Opini

ELEGI ESOK HARI

“Menaruh harapan pada mereka yang masih menyandang gelar mahasiswa.”

Perlulu kita ketahui, pemikir, pendidik, birokrat, politisi, dan para guru besar saat ini adalah mahasiswa di zaman dahulu. Berdasarkan fenomena tersebut, kita memang bebas untuk menjadi apapun, kecuali mengaku sebagai nabi, atau jelmaan sosok tuhan.
Dinamika perkuliahan, organisasi, penyusunan laporan, ngopi sambil berdiskusi bersama kawan mungkin menyisahkan kenangan manis dan pahit di relung hati kawan-kawan mahasiswa.

Pembahasan mengenai keadilan sudah menjadi hal lazim di telinga kawan-kawan mahasiswa. Hari itu, kadang saya cukup masa bodoh terhadap apapun selain kesenangan pribadi. Sejalan dengan itu, kepercayaan saya pudar terhadap sebagian senior di lembaga kemahasiswaan yang mengatasnamakan keadilan namun memeras adik-adiknya.

Tipe-tipe mahasiswa yang apatis, hedonis, atau mengaku idealis tapi menindas saat berkuasa, mementingkan golongan, kelompoknya, dan teman satu ideologinya masih tetap ada, bahkan tipe-tipe mahasiswa yang munafik, berbicara lantang soal tanah air tanpa penindasan di parlemen jalanan, tapi kelakuan di kampus tidak mencerminkan hal positif terhadap adik-adiknya. Parahnya, minta dibelikan rokok dibaluti hadiah pertanyaan logika; kalau kau mau tahu apa bedanya monyet dan dirimu, piko dulu beli rokok. Hal ini sering terjadi di kalangan mahasiswa baru. Kadang saya berfikir, senior semacam ini tahu, tidak? Bisa saja yang diperasnya adalah orang yang berlatar belakang kurang mampu.


Terlepas dari cerita senior yang selalu ingin dikenal sebagai manusia hero, dalam kehidupan dunia kampus yang dinamis, beberapa kelakuan dosen juga menjadi hal yang sangat menarik. Contoh yang sering terjadi, dosen akan menegur mahasiswa yang sering terlambat, bahkan tak mengijinkan mahasiswa masuk ketika sudah melewati batas kontrak perkuliahan. Tapi, realita berkata bahwa selain mahasiswa masih ada banyak juga dosen yang masih terlambat. Pernahkah kawan-kawan juga merasa seperti saya, bahwa ini tidak adil. Mengapa itu hanya berlaku pada mahasiswa bukan untuk dosen yang bersangkutan juga? Padahal disiplin belajar mesti berlaku juga di kalangan pendidik.

Selain itu, masih banyak juga dari kalangan dosen yang kedapatan bolos. Bahkan juga melewati batas kontrak perkuliahan, harusnya sebagai pendidik ia harus mampu memberikan contoh yang baik untuk mahasiswanya.

Ada juga yang tak kalah menarik, di kampus negeri ini khususnya Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Makassar (UNM). Sarana dan prasarana tidak terpenuhi, mungkin hanya soal rupa tembok bangunan yang direnovasi (lantai yang sudah retak dan warna tembok yang kusam). Padahal, uang kuliah setiap tahunnya semakin naik, harusnya sarana dan prasarana juga mesti terpenuhi dan selaras dengan uang pembayaran mahasiswa. Ini adalah gambaran realitas kecil dari sekian banyaknya problem yang tidak bisa dipungkiri. Bayangkan, setiap tahunnya penerimaan kuota untuk calon mahasiswa baru terus bertambah. Namun, ruangan perkuliahan di FIK begitu sedikit (hanya FIK UNM yang mungkin masih satu lantai). Akibatnya, mahasiswa mesti mengantre untuk mendapatkan ruang belajar secara bergiliran. Selain itu, karena ruangan kosong telah terisi, membuat mahasiswa lainnya mesti merelakan jadwal perkuliahannya terlambat hingga berjam-jam. Mirisnya lagi, Gedung Basket FIK UNM dikabarkan pernah dijadikan sebagai ruang belajar oleh tiga jurusan yang masing-masing memiliki mata kuliah yang berbeda. Miris, karena ini adalah kampus negeri.

Berawal dari sini pula kadang terjadi perubahan jadwal atau dosen bersangkutan memilih untuk tidak masuk, karena dosen bersangkutan juga punya jatah mata kuliah di kelas lain. Jadi? Tabrakan ki ces. Bahkan pihak birokrat FIK UNM juga menambah dua prodi baru yaitu Administrasi Kesehatan dan Ilmu Gizi. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari kenyamanan mahasiswa untuk belajar dan tidak ruginya kawan-kawan mahasiswa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk menambah wawasan yang diharapkan orang tua mereka di kampung.

Lanjut, saya akan bercerita sedikit mengenai universitas atau Instansi pendidikan. Setiap tahunnya, universitas memproduksi ribuan wisudawan tapi hanya beberapa persen dari mereka yang dipersiapkan untuk memenuhi kuota tenaga kerja di instansi pemerintah.

Ini sedikit gila, di pikiran saya pernah terlintas bahwa universitas lainnya toko baju atau bahkan saya pikir warung makan. Kenapa demikian? Jika ingin mengenakan sebuah baju kita harus membayar, jika kita ingin makan kita harus membayar. “Mau ki beli baju? mana uang ta, mau ki makan? mana uang ta,” seperti itu kira-kira.

Setelah membayar, hubungan antarpedagang dan pembeli telah usai, pun juga universitas, setelah diwisuda hubungan antarmahasiswa dengan univeristas telah usai. Persoalan pekerjaan, silahkan cari sendiri!

Jika pada dasarnya masuk di perguruan tinggi untuk menimbah ilmu mesti membayar, untuk apa diperadakan UU Pasal 31 ayat 1 “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Lucunya, dalam tes wawancara untuk penentuan tarif pembayaran UKT kita kadang menjumpai pertanyaan; apa na kerja orang tua ta? Berapa gajinya? Ada mobil? Motor? Handphone? Bukankah yang kuliah saya, kenapa na orang tuaku ditanyakan penghasilannya, pak?

Saya yakin kawan-kawan dalam satu kelas atau angkatan, ada beberapa temannya yang orangtuanya kurang mampu, tapi karena cita-cita orangtua untuk menyekolahkan anaknya ia tak pernah menyerah.

Nah, terkadang demi menyambung pendidikan, orangtua kita tak mau tahu berapapun yang akan dibayar, jalur apapun yang ditempuh, baginya, “Kamu harus kuliah, nak.” Maka dari itu, demi membanggakan orangtua, terkadang saya harus mempertanyakan UKT kita kemana? Salahkah saya jika menulis kritikan untuk solusi penambahan gedung perkuliahan demi terciptanya keselarasan antara UKT saya dengan fasilitas kampus, mungkin bagi orang-orang yang berlatar belakang orang tua berada mungkin biasa saja, atau bahkan tak peduli. Tapi bagi saya? No, Sebab, sebagai instansi pendidikan, perguruan tinggi wajib menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Untukmu yang menyandang gelar mahasiswa, saya tahu soal mengkritik birokrat atau pimpinan kampus, dosen-dosen kita, kakanda-kakanda kita, terkadang harus menimbang sebelum mengkritik, sebab bisa jadi ada konsekuensi yang berbahaya, tapi perlu kawan-kawan ketahui bahwa memang sudah esensinya bahkan sudah sejatinya seorang mahasiswa untuk mengkritik. Pun juga kawan-kawan perlu ketahui bahwa sebagai mahasiswa kita juga harus berani mengatakan benar karena kebenaran dan berani mengakui kesalahan karena salah.

Akhir kalimat, saya tidak pernah memaksa kawan-kawan untuk membenarkan kritikan yang saya tulis, silahkan cari tau kebenarannya dan analisis sendiri.

Ricky Prasetio, mahasiswa kelahiran Soppeng, perwakilan Jurusan Ilmu Keolahragaan angkatan 2016, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Makassar.

*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi estetikapers.com.

Related posts

KURANGNYA RASA CINTA ANAK INDONESIA TERHADAP BAHASA INDONESIA

Editor Estetika
May 23, 2021

PENERAPAN MASKER DI MASA COVID-19

Editor Estetika
May 25, 2021

PENGGUNAAN RETORIKA DALAM TRADISI SONGKABALA MASYARAKAT MAKASSAR

Editor Estetika
May 27, 2021
Exit mobile version