Laporan Khusus

PLAGIASI DAN PROOFREADING, ANTARA KELUHAN KAPRODI DAN PROTES MAHASISWA

Makassar, Estetika Percakapan ringkas antar dosen dan mahasiswa menyebar di dinding linimasa, hanya ada tiga pertanyaan dan tiga balasan pesan. Namun, percakapan tersebut memberi efek. Isi percakapannya seperti ini:

Penanya: Apa yang dibayar 200 ribu ini Sir?

Penjawab: Biaya Proofreading.

Penanya: Apa nakerja dosen itu Sir? Apanya dibayar?

Penjawab: Mengomentari kesalahan grammar dan jasa pelayanan perbaikan grammar.

Penanya: Beh, saya kira PA ji kemarin Sir dan gratis?

Penjawab: Iye, ini kesepakatan rapat prodi.

Hasil percakapan itu discreenshot dan tersebar beberapa waktu yang lalu di beberapa dinding media sosial mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) disertai dengan protes proofreading berbayar sebagai salah satu syarat Seminar Praktek Kerja Lapangan (PKL) mahasiswa D3 Program Studi (Prodi) Business English (BE) FBS UNM.

Proofreading merupakan proses membaca ulang kembali untuk memeriksa adanya kesalahan penulisan pada suatu dokumen tertentu. Proofreading sendiri biasa dilakukan untuk mengoreksi kesalahan ejaan dan grammar pada tugas akhir mahasiswa D3 hingga S3.

Dalam prosesnya, proofreader (Baca: Korektor) bertugas untuk membaca ulang dan mengoreksi kesalahan ejaan dan grammar pada dokumen terkait lalu dikembalikan kepada penyusun untuk memperbaiki kesalahan penulisannya.

Mahasiswa Protes Proofreading Dikenakan Biaya

e-flayer berisi kecaman mahasiswa FBS UNM terhadap Proofreading berbayar yang tersebar di media sosial. Foto: Int.

Berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini proses proofreading dikenai biaya. Jika tahun lalu mahasiswa akhir dapat memilih menggunakan jasa proofreader profesional yang berbayar atau tidak, tahun ini mahasiswa perlu membayar untuk jasa proofreading tersebut sebesar Rp. 200.000.

Dalam sebuah pengumuman yang tidak bertanggal, persoalaan proofreading memang disebut berkali-kali. Poin pertama dan kedua misalnya, menyebut pemasukan laporan PKL dan pengembalian perbaikan laporan memang harus melalui proses proofreading. Sementara di poin keempat, syarat untuk memenuhi seminar PKL mengharuskan laporan PKL telah diproofreading dengan bukti surat pernyataan telah diproofreading.

Buntut dari informasi tersebut, pada Minggu, 6 Januari 2019, protes dan kecaman semakin memanas di media sosial, salah satunya penyebaran e-flayer dengan tagar #TOLAKPROOFREADING, #BUSINESSENGLISHNOTFORBUSINESS, dan #STOPKOMERSIALISASIPENDIDIKAN dibubuhi dengan judul “Pungli Berkedok Proofreading”.

Saat protes menjamur di media sosial terkait penolakan proofreading, tim lapangan Estetika mencoba mewawancarai sebanyak mungkin narasumber. Tim lapangan Estetika menanyai hingga dua puluh mahasiswa BE yang tengah melaksanakan tahap akhir penyelesaian studi. Dari dua puluh mahasiswa yang kami hubungi, hanya empat mahasiswa yang bersedia dimintai keterangan mengenai hal ini, enam belas sisanya menolak untuk memberi keterangan atau tidak merespon.

Dari empat orang yang bersedia diwawancarai, Alifia Khusnul Khatimah, mengaku bahwa ia dan beberapa kawannya telah membayar biaya proofreading tersebut melalui salah seorang rekannya yang bertugas untuk meneruskan ke pihak Prodi.

Meski tidak setuju dengan adanya pembayaran proofreading, namun tuntutan untuk menyelesaikan studinya lebih cepat menjadi pemacu ia dan teman-temannya memilih untuk membayar biaya proofreading tersebut.

“Iya (Baca: Sudah membayar). Sebagian teman-teman yang ingin ujian cepat sudah membayar,” ungkapnya melalui aplikasi pesan Whatsapp.

Ditanyai alasannya tidak setuju dengan hal tersebut, Alifia menjelaskan bahwa adanya sistem pembayaran untuk proofreading tersebut menyalahi aturan yang ada.

Ia beranggapan bahwa aturan mengenai laporan akhir telah teratur jelas pada peraturan akademik UNM, sedangkan pembayaran biaya proofreading masih merupakan kesepakatan dosen BE tanpa diketahui mahasiswa alasan jelasnya.

Aturan yang dimaksud narasumber, terkait peraturan akademik UNM Bab VI tentang Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat yang tertuang pada pasal 27. Selain itu, pada Permenristek dikti nomor 39 tahun 2016, bab yang membahas UKT dan BKT, pasal 1 ayat 5 dan 6, serta pasal 2 ayat 1 dan 2 tentang seluruh biaya operasional selama menjalani masa perkuliahan.

Lebih lanjut, menurutnya proofreading tersebut seharusnya dibantu oleh dosen Pembimbing Akademik (PA) dan tidak dikenakan biaya.

“Nyatanya sekarang bukan PA yang proofreading, makanya membayar dua ratus ribu dan tidak jelas siapa yang proofreading dan untuk apa uangnya,” terangnya.

Senada dengan Alifia, narasumber lain yang akrab disapa Mumun, juga mengungkapkan hal serupa. Ia mengungkapkan bahwa proofreading tidak bisa dikenakan biaya karena proofreading sendiri merupakan tugas dosen PA yang digaji dari UKT yang telah dibayarkan tiap semesternya.

“Jelas-jelas itu proofreading tugasnya pembimbing. Pembimbing dari Business sudah digaji dari UKT yang dibayar setiap semester,” katanya.

Proofreading: Berbayar, Tapi Tak Wajib

Ditengah karut marut permasalahan proofreading berbayar ini, akhirnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FBS UNM dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa Inngris turun tangan menyampaikan keresahan mahasiswa BE kepada pihak Prodi pada Senin, 7 Januari 2019. Hasil pembicaraan tersebut membuahkan hasil, proofreading berbayar dibatalkan.

“Assalamualaikum, disampaikan untuk teman-teman yang sudah proofreading dan sudah membayar Insyaallah akan dikembalikan uangnya. BEM dan HMJ (Baca: bahasa Inggris) sudah bicara sama Sir Tahir. Yang belum proofreading kumpul saja laporannya dan jangan dibayar,” info ini diteruskan oleh beberapa mahasiswa di status Whatsapp masing-masing.

Hal tersebut pun diaminkan oleh Mumun, ia mengatakan bahwa masalah proofreading di Prodinya sudah terselesaikan dan pihak Prodi akan melaksanakan pertemuan dengan mahasiswa yang telah membayar biaya proofreading tersebut pada Selasa, 8 Januari 2019.

“Alhamdulillah, masalah proofreading dari prodiku sudah selesaimi,” katanya.

Ia menambahkan, terkait permasalahan proofreading, bagi Mumun, mahasiswa hanya salah paham dengan penyampaian Prodi. Prodi menyampaikan bahwa proses proofreading tersebut berbayar tapi tidak wajib. Namun mahasiswa yang sudah tertendensi oleh deadline penyelesaian studi sudah lebih dulu memutuskan untuk membayar biaya tersebut.

“Sebenarnya mahasiswa yang salah paham dengan penyampaian prodi karena prodi menyampaikan proofreading berbayar tanpa ada kata wajib,” ungkapnya.

Meminta klarifikasi tentang permasalahan tersebut, reporter Estetika menemui langsung Ketua Prodi (Kaprodi) BE FBS UNM, Muh. Tahir, di kediamannya pada Selasa malam (8/1). Namun, sayangnya ia tak ada di tempat. Reporter kami pun menghubunginya melalui pesan suara untuk mendapatkan klarifikasi.

Muh. Tahir menjawab hal tersebut melalui pesan suara dan chat pribadi ke reporter Estetika, ia menyampaikan bahwa peraturan proofreading tersebut bukannya dicabut melainkan diserahkan kembali kepada dosen PA masing-masing.

Ia menuturkan bahwa, masalah pembayaran proofreading, pilihan dikembalikan pada mahasiswa bersangkutan. Jika mahasiswa ingin menggunakan jasa profesional, dipersilakan untuk membayar tanpa adanya tendensi dari pihak manapun.

“Bukan tidak wajib, tapi memang Prodi tidak mewajibkan untuk membayar. Jadi terserah mereka nantinya apakah mereka bayar atau tidak ke proofreadernya,” terangnya.

Proofreading, Langkah Prodi Kurangi Plagiarisme

Masih dalam kesempatan yang sama, Kaprodi BE FBS UNM, Muh. Tahir, menjelaskan bahwa selain untuk meningkatkan kualitas laporan, diwajibkannya proofreading juga guna mencegah adanya plagiarisme.

Maraknya plagiasi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam penyelesaian tugas akhir menjadi alasan utama Prodi BE mewajibkan adanya proofreading, jadi tak hanya mengoreksi tentang grammar, namun juga mengenai keaslian isinya.

“Mendeteksi plagiat ini yang harus ditegakkan oleh prodi agar kasus tersebut tidak terulang terus,” tuturnya.

Dosen Bahasa Inggris ini pun menjelaskan bahwa Proofreading sebenarnya tak hanya diperuntukkan mahasiswa D3, namun juga mahasiswa S1 hingga S3. Proofreading pun bahkan dilakukan untuk laporan dan jurnal Internasional para dosen.

Ia menyayangkan mahasiswa yang hanya menyoroti adanya pembayaran sebesar Rp. 200.000, namun tak mau tahu mengenai permasalahan plagiasi yang semakin parah.

“Mereka melihatnya hanya semata uang Rp. 200.000, tapi mereka buta bahwa ada yang lebih parah dari sekedar Rp. 200.000 yaitu mencuri hasil karya seniornya (Baca: plagiasi) dan mencaplok seolah itu miliknya,” katanya.

Dalam prosesnya, nantinya proofreading akan diserahkan kepada dosen PA masing-masing, namun apabila ditemukan unsur plagiarisme, maka laporan akhir mahasiswa tersebut wajib melalui proofreading oleh Prodi atau lembaga proofreader yang ada seperti CLS, Pusat Bahasa, ataupun lembaga penyedia proofreader lainnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa biaya proofreading sebesar Rp. 200.000 tersebut selain sebagai gaji proofreader, juga akan disisihkan sebagian untuk keperluan Lembaga Kemahasiswaan (LK). Rencana sebelumnya, hasil dari pembayaran tersebut tak langsung diterima oleh Prodi, namun akan diolah oleh mahasiswa sendiri.

Seperti kegiatan Bakti Sosial (Baksos) dan Musyawarah Program Studi (Musprodi) sebelumnya yang mendapatkan sumbangan dari Prodi. Muh. Tahir menjelaskan, berbeda dengan LK di FBS yang mendapat 5% dari UKT, Prodi tidak mendapat persenan dana dari UKT, maka selama ini sumbangan tersebut berasal dari kantong pribadi prodi.

“Bisa tanyakan pada HMPS BE Creative, selama ini dana dari kantong pribadi prodi. Rencananya sisa-sisa proofreading itu,” ungkapnya.

Namun, Muh. Tahir menegaskan bahwa pengolahan dana tersebut kembali lagi kepada mahasiswa nantinya. Jadi mahasiswa yang akan membayar proofreadernya sendiri, termasuk dosen PA sendiri sebagai tanda terima kasih.

“Yang jelas Prodi sudah putuskan mengembalikan uang mereka dan proofreading prodi dialihkan ke PA masing-masing. Terserah PA-nya dengan mahasiswa yang bersangkutan. Prodi lepas tangan,” tegasnya.

Ia pun mempertegas bahwa setiap mahasiswa harus bisa menjamin agar laporannya bebas dari plagiarisme, atau mereka harus menyewa proofreader untuk menyelesaikannya.

“Kita bebaskan mereka memilih proofreadernya sendiri, cuma mereka harus membuat surat keterangan bahwa mereka membayar proofreader tanpa ada tekanan dan pemaksaan dari prodi atau PA,” tutupnya.

Mengenai laporan yang kami susun ini, pihak yang merasa tidak sependapat dengan hasil laporan ini, silakan mengirimkam hak jawab di surel kami haloestetika@gmail.com, baik berupa saran, kritik, atau tanggapan ralat hingga tuntutan penurunan laporan.

Related posts

MASSA AKSI KEPUNG GEDUNG DPRD, APARAT KEPOLISIAN USIR MASSA AKSI DENGAN TEMBAKAN GAS AIR MATA

LPM Estetika FBS UNM
September 25, 2019

POLEMIK UKT, JANJI REKTOR HINGGA TUNTUTAN MAHASISWA UNM

LPM Estetika FBS UNM
January 9, 2021

KRONOLOGI TEMUAN BRANKAS NARKOBA DI FBS, TANGGAPAN LK HINGGA TINDAK LANJUT KAMPUS

Editor - Yusyfiyah Adinda Saputri
June 14, 2023
Exit mobile version