Makassar, Estetika – Meski dinilai rawan pasal karet dan menghilangkan banyak hak asasi manusia, Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) telah resmi disahkan pada Selasa (6/12) lalu.

Sejak perancangannya, KUHP telah menimbulkan banyak polemik di masyarakat akibat adanya pasal-pasal yang nilai rentan mengkriminalisasi.

Adapun beberapa pasal KUHP yang dapat menjerat masyarakat umum utamanya mahasiswa di antaranya, pasal 218 ayat 1 tentang penghinaan kepada presiden, pasal 240 tentang penghinaan terhadap lembaga negara & pemerintah, pasal 256 tentang demonstrasi tanpa pemberitahuan, pasal 263 tentang berita bohong, pasal 188 tentang penyebaran Marxisme dan Leninisme, dan pasal 433 tentang tindak pencemaran nama baik.

Menanggapi hal ini, Tim Estetika melakukan wawancara khusus (wansus) dengan menemui Heri Tahir selaku Pakar Hukum sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Universitas Negeri Makassar (UNM) untuk memperjelas beberapa pasal yang rentan menjerat mahasiswa pada Senin (2/1) kemarin. Berikut uraian hasil wawancaranya.

Apa urgensi dari pengesahan KUHP yang terkesan terburu-buru padahal banyak pihak yang menolak?
Pengesahan KUHP ini tidak terburu-buru, karena perancangannya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an dan rencana pengesahannya itu sejak 2014. Ada yang dinamakan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum KUHP ini adalah hukum pidana materiil sementara hukum formilnya itu adalah hukum Acara Pidana. Seharusnya hukum KUHP yang terlebih dahulu disahkan lalu hukum Acara Pidana, namun hukum Acara Pidana ini telah disahkan sejak tahun 1981 dan hukum KUHP baru saja disahkan tahun ini. Meskipun pembuatan undang-undang saat akan disahkan dianggap telah sempurna, tetapi akan muncul berbagai kekurangan setelah undang-undang itu disahkan. Di dalam hukum kita mengenal adagium yang mengatakan “Het recht hink achter de feiten aan” yang berarti kadang hukum tertatih mengikuti perkembangan masyarakat, karena hukum bersifat kaku.

Seberapa rentan mahasiswa terjerat dengan pasal-pasal yang dinilai dapat mengkriminalisasi?
Ada yang mengatakan bahwa hukum itu harus bersifat general, jadi setiap undang-undang yang ada akan berlaku kepada semua masyarakat, bukan hanya mahasiswa. Di dalam KUHP, ada asas teritorial yang mengatakan bahwa hukum pidana berlaku kepada semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia, kecuali yang mendapat hak kekebalan misalnya kedutaan-kedutaan besar.

Bagaimana anda menilai pasal 256 tentang demonstrasi tanpa pemberitahuan, apakah hal itu dapat membelenggu kebebasan berpendapat mahasiswa?
Sebenarnya demonstrasi itu merupakan hak berekspresi dari masyarakat. Salah satu Declaration of Human Rights adalah hak untuk berekspresi, itu merupakan suatu hak asasi yang tidak boleh dihalangi untuk menyampaikan pendapat dan dalam undang-undang kita hal tersebut sudah sangat jelas.

Bagaimana tanggapan anda terhadap pasal penghinaan kepada presiden dan lembaga negara dengan tidak dijelaskannya batasan yang membedakan antara kritik dengan penghinaan?
Itu sudah pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghinaan itu. Ada yang mengatakan bahwa kekuasaan itu cenderung korup, jadi harus dikawal dan dikritik. Jika tidak, itu akan sangat berbahaya karena nanti negara kita akan menjadi negara otoriter. Jadi, penyampaian pendapat dan kritik merupakan sebuah keharusan, karena kritik itu tidak bisa dihindari. Itulah sebabnya MK sudah mencabutnya. Namun, setelah KUHP disahkan, di dalamnya masih termuat pasal yang sudah dicabut tersebut. Itu artinya seyogianya pembuat undang-undang pada saat penyusunannya tetap mengindahkan putusan MK.

Banyak masyarakat menolak KUHP, apa jalan yang bisa ditempuh untuk mengatasi pasal-pasal bermasalah tersebut?
Satu-satunya jalan yaitu melakukan gugatan ke MK. Tidak ada suatu peraturan perundang-undangan yang sempurna. Kadang di suatu negara ada segelintir orang atau kelompok orang yang seolah-olah ingin memperbaharui kebijakan-kebijakan atau pembuatan peraturan-peraturan dan pemerintah.

Bagaimana sistem pemberlakuan KUHP setelah disahkan sedangkan di sisi lain banyak pihak yang menolak?
Ada masa transisi, yang di mana akan ada waktu selama tiga tahun untuk sosialisasi. Tapi bukan berarti kita tidak bisa lagi melakukan perubahan-perubahan. Yang kita harapkan adalah bagaimana hakim betul-betul bisa melakukan penegakan hukum yang tidak sekadar sebagai terompet undang-undang, hanya menyampaikan apa yang tersurat dalam undang-undang tersebut, tetapi bagaimana dia menginterpretasikan norma-norma itu sehingga sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat kita.

Reporter: Muhammad Fikri Haikal & Christiani Jessica