Makassar, Estetika – Gerakan International Women’s Day (IWD) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyuarakan perlawanan akan demokrasi hitam yang terjadi belakangan ini dalam aksi peringatan International Women’s Day 2024 di Central Point of Indonesia (CPI) Makassar, Jumat (8/3).
Gerakan yang mengusung tema “Perempuan Merebut Ruang Inklusif Lawan Rapor Hitam Demokrasi”, ini juga bertujuan menyuarakan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan kesetaraan dalam ruang lingkup politik, termasuk menjadi pemimpin.
Gerakan ini melibatkan 50 massa aksi yang berasal dari beragam kelompok masyarakat dan organisasi, momen ini sangat penting bagi masyarakat sipil karena menandai adanya pembatasan dalam ruang demokrasi.
Suasana berlangsungnya seruan aksi oleh Internasional Women’s Day Sulsel di CPI Makassar, Jumat (8/3). Foto: Raodatul Jannah/Estetikapers.
Adapun sikap yang disuarakan dalam Gerak IWD Sulsel 2024, yakni:
- Mendesak Presiden dan DPR RI mengesahkan RUU Pekerja Rumah Tangga.
- Evaluasi Implementasi UU TPKS dan Permendikbudristek.
- Pemerintah Sulsel segera merumuskan peraturan untuk perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya.
- Menolak perpanjanyan izin HGU PTPN di wilayah Sulsel.
- Wujudkan kebijakan dan aksi iklim yang adil gender di Sulsel.
- Hentikan segala bentuk diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok ragam gender dan minoritas kepercayaan.
- Menolak reklamasi Pulau Lae-Lae dan pesisir kota Makassar.
- Hentikan Upaya Penggusuran terhadap warga Bara-Baraya.
- Menolak segala bentuk kekerasan dan kecurangan pemilu 2024.
- Bebaskan Ibu Hasilin, perempuan penolak tambang di Konawe Selatan.
Hubungan Masyarakat (Humas) IWD Sulsel, Mira, mengatakan bahwa, tema kali ini menyuarakan hak perempuan termasuk kaum petani yang harus hidup berhimpitan dengan kebijakan pemerintah dan stigma sebagai kelompok yang lebih rendah.
Mira menyebut calon-calon legislatif sebagai contoh, di mana keterlibatannya tidak dilihat sebagai representasi dalam kebijakan demokrasi.
“Budaya kita melihat perempuan sebagai makhluk yang tidak rasional dan tidak bisa memimpin,” katanya.
Ia menambahkan bahwa hal tersebut menjadi tantangan untuk terus mengedukasi dan menyuarakan kesempatan perempuan, termasuk mengubah mindset.
“Tantangannya karena sedang berhadapan dengan patriarki,” tambahnya.
Sementara itu, salah seorang massa aksi, Alina, menjelaskan bahwa kekerasan militer yang dialami perempuan di Papua dari tahun 1991 hingga hari ini terus berlanjut, tidak hanya kekerasan fisik seperti penindasan dan pembunuhan, tetapi hilangnya kebebasan dalam pendidikan.
“Tidak ada ruang kebebasan bagi mereka untuk pendidikan karena dirampas oleh TNI dan POLRI, ” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa momentum IWD kali ini tidak hanya sebagai perayaan, tetapi sebagai tuntutan bagi negara Indonesia untuk mengakui kebebasan karena selama militer Indonesia ada di tanah Papua.
“Selama ada penindasan, penjajahan, pemerkosaan, kami tetap akan melawan sampai titik darah penghabisan,” tegas perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu.
Reporter: Raodatul Jannah & Armi Fadilah