Universitas Negeri Makassar atau yang dikenal dengan singkatan UNM adalah salah satu universitas favorit di Pulau Sulawesi. Dikenal dengan bangunan Pinisinya yang megah, tempat pencetak calon-calon tenaga pendidik yang kualitasnya sudah tidak diragukan lagi serta dikenal juga sebagai salah satu universitas para demonstran. Menelisik jauh ke belakang, sebelum disematkannya nama Universitas Negeri Makassar, UNM dulunya bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujung Pandang yang merupakan salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Nama UNM pertama kali disematkan setelah diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Presiden Republik Indonesia (RI) Nomor 93 Tahun 1999. Sejak saat itu, universitas ini dikenal dengan sebutan UNM. Selain itu juga, di tahun 2019 tepatnya di bulan April, UNM resmi ditetapkan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Hal tersebut berdasarkan surat keputusan menteri keuangan dengan nomor surat 321/KMK.05/2019 oleh Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
BLU, Badan Layanan Umum atau Biar Lebih Untung? Stigma-stigma yang masih menjadi konspirasi dalam memahami apa maksud dan tujuan UNM berstatus BLU. Pada prinsipnya, BLU sendiri harus bersifat transparan, akuntabel, dan parsitifatif. Namun, kenyataannya UNM sendiri dalam pengelolaan keuangannya masih memakai pola Satuan Kerja (Satker). Ini sangat jelas membuktikan bahwa UNM gagal dalam menjalankan BLU. Padahal, UNM sendiri telah menggandeng status BLU penuh. Memaksakan mahasiswanya menerima status BLU tetapi prinsip dalam menjalankannya masih saja memakai pola satker, jelas ada “sesuatu” yang terjadi dalam hal ini.
Terkait BLU, pemikiran ini mulai berdesakan mencari jalan dalam memahami apa maksud dan tujuannya. Pemikiran ini tergambar dalam pemandangan kampus ketika acara wisuda digelar. Ketika daftar wisudawan dan wisudawati telah mencapai kuota 1.000 orang maka kampus akan menggelar acara wisuda di Pelataran Gedung Pinisi. Dalam setahun bisa satu sampai dua kali acara ini digelar, berarti dalam setahun kurang lebih 2.000 orang yang mendapatkan penambahan gelar di namanya. Melihat acara wisuda itu, kampus yang awalnya hanya sebagai salah satu institut pencetak generasi penerus bangsa, kini juga menjelma sebagai institut penyedia barang. Meski hanya sehari tetapi untungnya sudah bisa masuk kategori besar, bayangan yang pertama muncul ketika acara wisuda adalah tersedianya booth untuk photography, booth untuk mengabadikan momen bahagia setiap mahasiswa bersama sanak keluarganya itu masih dalam konteks wajar, tetapi bagaimana ketika mulai booth minuman, makanan hingga pakaian dalam tersedia juga? Jelas kampus seketika itu juga berubah nama menjadi pasar kaget. Booth minuman dan makanan seharusnya tidak usah diizinkan masuk karena kampus sendiri telah memiliki kantin. Jika pihak lain diizinkan untuk masuk menjajakan jajanannya, apa gunanya diperadakan kantin di kampus? Belum lagi booth pakaian sehari-hari hingga pakaian dalam, seperti paranormal saja, yang bisa memastikan bahwa mereka yang datang untuk merayakan hari spesial salah satu keluarganya akan datang untuk membeli layaknya seseorang yang akan pergi ke pasar.
Fenomena seperti ini sepertinya telah menjadi tradisi yang sangat meresahkan bagi segelintir orang khususnya mahasiswa aktif yang sementara berkuliah pada saat itu. Pasar kaget, jalanan macet hingga parkiran yang amburadul sangat tidak kondusif bagi mereka yang ingin menimbah ilmu di kampus. Solusi yang mesti dihadirkan ketika pihak kampus tetap bersikap keras agar acara wisuda tetap dilaksanakan di area kampus, maka perkuliahan seharusnya diliburkan juga karena kondisi kampus yang sudah sangat tidak kondusif untuk menjalankan aktivitas seperti biasanya. Setiap mahasiswa yang merayakan hari spesialnya mengajak 5 orang sanak keluarganya dikali 1.000 maka hasilnya sudah bisa dibayangkan betapa kerja kerasnya pohon-pohon di sekitar kampus bekerja untuk menghasilkan oksigen yang lebih banyak, belum lagi para mahasiswa dan para pedagang. Uneng Store hingga pasar kaget saling mengejar poin tertinggi untuk menjadi satu stigma baru bagi kampus ini. Dari fenomena ini juga, mungkin saja orientasi kampus menyandang status Badan Layanan Umum adalah salah satu jawabannya, semoga tetap UNM atau Kampus Orange saja yang menjadi stigma favorit.
Andi Juliandrie Abham, seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar.
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi estetikapers.com.