) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender untuk memutus terjadinya keberulangan dan memenuhi hak perempuan korban atas keadilan.

“Mekanisme ini berlaku bagi seluruh komunitas kampus mulai dari mahasiswa, dosen/guru besar, staf/karyawan, pekerja kontrakan dan relawan. Jadi bukan hanya untuk mahasiswa saja sebab pelaku kekerasan dan pelecehan seksual juga ada dari lingkungan staf bahkan dosen.”

“Selain itu, perlu mengeluarkan pakta integritas dalam perekrutan atau kebaikan jabatan di lingkungan kampus. Calon pegawai yang pernah melakukan pelecehan seksual tidak dapat diterima, misalnya,” tuturnya.

Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Rezky Pratiwi, juga menanggapi kasus pelecehan seksual yang terjadi dengan meminta untuk memproses pelaku dan melindungi korban.

“Ada pengakuan-pengakuan korban itu fakta ya, bukan hal baru dan tabu lagi kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan tinggi karena itu harus disikapi dengan semestinya, proses pelakunya dan lindungi korban,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa kampus harus menciptakan ruang aman bagi penyintas untuk bersuara.

“Yang penting lingkungan kampus mendukung dulu, jadi korban bisa merasa aman untuk speak up,” tambahnya.

Menilik kasus dosen yang melakukan tindak pelecehan seksual lalu terhadap mahasiswi bimbingannya, Bagas (bukan nama sebenarnya) selaku dosen di UNM. Putusan yang dijatuhkan pada pelaku yang membela dirinya dengan alasan refleks, tidak sengaja, dan tidak mengetahui bahwa yang ia lakukan adalah tindakan pelecehan yaitu skorsing dari segala kegiatan mengajar, bimbingan, pengujian, dan lain-lainnya di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris selama satu semester ganjil, yang artinya hanya dibebastugaskan kurang lebih selama tiga bulan tersisa.

Keputusan tersebut diambil sebagai batas wewenang tingkat jurusan, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ketua Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Chairil Anwar, kepada Tim Estetika pada Senin (6/9) lalu.

“Hasil kesepakatan sudah diserahkan kepada Dekan, nah kita tunggu lagi karena Dekan memiliki wewenangnya sendiri sebagai pimpinan fakultas,” ungkapnya.

Mendengar hal tersebut, Tim Estetika pun mewawancarai Dekan FBS UNM, Syukur Saud di hari yang sama, usai mewawancarai Kaprodi PBI. Ia mengatakan bahwa keputusan telah diambil berdasarkan putusan yang dijatuhi oleh Pimpinan Jurusan Bahasa Inggris.

“Nanda, sudah diselesaikan oleh jurusan Bahasa Inggris, saya tidak perlu lagi komentar,” singkatnya.

Melihat alur penanganan dan pengambilan keputusan sanksi kepada pelaku kekerasan dan pelecehan seksual seperti itu menggambarkan layaknya bola ping-pong yang dipentalkan ke sana ke mari, tidak jelas prosedur apa yang seharusnya diambil. Penyintas dari kasus dosen sendiri belum menerima keputusan tersebut, bahkan ia berencana untuk membawa kasus ini ke komisi kedisiplinan kampus.

“Masih sampai ituji putusan terakhir, tapi rencana ini mauki ke komdis,” ungkapnya pada reporter kami, Rabu (8/9) kemarin.

Mengapa Harus SOP?

Tim redaksi LPM Estetika telah mempelajari secara menyeluruh tiga SOP Penanganan Kekerasan Seksual, yaitu Surat Edaran (SE) Dirjen Pendidikan Islam tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Seksual, SOP Pencegahan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (UI), den Peraturan Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Mempelajari SOP UGM, pada pasal 1 menjelaskan bahwa Sistem Penanganan Terpadu (STP) dilakukan dengan tindakan secara koordinatif dan terintegrasi, yang selanjutnya diatur pada pasal 6 bahwa pelayanan terhadap korban dan penindakan terhadap pelaku dikoordinasikan oleh sekretaris rektor. Selain itu, mengenai pendampingan korban berupa pendampingan medis atau psikologis, perlindungan kerahasiaan identitas, penyediaan tempat tinggal, dan keperluan lainnya juga disediakan dan diatur dengan jelas, sehingga penyintas mendapatkan pendampingan khusus sebagai jaminan keamanan secara gratis.

Begitupun dengan buku saku SOP Kekerasan dan Pelecehan Seksual UI, dijelaskan secara rinci prosedur pengajuan laporan, yaitu mengirim email ke Unit Resolusi Keluhan, mengirimkan laporan secara online (melalui formulir pengajuan keluhan), dan membuat Laporan anonim (mencatat tindakan secara terbatas). Prosedur ini dilakukan baik melalui hopehelps, posko di masing-masing fakultas, dan kalau UI sudah punya Crisis Center layanan dipusatkan di tempat tersebut.

Pemberian sanksi ke pelaku juga tidak serta merta diambil hanya berdasarkan keputusan hasil dialog singkat, melainkan ada peninjauan-peninjauan yang dilakukan terlebih dahulu. UI akan merujuk ke berbagai pihak untuk mengambil tindakan disipiliner sebagai berikut:

Di sisi lain, hal menarik di dalam SE Dirjen Pendidikan Islam tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Seksual adalah adanya mekanisme pencegahan dan penanganan pelecehan dan kekerasan seksual. Hal tersebut mencakup prinsip-prinsip, langkah-langkah strategi dan penyediaan sarana dan prasarana pencegahan, hingga monitoring dan evaluasi pencegahan.

Dalam pemberian sanksi kepada pelaku juga dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu kasus ringan, sedang, dan berat. Untuk kasus Yoyo maupun Bagas yang mungkin tergolong berat, mereka dapat mendapatkan sanksi administrasi berupa penurunan pangkat, jabatan, hingga pemecatan. Khusus mahasiswa bisa saja dihukum DO. Selain itu, ada juga sanksi pembinaan dan laporan ke pihak kepolisian.

Berdasarkan tiga SOP yang kami baca, dapat disimpulkan bahwa SOP merangkum pengenalan apa itu kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk jenis-jenisnya, mekanisme pencegahan dan pendampingan korban berupa pendampingan psikologi dan perlindungan, serta alur penanganan dan ketentuan sanksi ke pelaku.

Semua pelaku pelecehan seksual harus ditindak, namun tanpa SOP yang jelas, akan membuat semakin banyak penyintas takut untuk bersuara, menciptakan korban-korban berikutnya yang lebih memilih diam, membiarkan pelaku lainnya berkeliaran tanpa dosa.

Selain bertujuan sebagai upaya meningkatkan kesadaran diri dan bentuk edukasi terhadap seluruh sivitas akademika kampus mengenai bahaya kekerasan dan pelecehan seksual, pengadaan SOP juga penting dilakukan agar penanganan yang tidak jelas terhadap kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi.

Sehubungan dengan itu, Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Rezky Pratiwi, mengungkapkan bahwa kasus-kasus dengan relasi kuasa dan rentan intimidasi harus ada jaminan dari kampus.

“Penting memastikan bahwa pemeriksaan yang dilakukan pihak kampus itu ramah korban, privasi terjaga, dan kebutuhan korban bisa difasilitasi (bisa dirujuk ke lembaga luar kampus jika tidak ada layanan dalam kampus). Kasus-kasus dengan relasi kuasa dan rentan intimidasi harus ada jaminan dari kampus, misalnya aduan terhadap dosen oleh korban mahasiswa, harus dijamin tidak akan berdampak negatif pada urusan akademik korban,” ujarnya.

Kami mengadakan survei mengenai respon pembaca setelah mengetahui adanya pelecehan seksual yang terjadi di kampus. Sahabat Estetika dapat mengakses survei tersebut melalui link berikut: https://forms.gle/vsdJYR7GJBNZniuS9

Reporter: Tim Estetika

Untuk membaca seputaran kasus ini, kami telah merunutkan berita-berita yang telah kami kerjakan:

Related posts

PENGURUS HMPS HAN SHI REN FBS UNM RESMI DILANTIK

LPM Estetika FBS UNM
January 17, 2018

TINGGINYA MINAT MAHASISWA TERHADAP TOEFL, DOSEN PBI ADAKAN PRA-PELATIHAN PENGAJARAN TOEFL SECARA DARING

Editor Estetika
August 15, 2020

ATRAKSI API “TARI PEPPE-PEPPE BAINE” LENTERA SUKSES PUKAU PENONTON

LPM Estetika FBS UNM
September 15, 2018
Exit mobile version