Makassar, Estetika – Aliansi Rakyat Miskin Kota menggelar aksi demontrasi di Pertigaan Jalan A.P. Pettarani, Kamis (7/3).

Mengangkat “Turunkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI)” sebagai grand isu, aksi ini menuntut pemerintah untuk mengevaluasi fungsi DPR RI, menolak penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden, menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), menuntaskan segala bentuk kejahatan manusia, berhenti memupuk hutang negara, serta memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) bukan solusi.

Aksi tersebut diwarnai dengan tindakan represif aparat kepolisian mulai dari pembubaran hingga pemukulan massa aksi.

Kericuhan berawal saat massa yang terdiri dari 100 orang melakukan pemblokiran jalan. Aksi tarik-menarik ban pun tidak bisa dielakkan antara aparat kepolisian dengan massa.

Diketahui salah seorang massa aksi yang berasal dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik Universitas Islam Makassar (UIM) mendapat perlakuan tak layak dari aparat kepolisian. Akibatnya, ia menderita luka-luka seperti lebam di wajah disertai bibir dan kulit kepala yang berdarah.

Agus Umar Dani, Korlap Organ Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, menyebutkan bahwa isu utama yang diangkat berdasarkan pada kondisi memprihatinkan dari masyarakat saat ini, disebabkan oleh tidak baiknya lembaga legislatif dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya.

“Isu ini berbeda dari isu aksi sebelumnya. Banyaknya persoalan yang mencekik masyarakat disebabkan lembaga legislatif tidak maksimal dalam mengerjakan tugasnya,” ungkapnya.

Di sisi lain, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Cabang Makassar, Akbar, menuturkan bahwa tidak ada pembenaran terhadap aparat yang memukuli peserta aksi karena polisi harusnya mengayomi dan bersikap humanis sebagaimana slogannya.

“Apapun alasannya, aparat tidak pernah dibenarkan memukuli peserta aksi. Kami kira, slogan polisi mengayomi dan humanis perlu dikritisi kembali,” tuturnya.

Akbar juga mengutarakan bahwa tindakan represif yang terjadi akan berpengaruh pada kualitas demokrasi dengan kehadiran polisi yang dipandang dapat menakuti warga sipil untuk menyuarakan aspirasi di depan umum.

“Tindakan represif yang membabi buta tentu akan berefek pada kualitas demokrasi. Pada akhirnya, polisi hadir menakut-nakuti sipil untuk menyampaikan pendapatnya di depan umum,” ujarnya.

Reporter: Ahmad Ardiansyah & Aulia Ulva