Makassar, Estetika – Biro Kegiatan Mahasiswa Jurusan (BMKJ) Bengkel Sastra (Bestra) Dewan Mahasiswa (Dema) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM), mengadakan Talkshow film Melawan Takdir di Panggung Dg. Pamatte FBS UNM, Parangtambung, Kamis (26/4).

Talkshow yang menghadirkan Wildan Noumeiru selaku Co Sutradara, Ishak Iskandar selaku Director of Photography, dan beberapa aktor pemeran film lainnya ini bertujuan untuk memenuhi mata kuliah pengantar ilmu film Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia (Sasindo), sekaligus mengadakan sosialisasi mengenai film tersebut. Namun, sang aktor utama, Zulkifli Suardi berhalangan hadir pada kesempatan ini.

 

Suasana Talkshow film Melawan Takdir di Panggung Dg. Pamatte, Kamis (26/4). Foto: Meghan Yuanisah/estetikapers.

Talkshow ini dibuka pada pukul 14:56 Wita dengan sambutan dan pemutaran cuplikan serta behind the scene film Melawan Takdir.

Wildan Noumeiru, selaku Co sutradara film, mengatakan bahwa film ini berbeda dengan film lainnya.

“Film ini telah bersaing dengan banyak film layar lebar lain tapi saya bangga film ini bisa berbeda dari film lain karena tidak menggunakan musik sama sekali dan rencana akan didaftarkan dalam rekor muri,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan sisi menarik dari film Melawan Takdir seperti penokohannya.

“Salah satu yang membuat film ini unik yaitu tokoh imaginer bernama Kandacong. Tokoh ini tidak ada dalam novel tapi dibuatkan peran dalam film,” ungkapnya.

Dalam talkshow ini, Ishak Iskandar, selaku Director of Photography, mengungkapkan hal yang berkesan selama pembuatan film.

“Yang paling mengesankan dari pembuatan film ini yaitu komunikasi para pemain. Selain itu, dalam menangani pemeran anak kecil, kita sebagai kru harus bersikap lembut dan sabar,” ujarnya.

Rostan Yuniardi, selaku mahasiswa Prodi Sasindo, menyampaikan pendapatnya mengenai film Melawan Takdir. Menurutnya, ada beberapa kesalahan dalam film ini, seperti pemakaian benda yang tidak sejalan dengan latar waktu.

“Ada beberapa kesalahan dalam film ini. Salah satunya ialah adanya pemeran yang menggunakan behel atau kawat gigi, padahal film ini berlatar tahun 1997 dimana belum ada behel pada masa itu. Selain itu ada beberapa dialog asing yang terlalu dipaksakan,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan apresiasinya terhadap film Melawan Takdir.

“Namun demikian, saya sangat mengapresiasi film ini karena Makassar juga bisa memproduksi sebuah film bertema budaya. Karena sejak dulu sentral perfilman Indonesia hanya di Jakarta,” tutupnya.

Reporter: AM 1 ESTETIKA