Kalau kau mau tahu bagaimana rasanya lebaran di kota, bersama keluarga, tentu saya akan menjawab “Rasanya sangat berbeda ketika saya bersama keluarga merayakannya di kampung”. Saya hanya ingin mengatakan, lebaran di kota tidak seasik yang kau kira. Kau hanya menyaksikan senyum formalitas dari orang-orang yang individualis. Saya mengatakan seperti ini karena saya kalah dalam beradaptasi di lingkungan kota.

Romantisme masa lalu mungkin salah satu hal yang membuat saya kalah dalam adaptasi. Yah sewaktu saya bocah tepat di Hari Raya, saya mempunyai tiga sampai lima kekawan yang kutemui secara tidak sengaja di jalan, namun kami saling mengetahui bahwa kami mempunyai tujuan yang sama yaitu masiara. Di kota, anak-anak sangat sulit menunjukkan kegigihannya dalam masiara, mereka terpenjara oleh pagar-pagar rumah yang tinggi dan lebih banyak menemukan rumah-rumah yang kosong dibanding rumah yang pintunya terbuka lebar.

Masiara adalah salah satu agenda wajib di Hari Raya. Bagi keluarga yang satu wajib untuk mengunjungi keluarga yang lainnya atau bahkan saling mengunjungi. Tradisi seperti ini dijunjung tinggi di desa dan tak sedikit juga di kota.

Dulu, di desa, kami mempunyai berbagai strategi untuk melumpuhkan para orang tua yang pada dasarnya tidak kami kenali, namun atas dasar budaya masiara tentu kami tidak malu mendatangi rumah mereka dan tidak angkat kaki dari rumah sebelum kami diberikan uang. Kejadian yang biasa kami temui juga terjadi. Orang tua di desa atau bahkan orang dewasa pilih kasih dalam memberikan uang. Sengaja atau tidak namun hal itulah yang memicu kami anak kecil yang suci ini saling bertengkar satu sama lain di Hari Raya. Kami sewaktu bocah selalu ingin melihat keadilan “Apabila si A dapat 5 ribu dan si B dapat 2 ribu. Si A harus merelakan uangnya 3 ribu untuk dibelikan air minum atau kerupuk di perjalanan mencari rezeki.”

Tentunya, strategi orang dewasa yang busuk dalam pemberian uang bisa kami atasi dan selesaikan, meskipun bertengkar adalah salah satu cara menuju keadilan. Orang-orang dewasa tidak mengetahui janji suci kami anak kecil sewaktu Hari Raya. Tidak hanya itu, kami berlomba-lomba memasuki rumah ke rumah sebelum matahari berada diatas kepala kami. Sederhana saja, ketika siang hari orang tua dan dewasa di rumah mempunyai alasan yang masuk akal; sudah kehabisan uang dan hanya menyajikan burasa dan seperangkat lauk lainnya yang menyiksa kami secara tidak langsung karena perut kami sudah tidak mampu menampung makanan dari rumah ke rumah.

Adapula orang tua yang tidak mengizinkan anaknya ikut dengan kami. Mereka menganggap masiara ke rumah-rumah yang tidak dikenal membuat mereka malu. Padahal, sungguh kami anak kecil hanya ingin bertualang. Masiara adalah salah satu dari sekian banyak kesenangan kami.

Di kota dan mungkin di desa saat ini, entah masih ada anak kecil seperti yang diatas. Saya hanya ingin mengatakan lebaran di kota tidak seasik yang kau kira.

Oh yah satu lagi, Selamat merayakan Idulfitri dan Kenaikan Isa Almasih. Semoga semua makhluk di dunia turut berbahagia.

Ayatullah Patullah, Mahasiswa Sastra Indonesia angakatan 2017 yang sudah ingin meninggalkan kampus ungu dengan status S.S

Jadikan buku dan pena sebagai senjata paling ampuh melawan kebodohan

*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis sebagaimana yang tertera. Tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Estetikapers.com