Ari, anak pertama dari dua bersaudara, tinggal bersama kedua orang tuanya di rumah sederhana yang berdiri bersahaja di pinggir desa. Tak berpagar mewah, hanya berpagar bambu. Tak berlantai marmer yang berkilau, hanya pekarangan tanah merah dengan beberapa pot bunga buatan ibunya. 

Terlahir dari keluarga sederhana, bapaknya, Suhadi bekerja sebagai seorang petani dan tukang kayu. Sedang ibunya bernama Anisa, seorang ibu rumah tangga yang gemar membuat kue dari resep-resep lama yang diwariskan nenek, lalu kue itu dijual setiap hari di pasar tradisional yang berjarak sekitar setengah kilometer dari rumah mereka.

Ari sendiri adalah anak yang tidak terlalu menonjol, tapi di sekolah, ia salah satu siswa yang pintar. Waktunya lebih banyak ia habiskan untuk membaca buku-buku bekas yang dibelikan bapak dari pasar loak setiap akhir bulan. Ari selalu bersemangat untuk belajar. Membuat keluarganya sukses adalah impiannya sejak kecil.

Meskipun serba kekurangan, tak menghalangi semangat Ari untuk belajar lebih giat hingga menjadi anak yang berprestasi di sekolahnya. Kepiawaiannya itu membuat dirinya akhirnya bisa mendapatkan beasiswa dan lulus di universitas impiannya setelah mengikuti seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri berbasis prestasi dan akan berangkat ke kota beberapa hari lagi. Ari mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya.

Namun di sisi lain, mereka merasa sangat sedih karena harus rela ditinggal anak pertamanya untuk berkuliah. Ibu dan Bapak yang memang selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya setuju-setuju saja. Tetapi tetap saja keduanya merasa khawatir, takut Ari salah pergaulan dan terbawa arus gelap di kota.

“Bapak akan selalu dukung langkah kamu, asal itu baik,” kata Bapak di suatu subuh yang tenang. Duduk di beranda, bersisian dengan anak pertamanya sambil menyeruput kopi hitam dan singkong rebus buatan Ibu sehabis pulang shalat subuh bersama Ari di masjid dekat rumah.

“Tapi kamu harus janji sama Bapak, belajar yang benar dan yakinkan Bapak sama Ibumu bahwa kamu akan sukses suatu hari nanti,” lanjutnya menasehati. 

“Ari janji nggak akan macam-macam di kota, Pak. Tujuan Ari, ‘kan emang mau kuliah, bukan buat hal lain,” timpal Ari meyakinkan.

Dengan tangan kasarnya yang mulai keriput, Suhadi menepuk pundak putranya. Sambil tersenyum hangat beliau berkata, “Bapak percaya kamu, Ri. Bapak harap, kamu tidak akan menghancurkan kepercayaan kami.” 

Kedua ujung bibir Ari tertarik membentuk senyum lebar. Subuh hari itu terasa berbeda, udara masih basah oleh embun dan dingin yang belum mau beranjak. Tak banyak kata yang terucap, seolah pagi itu tak butuh suara, hanya rasa yang saling terhubung dalam diam.

Langit di depan mereka luas, tenang dan tak terjamah. Awan tipis mengambang pelan, bagai harapan yang belum sempat diucap. Bapak, dengan wajah keras namun teduh, memandang kaki langit seakan tengah membaca sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa. Ari mengikutinya, memandang langit yang mulai menampakkan semburat jingga di batas cakrawala. Matanya menerawang jauh, seakan di balik birunya langit tersimpan peta jalan menuju hari esok.

“Masa depan itu seperti langit subuh, Ri,” ujar Bapak pelan, suaranya serak karena dingin dan usia. “Gelapnya bukan akhir, hanya bagian dari datangnya terang.”

Ari diam. Kata-kata Bapak menggema dalam benaknya, menancap lebih dalam dari yang bisa ia mengerti saat itu. Ia tahu, hidup mereka sederhana—kadang terlalu sederhana untuk bermimpi besar. Tapi di langit yang mulai bersinar itu, Ari seakan melihat sedikit dari masa depannya: belum jelas, belum pasti, tapi nyata dalam harapan.

Mereka duduk begitu saja, dua laki-laki dari dua generasi yang berbeda, memandangi langit yang sama, menatap ke depan dengan cara mereka sendiri. Dan di antara diam dan sinar mentari yang mulai muncul, tumbuhlah sesuatu yang lebih kuat dari rencana, yakni kepercayaan.

•••

Beberapa hari telah berlalu. Kini saatnya sang anak berpamitan pada kedua orang tuanya. Kini saatnya pula Bapak dan Ibu mengikhlaskan anak pertamanya itu untuk mengejar mimpi di kota yang penuh dengan hiruk pikuk kehidupan yang tak terduga.

Ari berdiri di depan rumah. Membawa ransel yang tak terlalu besar tapi terasa begitu berat. Bukan karena isi di dalamnya, melainkan karena segala hal yang akan ditinggalkannya. Tawa Rani – adiknya, senyum dan pelukan hangat Ibu, dan nasihat-nasihat terakhir Bapak yang ia berjanji tak akan pernah dilupakan.

Ibu menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi tetap tersenyum. “Hati-hati di jalan, Nak. Jangan lupa makan, jangan lupa sholat lima waktu,” pesannya untuk yang kesekian kalinya. 

“Bang Ari, kalau udah nyampe di kota kabarin lewat telepon, ya. Rani mau dengar cerita Abang tentang kota itu kayak gimana.” Rani berceletuk, membuat Ibu tertawa, dan Bapak yang berdiri di ambang pintu tersenyum. Anak itu memang sangat polos. 

“Haha, iya, Dek. Yang penting kamu harus janji sama Abang buat jagain Ibu sama Bapak di sini,” pesan Ari kepada adiknya.

Rani berdiri tegap, lalu mengangkat tangan kanannya dengan gerakan mantap ke pelipis. “Siap, Bang!”

Halaman depan rumah itu dipenuhi gelak tawa setelah anak perempuan yang masih duduk di bangku kelas 5 SD itu melakukan gerakan hormat. Dia seperti pengibar bendera yang tengah melakukan formasi untuk menghormati bendera merah putih yang siap dikibarkan.

Sementara itu, Bapak tak ikut mengantar sampai jalan depan. Ia hanya berdiri di ambang pintu, menyender di kusen tua yang sudah mulai miring. Tangannya melambai pelan, dan senyumnya tak begitu lebar, tapi cukup untuk membuat dada Ari sesak.

Saat mobil angkutan mulai menjauh, Ari menoleh ke belakang, melambai kecil. Rumah kayu itu makin kecil, tapi siluet Bapak tetap terlihat. Seperti pohon tua yang berdiri di tengah ladang—diam, kokoh, dan penuh makna. “Jangan lupakan dari mana kamu berangkat, Ri,” pesan Bapak pagi tadi. 

Mobil yang ditumpangi Ari semakin menjauh, meninggalkan desa, sawah, dan tempat bertumbuhnya Ari. Hingga ketika sampai di kota, Ari merasa takjub. Tak menyangka mimpinya untuk berkuliah di kota akhirnya terkabulkan. Dia sudah pernah ke kota beberapa kali untuk mengikuti beberapa perlombaan.

Sampai di kost tempat ia akan tinggal, Ari langsung menghubungi Ibu dan Bapak, menyampaikan dengan gembira bahwa ia telah sampai di kota, mendapatkan tempat tinggal yang nyaman dan akan masuk kuliah beberapa hari lagi. Di layar ponsel, Ibu dan Bapak tampak senang, menyampaikan kembali nasihat-nasihatnya seperti mantra yang diulang-ulang. Berharap agar putranya itu belajar dengan baik dan membuat mereka bangga.

Seperti bayangan yang bergeser tanpa suara, waktu berlalu tanpa pernah menoleh. Di kota, segalanya serba cepat. Ari menghabiskan waktunya untuk fokus kuliah. Tumpukan tugas-tugas dan kelas membuatnya harus lebih pintar lagi untuk disiplin dan memanajemen waktunya dengan baik. Di sisi lain, ia juga selalu berusaha menyempatkan waktu untuk mengabari Ibu dan Bapak di kampung.

“Kalau perlu setiap pekan sempatkan waktu buat telepon kami di kampung, biar kami ini tahu apa yang kamu butuhkan di sana, Ri,” kata Ibu di suatu waktu.

Tetapi, pesan dari Ibu itu seperti angin lalu. Karena kesibukannya, Ari selalu lupa. Apalagi setelah naik ke semester dua, ia sudah mulai mengikuti organisasi dan kegiatan-kegiatan di kampus. Selain itu, pergaulan yang membuka banyak jendela dunia yang belum pernah ia lihat sebelumnya membuat dirinya mulai terbawa arus. 

Lambat laun, suara Ibu yang rutin menelepon setiap pekan sekali mulai ia jawab dengan singkat. Kadang kala pula ia mengabaikan telepon dari mereka dengan alasan sedang berkegiatan di kampus atau sedang mengerjakan tugas kuliah. Pesan-pesan Bapak yang sederhana, ”jaga diri baik-baik”, “jangan lupa sholat”, “jaga pergaulan”—berubah menjadi notifikasi yang sering ia abaikan. Tidak seperti sewaktu bersama Bapak, shalatnya sudah sering tidak tepat waktu lagi. Perkumpulannya dengan teman-teman kampus sudah berada di luar aturan dan nasihat Bapak sebelum ia berangkat ke kota. Saat libur semester, ia tidak pernah pulang. Meskipun Ibu dan Bapak sudah beberapa kali meminta Ari untuk pulang karena rindu dengan anak pertamanya itu. 

“Kapan pulangnya, Ri? Libur kemarin kamu belum pulang. Bapak sama adikmu kangen, loh,” bujuk Ibu dengan suara lirih. Di seberang telepon, tanpa Ari ketahui, Ibu meneteskan air mata, meremas telepon seluler-nya. Rasa rindu dengan anak pertamanya begitu mendalam. Setiap saat, ia selalu mengharapkan pintu rumah diketuk, dan Ari pulang melepas semua beban yang dipikulnya di kota.

“Ari belum ada waktu sempat, Pak, Bu. Ari sibuk, banyak kegiatan, belum bisa pulang.” Begitu jawaban Ari. Selalu saja seperti itu setiap kali diminta untuk pulang.

Ari mulai merasa jauh dari rumah, tapi juga tak merasa bersalah. Ia berpikir waktu akan selalu ada untuk ia kembali dan pulang ke kampung. Ari percaya Bapak dan Ibu akan tetap menunggunya. Saat Ibu dan Bapak ingin mengunjunginya di kota, Ari juga menolak. Keduanya akan repot nanti, pikirnya. Apalagi, jarak dari kampung halaman mereka ke kota terbilang cukup jauh. 

Namun dunia terus bergerak, dan Ari semakin tertelan arus. Walaupun begitu, Ibu dan Bapak tetap mengirimkan SMS pendek jika Ari tak sempat mengangkat teleponnya. Hanya sekadar bertanya kabar, memberi semangat, dan bertanya kapan pulang.

“Ari, bagaimana kabarmu?”

“Jangan lupa sholat, Nak.”

“Kapan bisa ditelepon, Nak? Bapak kangen suaramu.”

“Ari kapan pulang?”

Hanya pesan-pesan singkat, tapi kadang kala tak dijawab Ari karena terlalu sibuk. Hingga pada suatu hari, pesan itu tak pernah dikirim lagi.

•••

Hari itu, langit kota tampak seperti biasa—tak terlalu cerah, tapi juga tak hujan. Ari sedang duduk di sudut perpustakaan kampus bersama teman-temannya, dikelilingi buku-buku tebal dan suara ketikan laptop yang bersahut-sahutan. Laptop itu milik temannya, Ilyas, yang ia pinjam setelah keluar kelas pada kuliah jam pertama.

Di layar ponselnya, puluhan notifikasi berseliweran, tapi tak satupun sempat ia buka. Termasuk SMS dari Ibu. Ari hanya membaca namanya sekilas tanpa melihat isi SMS-nya. Lalu menguncinya kembali. Bukan karena marah, bukan juga karena tak peduli. Tapi karena hatinya sudah terlalu penuh dengan urusan-urusan yang terasa lebih mendesak. Deadline presentasi, tugas kelompok, proyek UAS, rapat organisasi, dan urusan lainnya tentang perkuliahan. Hal-hal yang tanpa ia sadari, perlahan menjauhkan dirinya dari akar yang dulu begitu ia genggam erat.

Masih di hari yang sama, ketika malam tiba. Ari baru pulang berkegiatan di kampus. Bersama dengan  satu teman kampusnya, Ilyas. Ilyas adalah teman yang paling baik di antara teman-teman kelas Ari. Ilyas juga satu organisasi dengannya.

Duduk di pinggir kasur, kedua mahasiswa itu beristirahat sejenak untuk melepas penat.  Beberapa saat kemudian, Ari berdiri, keluar dari kamar. Beberapa menit setelahnya, ia kembali membawa dua gelas teh hangat. Tak masuk, hanya nongol di pintu kamar.

“Yas, ngobrol di luar, yuk,” ajaknya.

Ilyas mengangguk, beranjak dan mengikuti Ari menuju balkon. Di sana mereka duduk berdampingan di kursi, menikmati hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang. Suara kendaraan dari kejauhan menjadi latar yang samar. Angin berhembus pelan, menggerakkan tirai yang separuh tersangkut di jendela. 

Thanks, Yas, udah mau temenin,” ucap Ari.

Ilyas kemudian menjawab, “Sama-sama. Jangan sungkan kalau mau ngajak aku nginep di sini lagi. Kapan-kapan, kau juga harus nginep di kos-ku. Aku sering kesepian.”

“Haha, oke!” Ari setuju. Sudah beberapa kali ia mengajak Ilyas, bahkan teman-temannya yang lain untuk menginap di kostnya karena merasa kesepian. 

Malam itu, keduanya banyak mengobrol. Hanya pembahasan ringan, tapi bermakna dalam. Sambil memandangi gemerlap bintang-bintang yang menghiasi langit malam yang membentang luas di hadapan mereka. 

“Yas, kenapa mau kuliah di kota?” Tiba-tiba Ari bertanya.

“Aku ke sini cuma pengen buat bangga orang tua. Meskipun mereka udah nggak ada, masih ada bagian dalam diriku yang terus nyari cara buat nunjukin kalau aku nggak sia-sia dilahirkan.” Ilyas berkata dengan suara yang tenang.

Ari terdiam sejenak, menatap temannya itu dengan prihatin. Ilyas pernah bercerita padanya bahwa kedua orang tuanya telah tiada saat Ilyas masih berusia sepuluh tahun. Tapi semangatnya untuk membahagiakan kedua orang tuanya meskipun telah berada di alam yang berbeda tidak pernah padam. Sekali lagi Ari kagum.

“Kalau kamu?” tanya Ilyas, menoleh pada Ari.

“Aku pengen banget jadi pengusaha sukses, Yas,” kata Ari sembari mengaduk-aduk pelan teh hangat di hadapannya. “Biar Bapak sama Ibu bisa lihat anaknya berdiri di atas kaki sendiri. Ya … intinya mau bahagiain mereka.”

Ilyas hanya tersenyum kecil. “Semangat, Ri. Kamu beruntung, karena kedua orang tuamu masih lengkap. Jangan sia-siakan mereka, karena ketika kamu kehilangan salah satu atau keduanya, kamu bakal nyesel suatu saat.”

Mendengar perkataan Ilyas, seketika Ari teringat satu hal. Ia sama sekali belum membuka ponselnya untuk melihat SMS dari Ibu tadi siang, ketika ia masih di perpustakaan kampus. Merogoh saku celana, Ari mengeluarkan telepon pintarnya. Lantas segera membuka SMS dari Ibu.

“Ari, Bapak masuk rumah sakit.”

Seperti biasa, hanya pesan singkat, tapi mampu membuat jantung Ari seolah berhenti sejenak. Matanya terpaku pada layar, membaca ulang pesan itu berkali-kali, berharap mungkin ia salah baca atau sedang bermimpi. Suasana balkon yang tadinya terasa hangat menjadi sunyi, seolah semua suara telah menghilang kecuali suara detak jantungnya sendiri.

“Kenapa, Ri?” tanya Ilyas pelan, melihat perubahan di wajah sahabatnya.

Ari menelan ludah, mencoba meredam guncangan dalam dadanya. “Bapak sakit, Yas,” jawabnya lirih. Tangannya masih menggenggam ponsel, erat sekali, seakan itu satu-satunya penghubung ke rumah. “SMS Ibu dari tadi siang waktu kita di perpus.”

Ilyas mengangguk pelan, memahami tanpa banyak tanya. Ia tahu betapa pentingnya waktu ketika kesempatan belum benar-benar pergi. “Telepon ibumu, Ri. Tanya keadaan bapakmu sekarang.” 

Ari segera menghubungi nomor Ibu. Namun, namor Ibu di luar jangkauan. Kembali Ari menghubungi, beberapa kali, tetapi tak kunjung mendengar suara Ibu. Mungkin masalah jaringan di kampung, pikir Ari.

“Nggak diangkat, Yas.” Ari beranjak, air mukanya cemas dan setengah panik. Nomor Ibu tak bisa dihubungi, sedangkan Bapak tidak punya telepon. Nomor tetangga pun ia tak punya. Sekarang Ari bingung harus berbuat apa.

Ilyas yang melihat kesulitan Ari saat ini pun ikut merasa khawatir. Saat ini, ia hanya bisa menepuk pundak teman karibnya itu sebagai bentuk penguatan.

“Tenang, Ri. Jangan panik. Coba kamu balas aja dulu SMS Ibumu, semoga aja ada respon secepatnya,” saran Ilyas.

Ari menghela napas berat. Ia segera mengikuti saran Ilyas, membalas SMS Ibu dengan tangan gemetar. Sungguh, ada perasaan menyesal ketika ia mengabaikan pesan Ibu sewaktu di perpus tadi siang. Seandainya saja ia langsung membalasnya saat itu, mungkin sekarang ia sudah tahu bagaimana kabar Bapak di kampung.

Ari kembali duduk setelah Ilyas menyuruhnya, walaupun ia belum bisa tenang. Dengan kepala tertunduk menatap layar, ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tapi ia tetap memilih untuk berpikir positif tentang keadaan Bapak, bahwa Bapak akan baik-baik saja. Ia akan segera menerima kabar baik dari Ibu lewat SMS nanti.

“Yas, menurutmu, besok aku pulang aja atau nggak usah?” Tiba-tiba Ari bertanya. Perasaannya gundah gulana. Suara-suara Bapak yang samar memenuhi ingatannya.

“Pulang, Ri. Kalau bukan karena mereka, kamu nggak akan bisa sampai di sini. Tujuan kamu kuliah, ‘kan buat mereka bangga. Jangan sampai kamu lebih fokus ke kuliahmu tapi abai sama tempat pulang kamu.”

Malam itu, di antara nyala lampu kota yang tak pernah tidur dan sejuknya udara balkon, Ari akhirnya mengerti tentang satu hal. Bahwa kesempatan bukan soal besar atau kecilnya peluang, tapi tentang momen yang tak bisa diulang, yang sering kali baru terasa penting setelah ia lewat. Dan kesempatan berharga itu tak diukur dari waktunya, tapi dari siapa yang menanti di baliknya.

Malam itu, ketika seluruh kota telah terlelap, Ari justru tak bisa tidur. Ia tenggelam dalam cemas dan kekhawatirannya. Ia masih setia menatap layar ponsel yang menyala, menunggu kabar dari Ibu. Namun, Ibu tak kunjung membalas SMS-nya sejak beberapa jam yang lalu. Ari berbaring di kasur dengan pikiran berkecamuk, antara sedih, khawatir, cemas, dan … merasa bersalah—semuanya bercampur aduk menjadi satu. Ia menatap punggung Ilyas yang sudah lebih dulu berkelana di alam mimpi. Menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan, ia mencoba untuk kembali menutup mata.

Menit demi menit berlalu, hingga jarum jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Kedua mata Ari memang tertutup rapat, tetapi ia tidak pernah tidur. Hati dan pikirannya melayang ke mana-mana. Ia akhirnya kembali membuka mata, bangkit dari pembaringan dengan hati yang gundah gulana. Sejenak ia beristighfar untuk menenangkan hati dan menghilangkan segala pikiran buruk yang menghampirinya. 

Beberapa saat kemudian, Ari bangkit, keluar dari kamar dan masuk ke toilet yang terletak di ujung lorong. Setelah mengambil air wudhu, ia lalu kembali masuk ke kamarnya, memakai sarung dan peci, kemudian menggelar sajadah untuk melaksanakan shalat Tahajud.

Dalam sunyi yang begitu hening, ia berusaha khusyuk. Ia berdiri, ruku, lalu bersujud lebih dalam dari biasanya. Di setiap gerakan, ada doa yang tak terucap dengan kata-kata, ada getar dalam hati yang ingin sekali pulang secepatnya, ingin sekali menggenggam tangan Bapak yang keriput hanya untuk mengatakan bahwa Ari rindu padanya. Ia berdoa dengan penuh harap pada Allah agar Bapak segera sembuh.

Tiga puluh menit berlalu. Adzan shalat Subuh berkumandang, sebagai peringatan dari Allah kepada manusia untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim sebelum beraktivitas dan berkelana di dunia. 

Lampu-lampu rumah dan gedung satu persatu menyala. Jalan-jalan kota semakin terang oleh kilau cahaya lampu. Ari membagunkan dan Ilyas. Keduanya bergegas ke masjid yang berjarak kurang lebih 100 meter dari kost tempat tinggal Ari. Tak lama, hanya tiga puluh menit, lalu setelahnya mereka kembali pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, Ari gelisah dan murung. Ia masih memikirkan Bapak, ingin cepat-cepat pulang. Tapi pagi-pagi buta begini, bus kota ke kampung belum ada yang start. Paling cepat pukul 08.00 pagi. Ditambah terakhir kali saat mengecek kembali SMS yang dikirim pada Ibu tak kunjung dibalas. Pulang dari masjid bukannya tenang, hatinya malah semakin cemas. 

Ilyas menepuk-nepuk pelan pundak Ari, seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu.

“Ibu belum jawab SMS-ku, Yas,” kata Ari pelan. Tatapannya tak bisa menjelaskan apa-apa.

“Tenang, Saudara. Jangan berpikir negatif, coba lebih berprasangka baik sama Allah. Bapakmu pasti bakal sembuh, kok.”

“Aku selama ini nggak pernah dengerin Bapakku, Yas. Aku selalu mengabaikan pesan-pesannya. Aku menyesal nggak pernah angkat telepon Ibu, aku selalu punya alasan karena sibuk. Padahal, kalau bukan karena mereka, aku nggak akan ada di titik seperti sekarang ini.”

“Kamu harus tahu, Ri, kalau sebenarnya situasi yang kamu alami sekarang ini tidak lepas dari rencana Allah. Ini salah satu bentuk ujian dari Allah, untuk mengingatkan kamu bahwa di balik statusmu sebagai seorang anak dan Mahasiswa, ada orang tua yang selalu memberi dukungan dan perhatian dari jauh, kamu nggak boleh lupa sama mereka.”

“Intinya, ini adalah pelajaran berharga buat kamu. Jangan sia-siakan mereka selagi mereka masih ada. Perbaiki semuanya sebelum terlambat, Ri.”

Ari terdiam, mencerna baik-baik nasihat yang disampaikan Ilyas padanya. Ia mendongak, menatap langit yang mulai menampakkan semburat jingga di sudut cakrawala. 

“Semoga Bapak udah sembuh, Yas. Aku berharap, Bapak menatap langit yang sama sekarang.”

Mereka kemudian sama-sama diam sepanjang menelusuri lorong gedung, sambil menikmati sejuknya udara pagi. 

Setibanya di kamar kost, Ari langsung membuka ponselnya. Kabar itu datang secara tiba-tiba, dari SMS ibu yang sederhana, singkat, namun mampu memporak-porandakan dunianya. 

“Ari, Bapak udah nggak ada, Nak. Perginya setelah adzan tadi subuh.”

Detik itu, waktu seakan membeku. Dunia Ari runtuh dalam sekejap. Tangannya gemetar, ponsel nyaris terlepas dari genggaman. Nafasnya berhenti sejenak, seolah paru-parunya lupa cara bekerja.

“Kenapa, Ri?” Ilyas heran ketika melihat Ari hanya terpaku menatap ponselnya. Ilyas mendekat, melihat isi pesan di layar yang masih menyala itu. Ketika melihat kabar duka itu, saat itu juga ia tak mampu berkata-kata.

Ari langsung memeluk Ilyas. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ari merasa hancur. Tangisnya sudah tak terbendung lagi, tumpah begitu saja. Bahunya bergetar karena menangis. Kabar itu datang seperti anak panah yang menghujam dadanya berkali-kali lipat—perih, sesak, dan sakit. Semakin ia mengingat siluet wajah Bapak, semakin deras pula air mata yang keluar dari kelopak matanya. Rasa bersalah, rindu, sedih, hingga penyesalan bercampur menjadi satu. Ari runtuh dalam isak tangisnya.

Ilyas hanya mampu menepuk-nepuk pundak sahabatnya, mencoba menguatkan meski ia ikut merasa hancur. Yang paling menyakitkan bagi Ari bukan hanya kehilangan itu sendiri, tapi kenyataan bahwa ia tidak ada di sana. Tidak sempat menggenggam tangan Bapak, tidak sempat menatap wajah tenang Bapak untuk yang terakhir kali, tidak sempat mengucapkan terima kasih, apalagi selamat tinggal. 

Kini hanya penyesalan yang tertinggal. Bukan hanya karena Bapak telah pergi, tapi karena kesempatan yang ia miliki telah hilang dan terlewatkan. Dan tidak ada doa, waktu, atau penyesalan yang bisa memutarnya kembali.

•••

Hari demi hari berlalu. Sore itu, Ari berdiri seorang diri di teras rumah. Kepalanya menengadah ke langit merah saga yang membentang luas. Hari-hari ia lalui dengan penuh rasa kehilangan. Kepergian Bapak menyisakan duka yang mendalam.

Sore kala itu begitu hening. Bahkan suara motor yang lewat di depan rumah seolah dibuat samar oleh keheningan. Di tangannya, Ari menggenggam secarik amplop kecokelatan yang diberikan Ibu malam sebelumnya.

“Ini ditulis Bapak beberapa waktu lalu,” ujar Ibu lirih, dengan mata yang lelah tapi hangat. “Katanya, nanti akan tiba waktunya kamu membaca ini.”

Dengan jemari gemetar, Ari membuka amplop itu. Di dalamnya, ada selembar kertas lusuh dengan tulisan tangan yang khas: agak miring, rapi, dan penuh jeda. Ia membaca pelan-pelan. Kata demi kata seperti menyentuh luka yang selama ini ia torehkan untuk Bapak.

Untuk Ari, anak Bapak yang paling Bapak banggakan.

Nak,

Kalau suatu hari kamu membaca surat ini, mungkin Bapak udah nggak bisa lagi duduk di sebelahmu sambil bercerita. Tapi nggak apa-apa. Selama langit masih ada, kamu bisa selalu menengadah, dan bayangkan Bapak lagi natap ke arah yang sama.

Hidup ini nggak selalu mudah, Ri. Tapi jangan takut. Kamu dibesarkan bukan untuk menyerah, tapi untuk bertahan dan berjalan dengan kepala tegak. Kalau kamu lelah, pulanglah. Rumah ini nggak pernah menutup pintu.

Jangan lupa jadi orang baik, meski dunia sering nggak adil. Dan jangan lupa, Bapak selalu percaya sama kamu, lebih dari kamu percaya sama dirimu sendiri.

Semangat kuliah dan buat Bapak dan Ibumu bangga, ya! Bapak pengen liat kamu pakai toga sambil pegang ijazah.

Peluk dari jauh,

Bapak

Ari tak lagi sanggup menahan air matanya. Dengan dada bergemuruh penuh sesak, ia menjatuhkan diri, menumpukan kedua lututnya di atas lantai yang dingin. Ia menunduk dengan bahu yang bergetar hebat, menggenggam erat surat lusuh itu seolah takut huruf-hurufnya menghilang. Sepenggal kalimat terakhir yang ditulis Bapak benar-benar menjadi tamparan keras untuknya. Jangankan melihat dirinya memakai toga, memakai almamater kebanggaannya saja Bapak belum sempat menyaksikan.

“Bapak …,” lirihnya dengan suara tertahan, nyaris hilang tertelan sesak. Siluet Bapak dengan senyum hangatnya terbayang-bayang seperti semburat pagi yang menembus kabut. Ari terisak dengan penuh penyesalan. 

Di balik pintu rumah yang sederhana itu, Ibu menangis dalam diam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, hatinya teriris ketika melihat anak pertamanya menangis sedemikian derasnya. Ari yang selama ini ia lihat sebagai anak yang kuat, kini luruh juga dengan pundak yang rapuh.

“Maafin Ari, Pak ….” Untuk kesekian kalinya, kalimat pendek itu keluar dari bibirnya. Hanya kata maaf yang bisa diucapkan. Namun sampai kapanpun, kata itu tak akan pernah sampai kepada sosok yang sudah tak lagi ada di sampingnya.

Waktu tak pernah mengulang, dan kehilangan tak pernah mengetuk. Ia datang diam-diam, lalu menetap bersama penyesalan yang tak terucap. 

Penyesalan bukan karena kita kehilangan, tapi karena kita menyadari betapa berharganya sesuatu setelah ia pergi tanpa sempat kita genggam sepenuh hati.

Penulis: Sulfiana