Makassar, Estetika Ruang Ketemu merupakan gerakan yang bergerak dalam bidang Literasi. Selain itu, Ruang Ketemu juga memiliki Lapak Baca yang digelar sekali setiap pekan dengan memadukan kelas-kelas kreatif. Siang hari, Kamis (19/10), Ruang Ketemu menghadirkan Faisal Oddang dalam bincang buku di Warkop Makateks Institute (MI) Jl. Daeng Tata Raya. Nurasiyah sendiri, selaku Founder Ruang Ketemu bertindak sebagai moderator. Faisal Oddang (24) adalah seorang penulis yang namanya tidak asing lagi bagi mereka para pecinta sastra. Setelah sebelumnya ia selalu tampil dengan rambut panjangnya, di Ruang Ketemu ia muncul dengan penampilan barunya, yakni rambut dengan potongan pendek.

Pria kelahiran Wajo ini beberapa waktu lalu baru saja menerbitkan buku puisi “Manurung”. Buku tersebut merupakan buku ketiga yang ia rilis. Buku ini pertama kalinya ia perbincangkan ke khalayak di kegiatan Ruang Ketemu. Faisal mengungkapkan awal dari penulisan buku ini diluar dari perencanaannya. Tahun 2016 ia menjadi salah seorang yang terpilih untuk mengikuti Residensi Penulis yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Di kegiatan tersebut ia memutuskan meneliti naskah La Galigo di Negeri Kincir Angin Belanda. Naskah La Galigo sendiri termasuk naskah kolosal terpanjang yang ditulis pada abad ke 13-15.

Suasana Bincang buku puisi terbaru Faisal Oddang berjudul “Manurung” di Warkop MI, Kamis (19/10). Foto :Rahayuqadriah/estetikapers

Buku puisi “Manurung” merupakan respon karya sastra yang ditulis oleh Faisal Oddang ditengah kesibukannya menggarap novel. Di dalam responsi karya sastra terkait naskah La Galigo sebelum-sebelumnya, Faisal merasa masih ada beberapa hal yang menyisakan lubang kosong. Ia mengungkapkan bahwa naskah LaGaligo hanya ditujukan untuk orang-orang Istana tanpa melihat sisi lain dari naskah, yakni penderitaan budak pada masa itu.

“Buku ini hadir untuk mengungkap sisi lain dari La Galigo yang jarang diperbincangkan, seperti contohnya tokoh Sawerigading yang membantai para budak. Saya tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi saat itu dan saya ingin memberi suara kepada orang yang tidak disuarakan (budak),” ujarnya ditengah bincang buku.

Faisal Oddang mengatakan “Manurung” sendiri memiliki arti orang-orang atau benda-benda yang turun dari langit. Ditengah perbincangan hangat bukunya, para peserta sangat antusias untuk mengajukan pertanyaan. Salah satu peserta wanita dari komunitas literasi Barru mempertanyakan mengapa Faisal Oddang tetap menerbitkan bukunya ketika ia tahu bahwa saat ini puisi sedikit pembacanya.

“Meskipun saya sadar bagaimana minat baca karya sastra (baca: buku puisi) di Indonesia saat ini tapi kalau saya menunggu menerbitkan buku sampai banyak pembaca puisi, buku ini tidak akan terbit. Gagasan saya harus lahir seperti ini (Baca: Buku) terserah mau laris atau tidak, itu urusan belakang,” jawabnya.

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin (Unhas) ini juga mengaku bahwa kesulitan yang dihadapinya ada pada pencarian data dikarenakan Manurung hadir sebagai buku dengan sudut pandang yang berbeda.

“Memang sih banyakmi yang menulis tentang La Galigo tapi kan Manurung ini hadir dalam sudut pandang yang berbeda, jadi data-dataku benar-benar harus kuat,” tambahnya.

Reporter: Nur Amalia Amir