Esai, Nalar

VERSTEHEN DAN KIAT-KIAT MENULISKAN AKU ATAS DIRIMU

Jujur saja, sebagai mahasiswa yang ikut dalam kegiatan organisasi kampus, tentunya kita berharap dapat menjadi pribadi yang berkarakter. Yah, mahasiswa yang dapat berpikir sendiri. Tapi, apakah mengikuti program pendidikan organisasi kampus dapat memastikan karakter kita dapat terbentuk? Karena saya rasa itu tergantung dengan diri kita masing-masing. Apakah belajar adalah niat utama atau hanya dijadikan kesekian.

Kita sebagai mahasiswa yang berada dalam lingkungan kampus pasti banyak menganggap hal itu sebagai suatu ekosistem ilmiah. Kemudian, berharap akan menemukan banyak hal-hal yang baru. Namun, tak jarang juga dalam keseharian yang ditemukan hanya sekeliling yang hampa, sebatas cerita sejarah tentang tumbuh suburnya ruang ilmu pengetahuan, iklim intelektual dan masa kehebatan kampus. Ini semua berimplikasi mekanis untuk diulang dan dilakukan terus-menerus. Fenomena seperti ini adalah hal laten, dan berpotensi terjadinya banyak kemerosotan. Baik dari produk kebudayaan sampai aspek sosiologis yang tidak terawat. Padahal zaman terus bergerak, akan membosankan jika harus mengulang hal yang sudah tidak sesuai, dan belum tentu benar untuk bisa dikatakan maju bukan?

Belum lagi jika cerita itu dijadikan tolak ukur. Sangat disayangkan jika kita dibentuk dalam organisasi untuk menjadi mahasiswa ilmiah, namun pada ujungnya hanya bisa mengimitasi orang lain. Kejadian seperti ini lantas menarik perhatian untuk mencoba menuliskan diri sendiri. Sebagai individu yang memiliki pegangan, kita harus menentukan filsafat kehidupan terlebih dahulu sebagai pandangan hidup. Kehidupan dijadikan sebagai pangkal dan tujuan untuk berpikir, karena kehidupan adalah gerak yang terus-menerus untuk berlanjut. Juga sebagai kritik terhadap kesempitan hidup atas segala yang lahiriah saja. Contohnya, lebih baik memberi daripada meminta atau lebih baik mencari tahu sendiri daripada mendengarkan.

Ciri yang saya maksud berusaha menghindari citra manusia mekanistik dan mendengarkan cerita orang lain yang ditiru kemudian diterapkan kembali. Terjadi berulang-ulang dan menjadi pola yang rutin. Seperti pada hukum-hukum alam yang positivistik. Barangkali orang bercerita tentang masa tertentu bermaksud memberikan cerminan untuk praksis atau tindakan kedepannya. Tinggal bagaimana kita bijak mendengar dan menanggapi. Agar kita tetap dapat menuliskan aku atas dirimu, dan tidak menjadi dirimu atas aku yang lain.

Di sini kita mesti cermat dan melihat teks tidak sebatas yang didengarkan lewat cerita saja, melainkan segala yang ada di sekeliling kita. Dilthey dalam Hermeneutikanya menyebut bahwa lingkup adalah segala yang memiliki struktur-struktur simbolis. Memukimi dunia kehidupan sosio-historis sehingga dapat menyesuaikan cara berpikir, dan cara hidup sebagai pemahaman. Hampir mirip ketika kita melakukan riset sederhana mengenai kecenderungan mahasiswa, menyesuaikan program organisasi yang searah dan paham harus berbuat apa, daripada menentukan program yang diputuskan dalam internal organisasi saja dan selama ini dianggap demokratis. Keduanya harus menjadi lingkup yang berkaitan seperti jalinan teks yang sesuai. Kemudian melakukan pengalaman kembali  dan  mengalami kembali keseharian pengalaman yang rutin terjadi. Oleh karena itu, kita dapat melakukan konstruksi ilmiah sesuai hasil interpretasi dari lingkup keseharian.

Cara menemukan makna yang dilakukan Dilthey juga sangat hati-hati. Cara memahaminya sama seperti cara kegiatan organisasi, membacanya dengan menikmati proses, sebab dengan proses kita menemukan makna. Hal seperti itu tentu dibutuhkan pergerakan yang pelan dan butuh penghayatan sebagai ilmu sosial kemanusiaan untuk menemukan kebenaran cerita, karya sastra dan kebudayaan masyarakat. Hermeneutikanya tetap membutuhkan sisi materil dalam penelitiannya.

Bagi Dilthey, penting untuk memperhatikan sisi luar objek penelitian. Dalam bahasanya yaitu erklaren, kita pasti membutuhkan jejak analisis kausal indrawi untuk menemukan makna ketika mengambil distansi atas objek penelitian tanpa menggunakan perasaan dan penilaian terlebih dahulu. Ini adalah langkah pertama pengobjektifikasi sebagai pengukuran, percobaan dan penerapan menuju kesahihan sesuatu. Sekilas hampir mirip yang dilakukan filsuf-filsuf besar dengan ritualnya dari dunia materil untuk menemukan makna kemurniannya.

Kemudian yang kedua yaitu, Verstehen atau memahami dunia mental dengan penuh penghayatan. Memahami teks kebudayaan dan masyarakat atau mahasiswa dalam hal ini pasti akan memberi kita jejak pada teks sejarahnya juga. Sangat cocok digunakan untuk mencari tahu kebenarannya, khususnya untuk mereka yang banyak mendengar kebesaran nama kampusnya. Dari sini kita akan banyak menemukan jejak tekstual, dan pemahaman seperti apa produk kebudayaan gaya hidup, seni, ilmu pengetahuan, kelas sosial dan lainnya.

Dengan metode Verstehen kita tidak lagi menggunakan distansi, tapi terlibat langsung dalam interaksi dan komunikasi dengan yang ditelitinya. Ambil contoh fenomena minat berorganisasi yang tinggi. Jika ingin segera mengetahuinya bisa langsung menggunakan statistik, tapi cara berpikir, pengaruh dan makna minat berorganisasi adalah hal lain, ini hanya dapat ditemukan menggunakan Verstehen.

Sangat penting untuk bisa membaca kebudayaan dan masyarakat sekeliling. sebagai struktur-struktur simbolis sebagai teks. Melihat Ausdruck atau ungkapan ekspresi pegejawantahan kebudayaan dan mahasiswa dalam lingkup kampus. Di sini Dilthey menggunakan konsep Hegel dengan roh objektifnya bahwa ungkapan sekeliling adalah buah dari hasil pikiran yang dieksternalisasi menjadi roh objektif kebudayaan. Barangkali, kita semua adalah kehidupan masyarakat dan kebudayaan di antara hasil-hasil ungkapan ekspresi kehidupan. Darinya kita menemukan tentang apa dan bagaimana realitas sekeliling. Bukan lagi berfokus pada penjelasan artikulasi semata, tapi makna filosofis yang dilacak dari teks lingkup kebudayaan, sosial dan sejarah yang selama ini terlihat senyap menunggu untuk dibaca. Teks yang selama ini digeser oleh rasio historis, penjelasan atau cerita sejarah yang mekanis dilakukan.

Kamu pasti sering menemui orang sekitarmu di kampus yang banyak bercerita tentang konsep organisasi dan mahasiswa. Saat kamu menjadi bingung ketika cerita berupa penjelasan berbeda jauh dengan kondisi keseharian yang kamu lihat. Cerita seperti itu biasanya memetak-metakan waktu dan hanya berimplikasi heroisme dalam masa lalu, tidak menganggap bahwa peristiwa dulu adalah kesatuan sekarang. Sebab, waktu adalah sesuatu yang tidak terpenggal-penggal. Ketika waktu dibatasi dan dijelaskan pada masa tertentu saja, berarti kita menafikkan kondisi sekarang, sebab waktu seperti aliran kesatuan yang terus menerus untuk menjadi.

Dibutuhkan erlebnis atau penghayatan untuk cerita heroisme seperti ini. Dalam hermeneutika waktu adalah kehidupan itu sendiri. Perlu untuk dibiarkan mengalir terus menerus, menggunakan penghayatan sampai membentuk perjalanan hidup. Pengahayatan disini tidak bersifat subjektif. Tidak ada garis pemisah antara subjek dan objek. Ambil contohnya seseorang yang larut dalam kisah cinta, orang yang larut dalam kisah cinta tidak menjadikan dirinya subjek ataupun objek, kecuali ketika dia menceritakan atau menuliskannya menjadi novel. Baru akan memisahkan dirinya sebagai subjek dan kisah cintanya sebagai objek. Karnanya aliran waktu dan penghayatan adalah kesatuan dalam kehidupan sendiri.

Olehnya melalui pandangan hidup kita bisa menentukan arah. Melihat lingkup sebagai penyesuaian cara berpikir dan cara hidup untuk memahami. Melakukan pengalaman kembali lewat interpretasi. Memahami kebudayaan dan masyarakat dengan terlibat dalam interaksi dan komunikasi langsung. Sebab, dengan membaca ungkapan ekspresi sekeliling yang memiliki struktur-struktur simbolis berupa teks akan mudah dalam menghayati dan menemukan kebenaran segala sisi luar yang diteliti. Mulai dari cerita sejarah, tindakan, gaya hidup, ilmu pengetahuan, seni, kelas sosial, persoalan gender, norma, nilai, dan sebagainya untuk menemukan kesahihannya.

Jadi, berhati-hatilah ketika meminta penjelasan atau mendengarkan cerita. Mulailah membaca teks dan berburu makna di sekelilingmu. Kembalilah pada penghayatan sebagai praksis itu sendiri. Tuliskan aku atas dirimu. Mahasiswa yang ikut pendidikan organisasi harus punya karakter ilmiah dan berpikir sendiri. Sebab makna itu tidak diciptakan, tapi ditemukan. Ia telah ada di sana!

Penulis: Ahmad Faizal

Related posts

SILENT

LPM Estetika FBS UNM
March 15, 2017

MITOS DALAM BUDAYA LEMANG DESA LANTANG

Editor Estetika
May 30, 2021

RISE AND FALL: GERAKAN MAHASISWA

LPM Estetika FBS UNM
October 3, 2017
Exit mobile version