Yang sempurna hanya purnama,
Kita hanyalah sepasang yang mencoba bahagia di bawah sinarnya
Menghitung jemari yang seakan tak mencapai hingga
Sebab kau selalu senang menghitung 1 ke 10 lalu kembali ke 1 (lagi)
Aku benci kepulangan yang layaknya ombak yang setia pada tepi,
sebab di sana kita selalu sepakat bernyanyi lagu-lagu tentang penantian
Perjalanan mana lagi yang mampu memeluk petuah, selain itu pulang
Makin kuat upaya membuat langit cerah, semakin senang mendung bermukim
Kita sepakat, semesta punya cara sendiri untuk berbahagia
Sayang, mana tanganmu
Aku mau berpegang, di sana cahaya terlalu terang,
kacamataku tak punya mantra yang berlebih selain menangkap matamu yang semakin basah
Antarkan aku pada patung, aku mau memaknai kekakuan di dalamnya.
Antarkan aku pada sutradara teater, aku mau memaknai lakon yang selalu acuh.
Antarkan aku pada salah satu warna pelangi. Terserah. Merah , kuning, hijau,
aku ingin bertanya rasanya menjadi indah meski sejenak,
Atau antarkan aku pada dermaga ujung kota, di sana aku ingin tahu perihal pulang.
Makassar
Biodata Penulis: Nur Asiyah merupakan mahasiswa FBS UNM angkatan 2013. Sekarang menjabat sebagai Sekretaris Bengkel Sastra. Sementara menyelesaikan studi di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia