Makassar, Estetika – Kabar baik datang kepada semua kalangan yang tidak henti-hentinya menyuarakan keadilan bagi seluruh korban pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia (RI) tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi akhirnya terbit jua yang file salinannya sudah tersebar di media sosial sejak Selasa (26/10) kemarin.

Permendikbudristek dengan nomor 30 tahun 2021 yang ditetapkan di Jakarta oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 serta diundangkan pada 3 September 2021 tersebut berisi 9 BAB dan 58 pasal yang memuat hal-hal berikut:

  1. ketentuan umum membahas tentang definisi, tujuan, prinsip, sasaran, dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam Permendikbudristek;
  2. pencegahan yang dilakukan oleh perguruan tinggi, pendidik dan tenaga kependidikan, dan mahasiswa;
  3. penanganan yang terdiri atas pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban;
  4. pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pencegahan dan penangan kekerasan seksual;
  5. mekanisme penanganan kekerasan seksual oleh Satgas;
  6. pemeriksaan ulang;
  7. hak korban dan saksi;
  8. pemantauan evaluasi; dan
  9. ketentuan penutup.

Keputusan tersebut tak lepas dari perjuangan korban dan seluruh pihak yang berani membela korban. Namun, terbitnya peraturan ini bukanlah akhir dari perjuangan. Kita memasuki tahap yang lebih penting dan genting, yaitu penerapannya di setiap perguruan tinggi.

Setelah membaca Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 secara menyeluruh, Redaksi LPM Estetika merangkum catatan penting untuk perguruan tinggi dengan penjabaran di bawah ini.

Libatkan Mahasiswa dalam Pembentukan dan Keanggotaan Satgas

Ada yang perlu mendapatkan poin plus dalam Permendikbudristek ini, yaitu pada BAB IV dijelaskan bahwa dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, diperlukan adanya satgas yang dibentuk pertama kali melalui pantia seleksi.

Panitia seleksi yang dimaksud berjumlah ganjil paling sedikit tiga dan paling banyak tujuh dengan jumlah perempuan lebih banyak atau 2/3 dari jumlah keseluruhan.

Menariknya, dalam penentuan panitia seleksi adalah tidak hanya merupakan bagian dari pendidik atau tenaga pendidik, melainkan juga melibatkan mahasiswa. Panitia seleksi inilah yang nantinya akan merekomendasikan calon anggota Satgas.

Anggota Satgas sendiri berjumlah gasal paling sedikit 5 orang dengan 2/3 perempuan. Keanggotaan yang dimaksud pada pasal 27 ayat 2 poin c ini, dihuni oleh golongan mahasiswa paling sedikit 50 persen dari total seluruh anggota.

Baik panitia seleksi maupun anggota Satgas, semuanya harus memenuhi syarat yang telah ditentukan, seperti pernah mendampingi korban, mengadakan kajian kesetaraan gender atau pelecehan seksual, dan tidak pernah melakukan pelecehan dan kekerasan seksual.

Jika peraturan ini diterapkan, maka komunikasi antara mahasiswa dan pihak kampus seharusnya dapat terjalin dengan mudah.

Membuat Kebijakan Dalam Menindaklanjuti Pelecehan dan Kekerasan Seksual Berspektif Korban

Permendikbudristek ini merupakan pedoman bagi perguruan tinggi dalam menyusun kebijakan untuk menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dengan menganut prinsip kesetaraan gender, keberpihakan pada korban, dan independen yang berarti tidak dapat diintervensi oleh pihak mana pun.

Karena peraturan ini berprinsip pada kepentingan korban, maka perguruan tinggi wajib menjamin perlindungan, pemulihan, dan hak-hak yang korban perlu dapatkan.

Dengan kata lain, dalam penanganannya tidak menyalahkan korban, tidak menyudutkan korban, dan tidak mewajarkan perilaku pelaku.

Perlindungan yang korban dapatkan, yaitu jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa, sedangkan pendidik dan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang bersangkutan tentang keberlanjutan pekerjaan.

Selain itu, perlindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan.

Mengenai pemulihan korban kekerasan seksual dilakukan dengan beberapa cara, yakni tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologis, dan bimbingan sosial dengan melibatkan dokter atau tenaga kesehatan lain, konselor, psikologi, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pendampingan lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan korban penyandang disabilitas.

Sanksi-Sanksi Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus

Sebelum menerapkan peraturan, ada niat yang harus dibentuk dengan sungguh-sungguh. Para pimpinan perguruan tinggi perlu membaca laporan-laporan kasus kekerasan seksual yang disajikan oleh berbagai media pers mahasiswa dengan menggunakan hati nurani sebagai manusia dan mengesampingkan ego nama baik kampus.

Dengan begitu, diharapkan kampus dapat memberikan hukuman seadil-adilnya kepada pelaku atas rasa empati terhadap dampak yang dialami para korban.

Pelaku yang sudah ditetapkan bersalah oleh pemimpin perguruan tinggi atas rekomendasi Satgas, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kasus ringan, sedang dan berat. Sanksi yang diatur dalam Permendikbudristek tersebut berupa pengenaan sanksi administratif.

Sanksi ringan berupa teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Jika menilik kasus-kasus sebelumnya, korban meminta pengakuan dan permohonan maaf pelaku melalui media sosial yang dapat disaksikan semua orang.

Untuk kasus sedang, pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan. Jika pelaku merupakan mahasiswa, maka sanksinya adalah pengurangan hak sebagai mahasiswa berupa skorsing, pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lain. Sedangkan kasus berat diberi sanksi pemberhentian tetap.

*

Keterlibatan mahasiswa dalam menangani kekerasan seksual perlu digunakan sebaik mungkin sebagai tanggung jawab dan peran mahasiswa dalam bersikap. Semua pihak harus turut andil dalam mengawasi pengimplementasian peraturan ini, mulai dari pembentukan satgas hingga pemberian sanksi kepada pelaku dan jaminan kejadian tidak akan terulang lagi.

Terkhusus perguruan tinggi di mana pun berada, perlu memahami dan segera mungkin menindaklanjuti peraturan ini. Jika tidak, Redaksi LPM Estetika kembali menyarankan untuk membaca pasal 19 berikut, yang jika dilanggar akan lebih memperburuk citra kampus.

“Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi; dan/atau
b. penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi.”

Oleh karena itu, mari bersama-sama mengawal kampus agar segera membuat peraturan dalam kampus sendiri dengan mengikuti pedoman Permendikbudristek, melakukan tindak pencegahan dan upaya menciptakan ruang aman bagi korban untuk bersuara, dan tindaklanjuti kasus kekerasan seksual yang telah terjadi.

Untuk salinan file Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 dapat diakses melalui link: https://jdih.kemdikbud.go.id/sjdih/siperpu/dokumen/salinan/salinan_20211025_095433_Salinan_Permen%2030%20Tahun%202021%20tentang%20Kekerasan%20Seksual%20fix.pdf

Reporter: Tim Redaksi LPM Estetika