Opini

SUATU HARI DI PARANG TAMBUNG

Waktu berjalan begitu cepat, secepat menghilangnya satu per satu teman seperjuangan. Atau begitu lambat, selambat kami menyelesaikan perkara gelar sarjana strata satu. Namun yang pasti, waktu telah menghukum saya begitu istimewa, memberi kesempatan pada pecundang dungu ini untuk merenung dan menyesal.

Suatu hari di Parang Tambung, dunia kampus terbuka lebar siap menelan siapa saja yang larut. Ada beberapa teman yang layak untuk disebut teman. Mereka sangat beragam, misalnya, yang selalu menyisihkan sebatang rokok untukmu, yang selalu meminjamkan motornya, yang selalu membuat gusar, suka membuat onar dan banyak bicara. Diantara mereka banyak yang memilih jalan lain, menarik air matanya yang pernah tumpah di arus sungai. Yang nyata hari ini tidak akan nyata besok. Mereka (teman saya) adalah cerita panjang yang tidak akan pernah terselesaikan oleh mata maupun jari-jemari.

Suatu hari itu rupanya tak ubahnya dengan hari selanjutnya. Di Parang Tambung, ada banyak kisah dan masih terus berlanjut menulis dirinya. Sederhananya, suatu hari di Parang Tambung adalah sesuatu yang tidak akan pernah mampu diceritakan oleh Makassar dan Jakarta. Dan saya, yang berongga dada seorang lelaki dungu ini hanya mampu menyimpan potongan-potongan kecilnya.

Ada hari dimana selain teman-teman saya yang rumit, selalu ada muda-mudi yang asyik nian memutuskan tali cintanya dan berpesta merayakan keputusan cintanya. Ada juga yang lebih sedikit dewasa, mereka asyik nian saling melempar rasa benci dan besi. Dan yang sudah hampir tua, doyan mengecilkan suara, menggemukan perut. Yang paling pedih di Parang Tambung adalah ia yang pendiam selalu mengajarkan kita tentang bagaimana mempersiapkan diri untuk sebuah kehilangan.

CINTA

Suatu hari di Parang Tambung, tidak ada cinta. Tetapi kebutuhan orang-orang akan hadirnya cinta seakan membuat cinta itu benar-benar ada, yang sebenarnya adalah kekosongan belaka. Orang-orang tidak tahu bahwa hari itu Parang Tambung adalah sebuah tempat tanpa jiwa, manusia di dalamnya hanyalah kertas kosong, selalu kosong dan hampa. Anak manusia berlomba-lomba mencari cinta lewat pamflet, slogan belaka, dan suara kosong. Mereka adalah pejuang ulung di depan mikrofon. Kata-katanya habis dan tidak memenangkan apa-apa. Seseorang dari mereka berkata “cinta adalah aksi ibadah.”

Parang Tambung bukan kota. Ia tidak memiliki ruang temu yang layak seperti Makassar. Ketika Makassar memiliki kedai kopi adalah tempat paling murah untuk sepasang kekasih beradu rasa cinta, Parang Tambung punya kantin kecil yang hanya sanggup menampung keluhan kebencian dengan menyuguhkan kekosongan yang harganya jauh melambung dari kedai kopi Makassar. Parang Tambung tidak pernah benar-benar serius membangun kesempatan untuk cinta. Di sinilah, pasti, kesendirian orang-orang yang katanya lelah berjuang.

Parang Tambung terus mencari cinta. Ketika sedikit paham, lantas berjuang keras menjadikan sebagai komoditas. Mereka berbondong-bondong mengimpor bibit cinta dari Makassar dan Jakarta, tetapi hatinya tidak digemburkan sehingga yang mulanya kosong kini semakin hampa dan tandus. Jika cinta di Parang Tambung telah tumbuh, maka ia telah menjelma menjadi mesin penghancur kesedihan. Jika ada cinta di Parang Tambung, maka ia hanyalah debu yang tak berakar. Ia beterbangan tanpa arah menjadi kesatuan yang lepas dari satu.

BUKU

Parang Tambung adalah perpustakaan. Ada hari dimana anak manusia berdoa dengan khusyuk-khusuknya. “Tuhan, tidak ada buku hari ini. Parang Tambung tutup.” Seorang anak yang lain─dalam doa juga─ “Tuhan, kirim buku untuk Parang Tambung kami.” Anak yang lainnya, katakanlah, ia yang paling bedebah, “Tuhan, kirim kami mata dan lidah untuk membaca-Mu.”

Parang Tambung adalah deret buku-buku yang membaca dirinya sendiri dalam kekosongan. Ia tak cukup dewasa untuk belajar menjadi pecinta buku yang agung dari Makassar, yang belajar dari Jakarta. Makassar dulu dan sekarang mogok dalam menulis dirinya. Para penulis-penulis kondangnya telah lama berhenti menulis lalu membuat sebuah tradisi literasi baru. Mereka aktif nian bersama murid-murid pilihannya, setiap subuh dan tengah malam, menumpahkan tinta pena mereka di sungai-sungai Makassar yang membuatnya nampak pekat. Seorang dari mereka berkata “Kepekatan adalah kedalaman ilmu.” Parang Tambung menutup buku, menertawakan Makassar. Makassar terus membaca kekosongan, menertawakan Jakarta.

Parang Tambung adalah perpustakan yang menutup diri dari orang-orang, benda tak berguna yang ditinggalkan oleh orang-orang. Ia dipenuhi debu pada musim kemarau yang sangat sering. Bila ada kesempatan turun hujan, maka di rak-rak Parang Tambung adalah pajangan lumpur. Tetapi orang-orang tidak peduli pada musim apapun. Suatu hari Parang Tambung membuka pintu-pintunya. Anak-anak masuk dengan kekosongan, lalu keluar membawa kebohongan dan kepala mereka yang penuh tahi laba-laba. “Kami tidak menemukan huruf di sana!”

MASA MUDA

Parang Tambung selalu muda dan tidak pernah ulang tahun. Anak-anak hanya mampu merayakan masa muda karena mereka tahu masa setelah masa muda adalah masa-masa membenci Parang Tambung. Parang Tambung hari ini dan masa muda adalah perayaan-perayaan. Misalnya, anak-anak merayakan cinta, buku, diskusi, dan demonstrasi sekalipun seolah-olah.

Masa muda Parang Tambung dihabiskan tanpa menyelesaikan apa-apa. Ketika kamu melihat hari ini, Parang Tambung sedang melukis abad-abad kesetanannya yang tak kunjung selesai dengan banyak warna. Tetapi Parang Tambung adalah masa dari segala masa. Segala makluk di dalamnya saling menguasai, Parang Tambung-lah yang mampu hidup lebih lama. Yang ia lakukan sekarang, selain melukis diri, ia juga menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak anak manusia untuk bertindak sesuka hati.

Hari ini Parang Tambung adalah bangunan pemisah antara masa lalu dan masa yang akan datang. Satu-satunya yang ia butuhkan dari balik dinding-dindingnya adalah orang-orang di dalamnya aktif berpikir dan berinovasi. “Kami adalah tubuh yang muda tetapi tanpa jiwa!” Parang Tambung seolah-olah milik mahasiswa belaka. Mereka bertindak dua kali lebih kejam setelah mengenal Parang Tambung. Dan yang pasti, orang-orang diluar gerbangnya adalah orang Makassar dan Jakarta.

Pada akhirnya, Selamat tinggal Parang Tambung!

Saya yang bedebah dan dungu ini mencoba memantapkan diri bahwa ini adalah yang terakhir. “Sudah selesai.” Setelah tulisan ini selesai, separuh diri saya telah tiba di Flores. Saya hanya akan merindukan teman-teman saya, merindukan kampus, merindukan Parang Tambung, dan tentu, saya akan bekerja keras untuk tetap mencintai mereka dari seberang lautan dan merindukan separuh diriku yang sengaja saya simpan di sudut paling diam, di Parang Tambung.

22 April 2021
Once Luliboli, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra. Universitas Negeri Makassar.

*) opini ini adalah tanggungjawab penulis sebagaimana yang tertera. Tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Estetikapers.com

Related posts

INDONESIA DARURAT BULLYING

Editor - Rada Dhe Anggel
October 16, 2022

REFORMASI KKN UNM

Editor - Rada Dhe Anggel
October 26, 2022

KURANGNYA RASA CINTA ANAK INDONESIA TERHADAP BAHASA INDONESIA

Editor Estetika
May 23, 2021
Exit mobile version