Makassar, Estetika — “Wajah yang tak bisa dilukis itu bukan sekadar pergulatan batin, tetapi simbol dari individu yang dihapus oleh norma sosial,” ucap Supratman Yusbi Yusuf dalam Kelas Sastra Bedah Karya Sastra yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Sastra Indonesia (Sasindo) Dewan Mahasiswa (Dema) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) di Ruang Studio Sastra, Jumat (10/10).
Kegiatan ini menghadirkan Direktur Penerbit Sulbaltern Supratman Yusbi Yusuf untuk membedah cerpen “Lukisan Tak Berwajah” karya Ernawati Rasyid, sebuah kisah tentang pelukis yang berusaha melukis wajah seorang anak yang tidak diakui masyarakat karena lahir di luar pernikahan, namun pelukis selalu mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya.
Pelukis itu terjebak dalam dilema moral dan sosial, di satu sisi dia ingin melukis dengan kesadaran penuh, namun di sisi lain dia dihadapkan pada realitas stigma sosial yang membuatnya ragu.

Supratman menjelaskan bahwa pergulatan batin pelukis dalam cerpen tersebut merupakan cerminan dari kenyataan sosial yang masih menyingkirkan mereka yang dianggap “tidak layak” oleh masyarakat.
Melalui karakter Maya, sosok anak di luar nikah yang menjadi subjek lukisan, cerpen ini memperlihatkan bagaimana stigma dapat menghapus keberadaan seseorang dari ruang sosial.
“Karakter Maya kehilangan pengakuan dan identitas sosial akibat tekanan masyarakat. Karya sastra seperti ini melatih kita untuk lebih peka terhadap persoalan kemanusiaan,” jelasnya.
Menurutnya, cerpen “Lukisan Tak Berwajah” bukan sekadar kisah tentang seni dan pencarian estetika, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sosial yang dilegitimasi oleh norma. Dia menegaskan bahwa karya sastra tidak pernah berdiri jauh dari realitas sosial.
“Kita mesti sepakat bahwa yang perlu dijustifikasi bukan persoalan lahir, tapi persoalan kemanusiaan,” tegas Supratman.
Cerpen ini juga menampilkan simbolisme kuat dalam adegan pelukis yang tetap membawa lukisan anak itu ke makamnya, meski sang anak telah tiada. Bagi Supratman, tindakan itu melambangkan bagaimana ketidakadilan sosial tetap mengikat bahkan hingga kematian.
“Walau telah tiada, lukisan itu tetap dibawa ke makamnya sebagai interpretasi bahwa sampai mati pun dia tidak dihargai,” jelasnya.
Selain itu, Supratman menyoroti bahwa pelukis dalam cerpen menggambarkan posisi seniman sebagai penafsir kehidupan.
Dia menilai bahwa meski masyarakat modern menganggap dirinya rasional dan profesional, kita sering gagal memahami makna kemanusiaan di balik kehidupan orang lain.
“Di kehidupan yang kita anggap profesional ini, kita masih belum bisa menginterpretasikan bagaimana kehidupan,” tutupnya.
Reporter: Athifah Putri Ramadhani