Parangtambung, Estetika – Terungkapnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Estetika FBS UNM pada 5 September 2021 lalu, telah mendapat respon dari berbagai kalangan masyarakat. Untuk mewadahi suara pembaca yang turut mengikuti perkembangan kasus ini agar dapat tersampaikan kembali ke publik, LPM Estetika kembali mengadakan survei mengenai tanggapan dan pandangan masyarakat umum terhadap kasus pelecehan seksual yang terjadi di UNM.

Survei ini dilaksanakan selama delapan hari, terhitung sejak Jumat (10/9) hingga Sabtu (18/9) lalu dan dilaksanakan dengan menyebarkan kuesioner Google Form. Adapun responden berjumlah 141 yang berasal dari berbagai mahasiswa program studi, fakultas, universitas, pengurus Lembaga Kemahasiswaan (LK), alumni, serta orang tua dari mahasiswa.

Tulisan panjang dengan judul “Kronologi Pelecehan Seksual, UNM Butuh SOP?” menuai beragam kritikan dari masyarakat umum terhadap pihak-pihak yang dianggap memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengurus kasus ini. Pembaca berharap kasus ini diusut sampai tuntas sehingga pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.

Sebanyak 86,5% Responden Menilai Pelaku Kekerasan Seksual Tidak Mendapatkan Sanksi yang Tepat

Kasus ini menimbulkan beragam reaksi pembaca. Marah, kesal, sedih, dan berbagai emosi lainnya sepertinya cukup mewakili perasaan pembaca yang peduli. Tak heran ia juga dijuluki sebagai kasus dengan iceberg phenomenon (fenomena gunung es). Menurut survei, perolehan persentasi terbanyak diraih responden yang mengaku jarang mendengar kasus pelecehan seksual, yakni 61,7% atau 87 responden. Sedangkan bagi yang sering mendengar kasus pelecehan seksual terjadi dan tidak pernah mendengar kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan FBS UNM, masing-masing sebanyak 18,4% atau 26 responden, dan hanya 1,4% atau 2 responden yang selalu mendengar kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan FBS UNM.

Sebelumnya, LPM Estetika menemukan 38 kasus pelecehan seksual di lingkungan FBS UNM, angka yang seharusnya terhitung banyak dalam lingkup satu fakultas saja, belum jika se-universitas pun turut ditelusuri. Dapat dipastikan bahwa 38 kasus itu belum terbongkar semua. Dari pertanyaan mengenai transparansi terkait kasus pelecehan seksual yang terjadi di FBS UNM, menghasilkan 48,9% atau 64 responden memilih sebagian kasus pelecehan seksual yang terjadi di FBS UNM belum terungkap, 29,1% atau 41 responden memilih kasus pelecehan seksual tidak sama sekali transparan, 18,4% atau 26 responden memilih sebagian kasus besar sudah terungkap, dan 3,5% atau 5 responden memilih iya bahwa kasus pelecehan seksual yang terjadi di FBS UNM sudah transparan.

Salah seorang responden dengan inisial AS, mempertanyakan tindak lanjut kasus, serta peranan kampus dalam menangani kasus yang baru-baru dan yang telah lama terjadi.

“Bagaimana kasus sebelumnya? Yang dulu-dulu itu tidak mungkin langsung hilang. Apakah bisa yakin 100% kalau cuman kasus iniji yang didapat?,” singkatnya.

Baca juga:

Dekan FBS UNM Tetapkan Skorsing Dosen Pelaku Pelecehan Seksual dan Alihan PA 59 Mahasiswa

Wansus BEM FBS UNM, Tetapkan SOP Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Terkait kasus yang terungkap beberapa pekan yang lalu, kami menanyakan apakah sanksi yang diberikan kepada pelaku sudah tepat atau tidak. Respon pembaca adalah 86,5% atau 122 responden memilih tidak dan 13,5% atau 19 responden memilih ya.

Kami mewawancarai beberapa responden mengenai alasan mereka menilai bahwa sanksi ke pelaku belum tepat. Semuanya berpikir bahwa sanksi yang diberikan terlalu ringan untuk kasus pelecehan seksual, sehingga dianggap tidak setimpal. Salah satunya adalah Helvi Sari, mahasiswa angkatan 2016 yang membandingkan sanksi antara dosen pelaku pelecehan seksual dan dosen yang memperjualbelikan buku.

“Awalnya saya pikir bapak itu (oknum dosen pelaku pelecehan seksual) dibebastugaskan untuk seterusnya, ternyata cuman satu semester yah, seperti liburan saja. Apalagi kalau dibandingkan dengan kasus-kasus di kampus, yang jual buku dikeluarkan dan yang memukul juga dikeluarkan, lalu untuk ini? Seolah-olah kasus ini adalah hal yang baik-baik saja, tidak apa-apa terus-terusan terjadi,” jelasnya.

Selain itu, ia juga mengkritik penggunaan kata pada surat permintaan maaf pelaku yang dilakukan oleh mahasiswa.

“Tidak ada efek jera kalau cuman permintaan maaf. Semua orang bisa buat surat permohonan maaf, apalagi dengan redaksi kata yang sesantai itu. Di kepala saya pas baca ‘hah sekedar itu? Apa-apaan pula ini?’ si bapak dan si Yoyo katanya masih bebas-bebas aja tuh,” lanjutnya.

Berdasarkan hal tersebut, ternyata pembaca menilai bahwa kasus kekerasan seksual tidak ditangani dengan baik. Kami menemukan sebanyak 48,2% atau 68 responden mengaku tidak ada satupun kasus yang ditangani dengan baik, 36,9% atau 52 responden memilih beberapa kasus tidak ditangani dengan baik, 12,8% atau 18 responden memilih beberapa kasus sudah ditangani dengan baik, dan 2,1% atau 3 responden memilih semua kasus ditangani dengan baik.

Bahkan orang tua mahasiswa pun turut berkomentar. Salah satunya Erni yang merasa cemas menitipkan anaknya jika kasus ini tidak ditindak tegas.

“Terjadi di lembaga pendidikan dan dilakukan oleh oknum senior dan dosen sendiri. Tolong tindak tegas tanpa pandang bulu. Semua sudah jelas, ada beberapa korban, ada pelaku, dan tempat kejadian jelas, semua di depan mata. Jika tidak ditindak, kami selaku orang tua jadi cemas menitipkan anak kami, bisa menurunkan minat calon mahasiswa juga,” terangnya.

Di sisi lain, salah seorang responden, Hanin, mengaku cukup percaya kepada LK kampus dalam menangani kasus pelecehan seksual dibandingkan kepada pihak birokrasi.

“Saya percaya dengan lembaga kampus apalagi BEM dalam menangani permasalahan ini (kasus pelecehan seksual) sampai tuntas dengan seadil-adilnya. Tapi kalau birokrasi, kurang percaya,” ungkapnya.

Kampus: Ruang Aman yang Tak Sepenuhnya Aman

Permasalahan yang tidak ditangani dengan baik, tentu menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap si pemangku wewenang. Tidak adanya Standar Operasional Pelaksana (SOP) penanganan kekerasan seksual di kampus, menyebabkan penyelesaian kasus tidak memiliki payung hukum yang sesuai. Bahkan hingga saat ini, wacana saja belum terdengar kabarnya.

Mana lagi tindak lanjut oleh Komisi Kedisiplinan (Komdis) universitas, hasil dari pelaporan oleh LK yang disetujui Dekan FBS UNM, belum tampak hilalnya. Dalam kasus pelecehan seksual, yang bertanggung jawab dalam penyelesaian kasus di ranah kampus, hasil survei menunjukkan bahwa 74,5% atau 105 responden memilih Birokrasi, 66% atau 93 responden memilih LK FBS UNM, 61% atau 86 memilih Komdis FBS UNM, dan 35, 5% atau 50 responden memilih lainnya dengan mayoritas menulis semua pihak.

Tanpa penanganan yang baik, wajar saja jika pembaca tidak memberi kepercayaan kepada pihak kampus. Hasil survei kami menunjukkan bahwa 62,4% atau 88 responden kurang percaya, 18,4% atau 26 responden percaya terhadap kampus, 17% atau 24 responden memilih tidak percaya pada kampus, dan hanya 2,1% atau 3 responden memilih sangat percaya pada kampus.

Ayunda berpendapat bahwa birokrasi adalah pihak yang paling bertanggung jawab menangani kasus ini. Namun ia kurang percaya, sebab ia menilai bahwa sanksi yang diberikan ke pelaku tidaklah memuaskan.

“Birokrasi lah yang berhak untuk menindaklanjuti, karena kita ada di ‘kampus’. Tapi kurang percaya, butuh orang yang jujur untuk kasus seperti ini karena kepercayaan itu mahal tapi sering disalahgunakan. Semoga diberikan jalan terbaik, pelaku ditobatkan, korban terobatkan. Jangan sampai pelaku atau calon pelaku apalagi mantan pelaku bisa berjalan dengan tenang di muka bumi!” seru responden kami dalam survei.

Penyelesaian masalah yang dianggap abal-abal atau terkesan hanya untuk menenangkan pihak-pihak yang menuntut keadilan saja tanpa efek yang betul-betul menjerakan pelaku dan ketidakpercayaan mahasiswa terhadap kampus, menyebabkan kampus yang seharusnya ruang aman dalam menjalankan aktivitas intelektual dengan segala identitas sebagai kaum terdidik, menjadi tidak aman lagi.

Berdasarkan survey, ditemukan hasil 61,7% atau 87 responden memilih kampus tidak aman, 22% atau 31 responden memilih kampus cukup aman, 15,6% atau 22 responden memilih kampus sangat tidak aman, dan 0,7% atau 1 responden memilih kampus aman untuk mengatasi pelecehan seksual.

Pemberian sanksi yang setimpal dengan perbuatan para pelaku adalah sesuatu yang saat ini sangat digaungkan keras oleh seluruh pembaca. Kampus bukan hanya sebuah tempat yang orang-orang datangi kemudian pergi, namun kampus telah menjadi sebuah rumah untuk seluruh mahasiswa yang mengenyam pendidikan.

Setelah kejadian ini terungkap dan dilakukan oleh oknum yang dipercaya untuk mendidik dan melindungi, bagaimana bisa kampus dikatakan aman untuk mahasiswa?

Salma misalnya, responden kami yang berusaha menempatkan perspektifnya di posisi penyintas. Dengan melihat kronologi penyelesaian kasus baru-baru ini membuatnya tidak percaya dan ragu untuk mengadukan tindakan kekerasan seksual jika suatu saat ia melihat kejadian itu terulang lagi. Selain mempertaruhkan harga diri dan rasa malu yang ia pikul dari judgement orang lain ketika ia melapor, juga pemberian sanksi yang tidak tepat dapat terulang lagi.

“Saya menempatkan diri pada situasi yang dialami korban. Saya memilih tidak percaya karena saya menganggap walaupun saya melapor, pelaku tetap tidak diberikan hukuman yang sesuai dengan yang saya harapkan. Berhubung kemarin hasil rapat hanya dihukum berhenti mengajar satu semester untuk oknum dosen dan untuk pelaku yang merupakan mahasiswa bentuk permintaan maafnya bukan melalui video,” ungkap mahasiswi angkatan 2019 tersebut.

Di sisi lain, pembaca berharap ada keadilan untuk segala kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di FBS UNM.

“Harapan saya, semoga pelaku bisa mendapatkan hukuman yang bikin kapok walaupun menurut saya tak ada hukuman yang setimpal jika menyangkut apa yang menjadi kenangan traumatis bagi mereka. Korban diberikan perlindungan maksimal, termasuk psikisnya, semaksimal mungkin menghindarkan mereka akan rasa tertekan. Sebagai bahan penguatan pembelaan, korban diberikan ruang senyaman mungkin untuk bercerita. Semoga ada keadilan,” harap responden kami, Afdhaliah.

Hingga saat ini, kekerasan dan pelecehan seksual masih marak terjadi di kampus dan belum ada kepastian mengenai SOP yang dapat menjadi payung hukum penyintas. Pelaku kekerasan dan pelecehan seksual harus ditangani dan diberi sanksi yang sesuai agar meminimalisir terciptanya pelaku-pelaku lainnya lewat hukuman yang setimpal.

Reporter: Tim Estetika