Parangtambung, Estetika – Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) mengadakan diskusi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang telah disahkan via Google Meet, Minggu (18/12).

Mengangkat tema “Kontroversial RUU KUHP”, diskusi ini membahas kontroversi sejumlah Pasal KUHP yang dianggap dapat menimbulkan keresahan dan merugikan masyarakat dengan menghadirkan Salman Aziz sebagai pemantik pertama dan Andi Rahmi Utami sebagai pemantik kedua.

Adapun sejumlah Pasal KHUP yang dianggap kontroversial meliputi, Pasal 256 mengenai ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan, Pasal 263 mengenai penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong, Pasal 218 mengenai kritik kepada Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 yang berisi tentang hukum pidana penghinaan pemerintah dan lembaga negara, Pasal 603 mengenai hukuman koruptor yang diturunkan, Pasal 411 dan 412 mengenai perzinaan dan kumpul kebo, serta Pasal 188 mengenai penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Suasana saat berlangsungnya diskusi RUU KUHP oleh HMJ Bahasa Inggris FBS UNM via Google Meet, Minggu (18/12). Foto: Tangkapan layar/Estetikapers.

Pemantik pertama, Salman Aziz, menjelaskan bahwa Pasal 263 KUHP dapat mengancam kebebasan pers sebab sengketa jurnalis yang harusnya ditangani oleh dewan pers justru dibawa ke ranah pidana.

“Sengketa jurnalis seharusnya diselesaikan di dewan pers. Pasal karet ini bisa mengancam kebebasan pers,” jelasnya.

Di sisi lain, pemantik kedua, Andi Rahmi Utami, menuturkan bahwa Pasal 240 KUHP tentang penghinaan berpotensi menjadi masalah dalam menyampaikan kritik di media sosial.

Menurutnya, kritik dapat dianggap sebagai penghinaan sehingga ketika seseorang menyuarakan pendapatnya melalui media sosial, rawan terjerat pasal tersebut.

“Penghinaan itu sulit dibedakan dengan kritik, bisa saja saat kita mengkritik, tetapi dianggap sebagai penghinaan sehingga aspirasi lewat media sosial tentu sangat rawan terjerat pasal ini,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa mahasiswa bahasa dapat menjadi saksi ahli untuk menentukan apakah ujaran yang dilontarkan oleh seseorang merupakan bentuk penghinaan, pencemaran nama baik, atau menyerang kehormatan harkat dan martabat.

“Mahasiswa lulusan bahasa atau linguistik bisa menjadi saksi ahli dan menentukan apakah ujaran seseorang termasuk dalam salah satu bentuk penghinaan,” terangnya.

Reporter: Nur Intan Zahgita Hariadi